Tanpa Pancasila, negara akan bubar. Pancasila adalah seperangkat asas dan ia akan ada selamanya. Ia adalah gagasan tentang negara yang harus kita miliki dan kita perjuangkan. Dan Pancasila ini akan saya perjuangkan dengan nyawa saya (Gus Dur)

Minggu, 11 Desember 2011

Celoteh ringan II (Pandawa-Pancasila)

Dalam saya mengikuti-membaca kisah Mahabarata saya mencoba merangkum perwatakan/sifat yang dimiliki oleh tokoh-tokoh yang terlibat didalamnya. Dan memang akan terkesan mengherankan jika membaca judul tulisan ini, tentunya bagi para pecinta 'wayang' yang sangat mungkin didalamnya adalah para dalang, tapi inilah yang jadi pertanyaan bagi saya sendiri: dalam perkara apa sifat/watak para Pandawa dikaitkan dengan sila-sila Pancasila? Mungkin pula hal ini akan memunculkan protes, inilah tulisan yang sekiranya hanya mengajak berdialog mencari lagi setapak budaya sekedar berpartisipasi dalam 'nation character building'.

Kita mengenal tokoh-tokoh Pandawa dalam kisah Mahabarata, Pandawa lima, diceritakan sebagai lima bersaudara putra Pandu yang memiliki sifat dan kelebihan masing-masing disamping kehadiran mereka sebagai ksatria, lalu apa hubungannya dengan sila-sila Pancasila? Bukan lantaran konsep 'tuk gala gathuk' saya kemukakan padangan ini, tapi pada dasarnya saya menangkap keunikan (atau mungkin karena ketidak tahuan?). Untuk kurang dan lebihnya saya mohon maaf.
Pandawa dalam versi India diceritakan memiliki istri tunggal, Dewi Drupadi, dan dalam versi Jawa tidak dikisahkan demikian, dalam versi Jawa para Pandawa memiliki istri (garwa) masing-masing, misalnya tokoh Bima yang beristri Dewi Arimbi, ketertarikan Bima pada Dewi Arimbi semata pada keluhuran dan keagungan Sang Dyah Ayu. Demikianlah sedikit simbolisasi perwatakan dalam kisah pewayangan yang memang penuh dengan simbolisasi karakteristik manusia.

