Tanpa Pancasila, negara akan bubar. Pancasila adalah seperangkat asas dan ia akan ada selamanya. Ia adalah gagasan tentang negara yang harus kita miliki dan kita perjuangkan. Dan Pancasila ini akan saya perjuangkan dengan nyawa saya (Gus Dur)

Rabu, 22 November 2017

Demokrasi Sehat dan Menginternasionalkan yang tradisional 😅

Stiker kampaye "Demokrasi Sehat Tanpa Hoax"


sengaja pakai aksara Jawa dengan tujuan coba mengangkat aksara klasik agar ndak kalah sama aksara Jepang, China, Arab dan sebagainya. Bukan untuk mendukung rasisme, tapi mencoba untuk turut berpartisipasi menawarkan tradisi Jawa kepada masyarakat dunia... terlalu idealis ya??? Maaf hehehe...

tapi untuk sementara inilah yang dapat saya lakukan dalam berpartisipasi 'menginternasionalkan yang tradisional' maaf kalau saya ndak ilmiah atau malah menyinggung, jikapun postingan ini dianggap mengganggu maka akan saya hapus.


Jumat, 11 Januari 2013

Membebaskan pendidikan untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas

Tanpa sengaja saya pernah nulis judul pada blog pribadi saya Mencari Indonesia, misi saya dalam blog ini adalah mengalahkan pamor Gus Dur dan Franz Magnis-Suseno yang menurut saya sudah keterlaluan pandainya dalam menulis, minimal bisa mengimbangi mereka dan blog ini jadi ajang latihan dengan target sehari satu judul tulisan. Semoga.

Salah satu judul dalam blog tersebut adalah "Membangun kembali peran negara melalui pendidikan" saya tulis juga sebagai bentuk dukungan terhadap keputusan MK membubarkan RSBI/SBI. Tanpa sengaja memang saya tulis judulnya, maksudnya tanpa saya berpikir dulu sebelumnya. Barusan saja saya berpikir tentang judul tersebut "membangun kembali peran negara melalui pendidikan".

Membangun kembali peran negara, kembali, berarti sekali lagi, yaitu membenahi kembali peran negara yang pernah ada. Peran negara adalah keharusan untuk menciptakan keamanan dan ketertiban masyarakat. Dikatakan "kembali" dalam "membangun kembali" yang sepertinya (dan memang) peran negara yang pernah ada ini hilang atau hancur.

Bagaimana bisa? Tentu, meninjau kembali pelaksanaan liberalisme-kapitalist yang mempersyaratkan kecilnya peran negara dan sebesar-besarnya peran pasar. Kapitalisme menganggap peran negara sebagai rintangan bagi kelanggengan sistem, maka peran negara harus dihabisi, dimana negara melaksanakan demokrasinya hanya sebatas pada kehidupan politik, diluar politik adalah kehidupan yang menjadi hak dan tanggung jawab masing-masing individu. Terdapat ciri dan peluang individualist disini.

Peran negara habis, pun juga kewibawaan negara tergerus oleh pasar dimana masyarakat menggantungkan hidupnya pada pasar dengan kata lain ada atau tidak negara bukanlah suatu persoalan, tidak berpengaruh apapun terhadap masyarakat.

Kehadiran investor asing sangat diharapkan ketika negara hendak menyelenggarakan pembangunan, pembangunan disegala bidang yang sebenarnya diharapkan tidak berjalan, orientasinya hanya pada pembangunan fisik, non mental. Yang terjadi kemudian adalah untuk menarik investor asing diupayakan penyediaan tenaga kerja murah, memang sangat sulit untuk menyediakan tenaga kerja murah dan tentunya tenaga kerja yang tidak banyak memiliki tuntutan.

Tenaga kerja murah tadi dapat dibentuk dari penumpukkan tenaga kerja yang tidak tertampung di dunia kerja, pengangguran, munculnya pengangguran ini sendiri adalah dari kejadian "over load" yang pada akhirnya mematikan potensi masyarakat untuk mengisi kebutuhan penyediaan tenaga kerja murah tadi.

Pengangguran meningkat bisa terjadi dengan beberapa sebab, disini saya kemukakan dua sebab, yang pertama adalah sebagaimana telah dijelaskan diatas yaitu menciptakan tenaga ahli dengan jumlah besar sedang kesempatan kerja sangat sempit. Bisa juga dengan penciptaan tenaga tanpa keahlian, misalnya saja hanya modal ijazah tanpa keterampilan. Dan tentunya semua itu harus membidik sektor pendidikan.

Pendidikan memiliki peran cukup penting dalam pembangunan, sekolah adalah wadah perubahan. Bagaimanapun sekolah adalah tempatnya manusia untuk berubah, dari tidak bisa menjadi bisa dan dari tidak tahu menjadi tahu. Berubah.

Nah, dari pentingnya pendidikan inilah yang sebenarnya juga menempatkan sekolah maupun perguruan tinggi sebagai benteng dari proses dehumanisasi, sepanjang pelaksanaannya malah sering menciptakan robot-robot yang harus siap dioperasikan. Saya kata robot sebagai gambaran keterasingan manusia.

Tidak cukup hanya sampai disitu, dengan diperkecilnya peran negara dan peran pasar yang semakin besar, pun ternyata juga telah menjebak pendidikan kedalam pasar. Dimana warga negara hanya dipandang sekedar sebagai konsumen, bahkan kalaupun MK tidak segera membubarkan RSBI/SBI yang nyata-nyata hanya sekedar sebagai "brand image" untuk menambah nilai jual yang pada akhirnya juga tidak terbeli oleh masyarakat yang sampai kini masih dianggap sekedar sebagai konsumen.

Berlakunya hal-hal sedemikian itu pada dasarnya juga turut menghabisi peran negara dengan keikut sertaan pendidikan dalam membentuk suatu masyarakat yang berdasarkan kelas. Padahal berdirinya negara ini adalah tindak lanjut dari kesepakatan masyarakat untuk hidup menjadi satu bangsa. Negara bangsa.

Negara bangsa tentunya bukan suatu masyarakat yang terdiri atas kelas sosial, tapi mewujud pada kesederajatan. Ya semoga saja tulisan saya ini hanyalah suatu prasangka yang berlebihan, semoga, kalaupun bukan, ya semoga pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat dapat segera membenahinya. Kita membutuhkan pendidikan yang memanusiakan manusia dimana pendidikan mampu menyadarkan-memperkenalkan kemanusiaan kepada manusia untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas dan bermartabat. Semoga.

Rabu, 19 September 2012

Merayakan Sekian Abad Negara Bangsa

Seabad yang lampau berkumpulah para pemuda senusantara membahas arti penting kebersamaan dalam perjuangan. Mengingat perjuangan bersifat kedaerahan dengan mudah dipatahkan dan dininabobokan oleh penguasa kolonial Belanda. Kesadaran sebagai sebuah bangsa yang satu adalah modal yang penting menuju cita cita Indonesia merdeka. Para pemuda sepakat untuk saling menegasikan segala perbedaan demi cita cita yang mulia menuju sebuah bangsa yang bermartabat, berdaulat dan berkeadilan sosial bagi warga negara kelak .

Gagasan yang kemudian dikenal sebagai sumpah pemuda menjadi tonggak perjuangan bahgsa. Kesadaran neuron dalam berjejaring tumbuh seiring kesadaran kolektifisme. Mengingat kaum menengah terpelajar yang dikirim ke Eropa juga misi haji yang muatannya berdimensi sosial politik, pentingnya negara merdeka dan berdaulat. Diikuti pendirian organisasi kepemudaan dan partai politik baik moderat maupun garis keras. Momentum kesadaran sebagai sebuah bangsa yang senasib sepenanggungan melahirkan perasaan dan pendirian arti penting persamaan. Terlibatlah di dalamnya ahli hukum, anggota volksraad, para dokter pribumi dan sekiranya para pemuda yang memandang penting sebuah persatuan menuju negara merdeka.


(5 Sept 2012)



 Ternyata nasionalisme kita jauh melampaui seperti yang tertulis dalam sejarah resmi sekolahan. Nasionalisme kita berkumandang sejak Sriwijaya dan semakin gilang gemilang ketika Majapahit berhasil dengan ekspedisi nusantara. Sebagian besar wilayah asia tenggara saat sekarang takluk dibawah panji Majapahit. Artinya sebagai bawahan maka kerajaan se nusantara wajib membayar upeti sebagai bentuk kesetiaan kepada Majapahit. Begitu juga para wanita cantik sebagai persembahan kepada raja-raja Majapahit. Lantas apa yang tertinggal tidak lain dan tidak bukan cerita panji dan keris.

Lho kok cerita panji dan keris so what gitu loh "apa kaitan antara hal tersebut di atas dengan nasionalisme?"

Penulis terkesan seolah-olah mencari alasan pembenaran atau sedang berdemagogy, Padahal sebagai bagian budaya nusantara kita wajib dan berusaha sungguh-sungguh melestarikan warisan tradisi leluhur budaya bangsa. Ini seolah-olah reasonable dan acceptable, silahkan bagi yang bergeming dan menolak mentah-mentah. Tengoklah jiran kita sebelah, sebagai negara yang gemah ripah loh jinawi okelah kita angkat topi. Namun untuk menjadi sebuah bangsa yang besar seperti Indonesia, eiiiitssss tunggu dulu masbro, mbaksis dan saudara sebangsa setanah air. Ini bukan sulap bukan sihir, ini bukan simsalabim abrakadabra, ini bukan hasil peradaban bangsa yang haram jadah. Ini peradaban adalah hasil proses berbangsa yang berbudaya luhur sejak berabad-abad silam lamanya. Cobalah tengok warisan tradisi nusantara mulai dari tarian, puisi dan karya satra lain, waow kita akan menemukan berjuta tradisi nusantara yang kaya raya.

Ini pula yang menjadi landasan bangsa kita indonesia merdeka dan berdaulat berbudaya adiluhung, krisis identitas itulah the symbol of excelent jiran kita yang tercinta (maaf saudaraku di Malaysia). Sebagai sebuah bangsa yang besar maka nasionalisme kita adalah upaya yang sungguh-sungguh dan berkelanjutan melestarikan tradisi. Maka nasionalisme tidak selalu identik dengan angkat senjata, ganyang Malaysia, atau wajib militer. Nasionalisme Indonesia adalah pengayom bagi segala peradaban umat manusia. Inilah mengapa kiranya semboyan Bhineka Tunggal Ika kita pertahankan mati-matian lantaran menjadi bangsa majemuk bukanlah aib atau kutukan. Melainkan kita saling belajar dan saling, memperkaya satu sama lain.

Kiranya demikian adanya bahwa nasionalisme adalah penghargaan yang setulusnya kepada kemanusiaan yang adil beradab dan berketuhanan. Semoga kita tidak bosan bosan menitipkan pesan bahwa nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme berbudaya. Didalamnya mengandung penghargaan martabat, harga diri sebagai sebuah bangsa. Lantas apa implementasi atau wujud nyata nasionalisme kita. Kiranya perlu kita bangun lagi kita pupuk lagi kesadaran dan kedaulatan sebagai sebuah bangsa, bukan dengan revolusi fisik namun penataan ulang sendi-sendi fundamental dalam berbangsa.

Marilah kita satukan tekad kita bulatkan niat, berbaris beriring menuju Indonesia yang lebih baik. Seruan-seruan moral haruslah terus diteriakkan sekalipun serak dan bernada sumbang.

(19 Sept 2012)


Tony Herdianto

Minggu, 02 September 2012

Pancasila sebagai wajah 'nasionalisme' Indonesia








Jadi Pertanyaan, apa sebenarnya "nasionalisme" yang sering kita dengar atau mungkin sering kita bicarakan dan bahkan sama sekali kita lupakan? Memang sudah kebiasaan masyarakat kita untuk mengambil yang mudah-mudah: nasionalisme adalah rasa cinta tanah air, atau sebentuk kebanggaan dengan menampilkan warna 'merah-putih' dan lambang garuda di jaket. Bolehlah seperti itu, tapi apa harus berhenti disitu? Apa makna 'nasionalisme' sesungguhnya? Tentunya harus melihat perwujudan dari nasionalisme itu sendiri.

Perwujudan nasionalisme tidak harus dengan "anti-antian' terhadap produk budaya asing, toh istilah 'nasionalisme' sendiri juga merupakan produk budaya asing. Nasionalisme: dari kata 'nation' yang berarti bangsa/kebangsaan dan 'isme' yang selalu dipakai untuk menunjuk paham/ajaran/aliran. Berarti nasionalisme disini adalah paham kebangsaan atau ajaran kebangsaan.

Wujud nasionalisme Indonesia adalah pancasila, falsafah atau ajaran bangsa yang tidak sedang dimonopoli oleh partai politik yang sepertinya juga sedang lupa untuk terus mengkampanyekan "ajaran bangsa" ini. Pun bukan warisan dari salah satu ajaran agama yang ada, salah besar kalau ada anggapan seperti itu, pancasilanya Majapahit dan pancasilanya Indonesia sudah berbeda. Tentang ini nanti kalau ada kesempatan bisa kita bicarakan lebih lanjut, yang pasti sementara yang saya ketahui ajaran pancasila yang masih digunakan dalam agama Budha adalah pancasila yang berisi anjuran dalam 'samadiy'-sementara belum saya mengerti tentang istilah 'samadiy' ini, apakah sama dengan 'semedi' atau mengheningkan cipta dalam bahasa Indonesia. Cukuplah dulu diketahui bahwa istilah pancasila adalah istilah yang diperkenalkan oleh Ir. Soekarno dalam pidatonya tertanggal 1 Juni 1945 dan digunakan untuk menyebut lima dasar negara Indonesia merdeka, yang pasti tidaklah sama antara keduanya yaitu antara pancasilanya Indonesia

Kenapa harus pancasila? Sebab inilah kesepakatannya, kesepakatan bahwa kita adalah bangsa yang berketuhanan Yang Maha Esa, berperikemanusiaan, bersatu atas dasar musyawarah dan berkeadilan. Lalu bagaimana 'nasionalisme ala pancasila' ini? Tentunya dapat kita kaji intisari dari pancasila yang lima sila ini.

Berangkat dari pendapat Soekarno tentang pancasila, bagi soekarno pancasila yang lima sila ini dapat diperas menjadi trisila yaitu sosionasionalisme, sosiodemokrasi dan ketuhanan Yang Maha Esa. Sosionasionalisme adalaha gagasan yang dirumuskan Soekarno tentang nasionalisme yang layak diterapkan di Indonesia. 
Dalam artikel yang ia tulis tahun 1932, Demokrasi-Politik dan Demokrasi Ekonomi, Soekarno menyinggung inti dari sosio-nasionalisme yang ia rumuskan;
Nasionalisme kita haruslah nasionalisme yang tidak mencari gebyarnya atau kilaunya negeri keluar saja, tetapi haruslah mencari selamatnya manusia.. Nasionalisme kita haruslah lahir daripada ‘menselijkheid’.  Nasionalismeku adalah nasionalisme kemanusiaan, begitulah Gandhi berkata,
Nasionalisme kita, oleh karenanya, haruslah nasionalisme yang dengan perkataan baru yang kami sebut: sosio-nasionalisme. Dan demokrasi yang harus kita cita-citakan haruslah demokrasi yang kami sebutkan: sosio-demokrasi”.

Jelas sudah bahwa nasionalisme Indonesia haruslah nasionalisme yang bertujuan mencapai kebahagiaan umat manusia dan bukannya nasionalisme yang mengagung-agungkan negeri ini di kancah internasional saja. Maka dari itu, Soekarno menginginkan yang menjadi landasan nasionalisme Indonesia adalah kemanusiaan. Bukan pula nasionalisme yang mengisolasi dirinya terhadap dunia luar. Sosionasionalisme secara singkat adalah nasionalisme yang tidak hanya mencintai tanah airnya semata tapi lebih mendasarkan diri pada kecintaan terhadap rakyat jelata dan nasionalisme yang memperjuangkan nasib rakyat jelata, yang dengan demikian adalah nasionalisme yang memperjuangkan perbaikan hidup sesama.

Sosiodemokrasi adalah demokrasi yang tidak sama dengan demokrasinya liberal yang hanya mengurusi kehidupan politik, tapi demokrasi yang mengurusi juga kehidupan ekonomi dan sosial budaya, yang berarti segala urusan kemasyarakatan, bangsa dan negara adalah diatur secara gotong royong baik kehidupan ekonominya, politiknya dan sosial budayanya, jadi pada dasarnya tidak berlaku apa yang disebut individualistis di Indonesia.

Ketuhanan Yang Maha Esa, sekiranya sudah cukup jelas hal ini, bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang bertuhan, bangsa yang beragama meskipun bukan merupakan negara agama. Sekiranya cukup pulalah dengan bertuhan, tetap mengakui eksistensi Tuhan maka segala masalah-persoalan terselesaikan, tapi sering kita temui masyarakat kita sering lupa akan Tuhan, bahkan kita sendiri juga seringnya lupa kalau bertuhan, banyaknya kasus korupsi yang terungkap bukannya mengeliminir tindakan korupsi tersebut, yang terjadi adalah malah menghebatnya kasus-kasus korupsi yang menunjukkan bahwa Tuhan serasa hilang dibenak kita. Saya katakan kita, sebab diam-diam terkadang kita pun turut bermental maling, "mumpung ngg'ada yang lihat nyuri dulu ah..." atau "... maksiat dulu lah..."

Lebih lanjut dari trisila ini menurut Soekarno juga masih dapat diperas menjadi eka sila: gotong royong, inilah inti dari pancasila yang telah disepakati lahir pada tanggal 1 Juni 1945. Sebagaimana semboyan yang melekat pada lambang Negara garuda pancasila yaitu “bhineka tunggal ika” yang lengkapnya “bhineka tunggal ika, tan hanna dharma mangrwa” yang berarti “berbeda-beda tetapi tetap satu jua, tidak ada kebenaran yang mendua” atau berbeda tapi tetap satu, gotong royong yang utama.

Demikian nasionalisme Indonesia yang seharusnya berbeda dengan nasionalisme Eropa, nasionalime yang tidak hanya sekedar kebanggan dan rasa cinta tanah air semata, tapi nasionalisme yang atas dasar kegotong royongan, yaitu nasionalisme yang memperjuangkan perbaikan hidup sesama.

Jumat, 20 Juli 2012

Kiri Islam, Islam dan sosialisme

Dalam setiap pembicaraan mengenai sosialisme-alih alih membuat perbandingan, yang terjadi malah mengungkap pertentangan dua sisi (Islam dan sosialisme) yang tidak memiliki dasar kuat. Sering terjebak dalam pandangan bahwa sosialisme seluruhnya adalah Marxime-leninisme (komunis).

Sosialisme, muncul sebagai reaksi terhadap kondisi buruk yang dialami rakyat di bawah sistem kapitalisme-liberal yang tamak dan murtad. Kondisi buruk terutama dialami kaum pekerja atau buruh yang bekerja di pabrik-pabrik dan pusat-pusat sarana produksi dan transportasi. Sejumlah kaum cendekiawan muncul untuk membela hak-hak kaum buruh dan menyerukan persamaan hak bagi semua lapisan, golongan dan kelas masyarakat dalam menikmati kesejahteraan, kekayaan dan kemakmuran. Mereka menginginkan pembagian keadilan dalam ekonomi Di antara tokoh-tokoh awal penganjur sosialisme dapat disebut antara lain: St. Simon (1769-1873), Fourisee (1770-1837), Robert Owen (1771-1858) dan Louise Blane (1813-1882). Setelah itu baru muncul tokoh-tokoh seperti Proudhon, Marx, Engels, Bakunin dan lain sebagainya.

Pada akhir abad ke-19 sosialisme dan berbagai alirannya mulai mendapat penerimaan luas di Eropa. Ini disebabkan karena mereka tidak hanya melontarkan ide-ide dan mengembangkan wacana di kalangan intelektual dan kelas menengah, tetapi juga terutama karena mengorganisir gerakan-gerakan bawah tanah yang radikal dan bahkan revolusioner.

Walaupun faham sosialisme atheis ditolak oleh para cendikiawan dan ulama, sejumlah cendekiawan Muslim sendiri memandang bahwa dalam Islam sebenarnya terkandung ajaran ‘semacam sosialisme’. Ajaran ini tidak hanya terpendam sebagai cita-cita, tetapi malah telah dipraktekkan pada masa hidup Nabi dan khalifah al-rasyidin. Di antara cendikiawan Muslim abad ke-20 yang mengemukakan hal ini ialah Mohamad Hatta dan Muhammad Husein Heikal.

Bung Hatta menyatakan “Jiwa Islam berontak terhadap kapitalisme yang menghisap dan menindas, yang menurunkan derajat manusia, yang membawa sistem yang lebih jahat daripada perbudakan, daripada feodalisme. Dunia ini kepunyaan Allah semata-mata yang disediakan untuk tempat kediaman manusia sementara, dalam perjalanannya menuju dunia baka. Kewajiban manusia tidaklah memiliki dunia, yang kepunyaan Allah, melainkan memeliharanya sebaik-baiknya dan meninggalkannya (mewariskan) kepada angkatan kemudian dalam keadaan yang lebih baik dari yang diterimanya dari angkatan terdahulu.”

Sebelumnya dalam risalahnya “Persoalan Ekonomi Sosialis Indonesia” (1963) Bung Hatta menulis: “Sekarang, bagaimana duduknya sosialisme Indonesia? Cita-cita sosialisme lahir dalam pangkuan pergerakan kebangsaan Indonesia. Dalam pergerakan yang menuju kebebasan dari penghinaan diri dan penjajahan, dengan sendirinya orang terpikat oleh tuntutan sosial dan humanisme – perikemanusiaan – yang disebarkan oleh pergerakan sosialisme di benua Barat… Tuntutan sosial dan humanisme itu tertangkap pula oleh jiwa Islam, yang memang menghendaki pelaksanaan … perintah Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang serta Adil, supaya manusia hidup dalam sayang menyayangi dan dalam suasana persaudaraan dengan tolong-menolong”.

Adapun Kiri Islam dari Hassan hanafi yang pada dasarnya merupakan kritik terhadap borjuasi yang diterapkan pangeran-pangeran Arab. Hassan Hanafi meluncurkan jurnal berkalanya: Al-Yasar al Islami: Kitabat fi an Nahdhah al Islamiyyah (Kiri Islam: Beberapa esai tentang kebangkitan Islam) pada tahun 1981 setelah kemenangan revolusi Islam di Iran. Hassan Hanafi menggambarkan adanya kecenderungan kooptasi agama oleh kekuasaan, dan praktik keagamaan diubah menjadi semata-mata ritus. Hassan Hanafi melihat kecenderungan ini terjadi hanyalah sebagai topeng untuk menyembunyikan feodalisme kesukuan dan kapitalisme kesukuan. Liberalisme pun tidak luput dari sasaran kritik kiri Islam, meskipun secara teori, liberalisme adalah anti kolonial, tapi liberalisme sendiri merupakan produk kolonialisme Barat. Faktanya liberalisme sendiri hingga kini didukung oleh suatu kelas yang mengendalikan kesejahteraan nasional.

Kiri Islam bukanlah muslim berbaju marxis, sebab ia juga hadir sebagai kritik terhadap marxisme, dalam pembelaannya yang memperjelas kehadiran kiri Islam adalah sebagai bentuk perjuangan yang mengusik kemapanan politik dan agama. Isu utamanya adalah kolonialisme, kapitalisme dan zionisme yang telah mengkotakkan Islam dalam permasalahan-permasalahan akut seperti kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan. Jadi jelas bahwa Kiri Islam tidak memncapur adukkan perjuangannya dengan pandangan sosialis meskipun dapat dikatakan memiliki permasalahan yang sama.

Memang kecenderungan atheisme yang terdapat dalam faham sosialisme modern dengan sendirinya akan ditolak oleh masyarakat beragama. Akan tetapi beberapa aspek dari pemikiran kaum sosialis seperti keadilan sosial itu tidak ditolak. Di kalangan cendekiawan Muslim tidak sedikit pula yang berpendapat bahwa dalam Islam sebenarnya terdapat pula ajaran yang sejalan dengan pokok-pokok pemikiran yang dikemukakan oleh sosialisme modern. Di antara tokoh-tokoh Islam yang berpendapat demikian antara lain ialah Muhammad Iqbal dan Muhammad Husein Heikal. Di Indonesia, sosialisme religius telah dianjurkan sejak awal abad ke-20 oleh tokoh-tokoh seperti Cokroaminoto pada tahun 1905 (bukunya Islam dan Sosialisme) dan K. H. Agus Salim. Cokroaminoto memandang sistem kapitalisme yang dibawa oleh pemerintah Hindia Belanda di Indonesia merupakan bentuk dari “Kapitalisme Murtad”. Adapun Haji Misbach yang sering disebut Haji Merah lebih memilih komunisme dalam perjuangannya, disamping ia juga berpendapat bahwa slam dan komunisme tidak selalu harus dipertentangkan, Islam seharusnya menjadi agama yang bergerak untuk melawan penindasan dan ketidakadilan.

Kiri Islam dan Sosialisme dalam kehadirannya menyerukan tentang keadilan sosial, ia tidak muncul dari keadaan hampa yang mengada-ada, ia mencoba menjawab setiap ketimpangan hasil kapitalisme-liberalistis lewat kritik sekaligus menyerang praktek borjuasi. Borjuasi meskipun memberi kesan tudingan terhadap suatu kelas tertentu dalam masyarakat, tapi juga adalah gaya hidup yang pada dasarnya dalam ajaran Islam mendapat tentangan dan merupakan hal yang patut dijauhi, sebagaimana yang disebutkan dalam Surat At Takatsur (saya tidak memiliki kewenangan dalam membahas terjemahannya) yang kurang lebih memuat larangan untuk hidup bermegah-megahan.

Begitupun dengan jargon "rahmatan lil'alamin" yang menyatakan kehadiran Islam sebagai "rahmat sekalian alam" yang bagi saya sendiri juga membawa semangat egalitarian yang menentang bentuk kelas sosial, dimana tidak terdapat penghisapan manusia oleh manusia. Hanyalah fatamorgana duniawi yang menghasut orang untuk terlena dalam kekuasaan dan kemegahan. Tentang agama sebagai ujung tombak politik, bolehlah kita buka suatu diskusi untuk mencari jalan kesepakatan menuju suatu tatanan kemasyarakatan yang adil dan sejahtera yang benar-benar mempraktekkan jargon "rahmatan lil'alamin" bukan "kapitalisme lil'alamin" apalagi "syahwatan lil'alamin". salam.

Jumat, 29 Juni 2012

motivasi dari tembang "lir-ilir"

Sambil ngopi menikmati damainya pagi saya nyetel lagu "lir-ilir" versinya Cak Ainun Nadjib yang dicampur aduk sama shalawat badar, tentu banyak yang telah mendengar lagu ini dan tidak sedikit yang hafal dengan lirik lagu yang konon diciptakan oleh Sunan Kalijogo, salah satu dari Wali Songo-penyebar agama Islam di Pulau Jawa.

Dapatlah saya bayangkan bagaimana situasi saat pertama sekali lagu ini diperkenalkan kepada masyarakat yang masih memegang teguh adat-tradisinya. Sejenak memang seperti sebuah ajakan untuk berkumpul dalam suatu pertemuan-lebih dari itu saya membayangkan adanya sekumpulan masyarakat dengan diskusi-diskusi yang tidak dibatasi oleh status sosial (bolehlah saya mereka-reka gambaran sejarahnya). Seperti dialog punakawan dalam memecahkan persoalan yang dihadapi oleh petinggi-petinggi wayang. Sangat proletar kalau boleh saya bilang meskipun saya tidak pernah tahu menahu soal seni dan sejarah.

Tentu sebagai orang yang awam saya juga mengerti tentang adanya "isi sampaian" dalam suatu karya, termasuk juga dalam lagu "Lir-ilir" ini. Selain gambaran yang tiba-tiba memenuhi isi kepala, juga tentang misi motivasi yang saya tangkap dalam lagu tersebut. Berikut syair lagunya:

Lir ilir lir ilir tandure wis sumilir
Tak ijo royo royo
Tak sengguh panganten anyar
Cah angon cah angon penekna blimbing kuwi
Lunyu lunyu penekna kanggo mbasuh dodotira
Dodotira dodotira kumintir bedah ing pinggir
Dondomana jrumatana kanggo seba mengko sore
Mumpung padang rembulane
Mumpung jembar kalangane
Sun suraka surak hiyo

Berikut (kurang-lebih) dalam bahasa Indonesia:
Sayup-sayup bangun (dari tidur)
Pohon sudah mulai bersemi,
Demikian menghijau bagaikan gairah pengantin baru
Anak penggembala, tolong panjatkan pohon blimbing itu
walaupun licin(susah) tetap panjatlah untuk mencuci pakaian
Pakaian-pakaian yang koyak(buruk) disisihkan
Jahitlah, benahilah untuk menghadap nanti sore
Mumpung terang rembulannya
Mumpung banyak waktu luang
Mari bersorak-sorak ayo…

"Lir-ilir" memberi motivasi untuk segera bangkit, yang berilmu jangan hanya jadi "petapa", jadilah teladan bagi yang lain. Yang muda bangkit mencari ilmu, kebodohan tidak akan dapat lenyap tanpa adanya aksi. Bangkit membangun diri, bangkit membenahi diri untuk membenahi bangsa. bangkit bekerja, mengabdi di jalan Allah."Lir-ilir, tandure wis sumilir" yang berarti bangkitlah, waktunya telah tiba, inilah, kinilah saatnya bangkit dan berbenah. "Tak ijo royo royo", segar menghijau seperti tanaman muda yang bersemi, diliputi semangat untuk bekerja-membangun dan berbenah. "Tak sengguh panganten anyar" seperti menyambut kehadiran pengatin baru, membangun satu keluarga/kekeluargaan (gotong royong).

"Cah angon cah angon penekno blimbing kuwi, Lunyu lunyu penekna kanggo mbasuh dodotira." Dimaksud disini adalah pemimpin. Orang yang mampu menjadi imam yang baik yang mengajarkan syari’at Islam. Dan belimbing adalah buah bersegi lima, yang merupakan simbol dari lima rukun Islam. Disamping itu, tiap-tiap orang adalah pemimpin, pemimpin bagi diri sendiri dan pemimpin bagi yang lain (terkait dengan keteladanan). "lunyu-lunyu penekna, kanggo mbasuh dodotiro", susah-sulit tuntunlah, beri keteladanan untuk senantiasa berbenah.

"Dodotira dodotira kumintir bedah ing pinggir", sisihkan sifat / tradisi / kebiasaan yang sudah tidak lagi bermanfaat, yang buruk, yang merugikan hendaklah dihilangkan, jangan terus dipelihara dan bahkan dilestarikan. "Dondomana jrumatana kanggo seba mengko sore" benahi yang sudah ada, lengkapi yang kurang, sepertinya berkaitan dengan pembenahan/pembangunan akhlak-moralitas dari tiap-tiap generasi, yang sudah ada (ditemukan) dan dianggap baik dan bermanfaat dipertahankan dan lengkapi lagi ilmu agar sempurna yang telah ada.

"Mumpung padang rembulane, Mumpung jembar kalangane, Sun suraka surak hiyo" mumpung masih ada kesempatan untuk berbenah, setiap waktu adalah saat untuk berbenah dengan senantiasa menyambut pengetahuan dengan bersuka/ hati terbuka.

Demikian yang ada dalam otak saya ketika mendengar lagu "lir-ilir", yang mungkin belum sepenuhnya sempurna, saya anggap "belum sempurna" sebab apa yang saya pikirkan ini masih juga perlu dibenahi (dilengkapi) dengan sudut pandang lain. Semoga bermanfaat. salam.