Yudistira, tokoh protagonis yang digambarkan sebagai sosok yang bijaksana, merupakan saudara pandawa yang tertua. Dibandingkan dengan keempat saudaranya yang lain, Yudistira tampak paling lemah, dengan 'kanuragan' yang biasa-biasa saja, suatu hal yang memunculkan pendapat bahwa kepemimpinan yang dipegangnya juga akan lemah, lebih banyak berpikir daripada bertindak; lambat mengambil keputusan dan tidak tegas. Sebaliknya, diceritakan bahwa dibawah kepemimpinan Yudistira inilah pihak Pandawa dapat mengatasi segala permasalahan yang dihadapi, termasuk dalam perseteruan dengan Kurawa.
Sifat Yudistira tercermin dalam julukannya seperti 'Ajatasatru' yang berarti tidak memiliki musuh; 'Gunatalikrama' pandai bertutur bahasa; 'Samiaji' atau menghormati orang lain seperti diri sendiri dan Yudistira sendiri berarti pandai memerangi nafsu pribadi. Yudistira banyak meluangkan waktu untuk 'semedi', berkontemplasi dan berkomunikasi dengan Sang Hyang Tunggal. Kesederhanaan adalah gambaran khasnya.
Sebagaimana kebiasaan tokoh pewayangan, Yudistira juga memiliki 'gegaman' atau senjata khusus yaitu 'kyai tunggul naga'~mendengar nama ini penulis jadi ingat nama tombak yang menjadi pusaka milik Raden Batara Katong pada masa kesultanan Demak Bintoro, terlepas benar atau tidak, juga mengenani filosofi payung bisa kita bicarakan lain waktu dan lain tempat.
Selain 'gegaman' terdapat juga 'jimat jamus kalimasada' yang terkenal, sepanjang sepengetahuan saya, jamus kalimasada sendiri merupakan akronim dari 'kalimat syahadat' dari kata 'syahida' yang berarti "ia telah menyaksikan" yang merupakan kalimat pernyataan keesaan Allah dan nabi Muhammad sebagai utusanNya. Merupakan pernyataan ketertundukkan terhadap Tuhan, tauhid, konsep radikal yang mampu menghantam konsep ketertundukkan manusia terhadap selain Tuhan yang pada kenyataannya (sepanjang sejarahnya) selalu saja menindas manusia itu sendiri.
KeTuhanan Yang Maha Esa, merupakan pernyataan bahwa Tuhan itu benar-benar ada, tidak tunduk pada sesuatu apapun kecuali pada Tuhan. Sederhananya bahwa seluruh agama akan selalu membawa kebaikan dan negara tidak terbentuk atas dasar kepentingan kelompok atau orang seorang, negara ada karena musyawarah, kepentingan bersama dan inilah amanat Tuhan.
Sesuai dengan watak tokoh Yudistira, jujur dan sabar yang tak mungkin dapat diwujudkan dalam perilaku tanpa ada dasar keyakinan kepada Tuhan dan ketertundukkan kepada Tuhan. Kepemimpinan yang digambarkan lewat tokoh Yudistira adalah kepemimpinan yang diharapkan, mengerti kapan berkata 'ya' dan 'tidak', dengan wawasan yang luas dan kepasrahan terhadap keputusan Sang Hyang Tunggal sepertinya memberi jalan untuk mengantisipasi segala permasalahan dengan tepat dan bijaksana.
Werkudara, lebih dikenal dengan nama Bima atau Bimasena, anak kedua Pandu yang paling kuat, dalam setiap kisahnya selalu digambarkan heroik. Dari namanya sudah dapat digambarkan watak/sifat, seperti Bima yang dalam bahasa sansekerta berarti 'mengerikan', Werkudara dalam bahasa Sanskerta dieja vแน›(ri)kodara yang berarti 'perut serigala' dan Bimasena yang berarti 'panglima perang'. Sifat yang melekat dalam tokoh ini adalah kejujuran, keluguan dan kebersahajaan, seperti seorang yang menyadari sepenuhnya kemanusiaannya.
Ir. Soekarno sangat mengagumi tokoh Bima dan sempat mengidentifikasi dirinya mirip dengan tokoh Bima. Bima memiliki sifat gagah berani, teguh, kuat, tabah, patuh dan jujur, serta menganggap semua orang sama derajatnya, sehingga dia digambarkan tidak pernah menggunakan bahasa halus (krama inggil) atau pun duduk di depan lawan bicaranya.
Kemanusiaan yang adil dan beradab, menyadari diri sebagai manusia ciptaan Tuhan, dengan menyadari diri sebagai manusia maka harus mampu pula memanusiakan manusia. Menjadi manusia yang adil yang tentunya harus sadar bahwa diri sebagai manusia, lalu adil terhadap diri, misalnya manusia itu pasti akan merasa lapar, kalau lapar harus  makan, lalu adil terhadap manusia yang lain, memanusiakan manusia, berlaku sebagaimana 'tat twam asi' kemudian adil terhadap Tuhan, menjalankan perintahNya menjauhi laranganNya. Mencapai manusia yang beradab. Hanya dengan menyadari diri sebagai manusia lah hal itu dapat terjadi.
Moral memiliki dasar kemanusiaan, kemanusiaan akan tetap sama dimanapun dan kapanpun, bergerak lurus, kejahatan terhadap kemanusiaan disuatu wilayah akan menjadi kejahatan terhadap kemanusiaan diseluruh belahan bumi manapun.
Disetiap pertunjukkan wayang kulit, dalang akan selalu mengatakan“Jalan Raden Bratasena (salah satu nama dari Werkudara) lurus dan mengikuti apa kehendaknya. Lompat Raden Bratasena sejauh penglihatan gajah. Cepat sebagai kilat.”  Lalu gunungan dilewatkan berulang-ulang, diiringi 'suluk' atau lagu yang membangkitkan kegeraman pendengarnya. Hal ini menggambarkan lurusnya hati si tokoh dalam dunia wayang, tidak gentar menggenggam kebenaran, amarah yang sangat manusiawi terhadap segala yang rapuh dan goyah sebagaimana perlambangan munculnya Bratasena yang diiringi angin ribut, pohon yang akarnya dalam, patah, dan yang tak dalam tumbang. Demikianlah kemanusiaan, akan selalu bergerak lurus dimanapun dan sampai kapanpun.
Sebagai panglima perang, Bimasena adalah yang terdepan (selalu tampil digaris depan)~dalam perang Baratayuda, Bimasena memimpin pasukan garis depan (bahkan benar-benar didepan pasukannya) berjalan tanpa tunggangan, sekaligus memungkasi perang tersebut dengan menepati janjinya untuk meremukkan paha Duryudana.
Arjuna, tokoh ketiga dalam pandawa yang akhir-akhir ini cukup populer, lebih dikenal dengan ketrampilan memanah, lebih dari itu dalam wayang kulit kehadiran Arjuna selalu dengan kepala merunduk, seperti halnya padi 'semakin berisi semakin merunduk.'
Dalam wiracarita Mahabarata Arjuna digambarkan sebagai sosok yang rupawan dan lemah lembut, memiliki sepuluh nama yang masing-masing nama selain menggambarkan sifat/watak juga merupakan janji sang Arjuna. Arjuna sendiri dalam bahasa sansekerta berarti "bersinar terang", "putih", "bersih". Dilihat dari maknanya, kata Arjuna bisa berarti "jujur di dalam wajah dan pikiran". Memiliki beragam 'gegaman' dan 'kanuragan'.
Persatuan Indonesia, tentunya dapat dirajut dengan kerukunan antar kelompok-kelompok masyarakat yang beragam, keadaan yang mana semua pihak mulai membuka diri satu sama lain, mau menerima dan saling mengisi, tidak sebaliknya dimana masing-masing pihak mulai menonjolkan diri dengan ego ke'aku'annya. lebih dari itu, keadaan bersatu merupakan senjata yang ampuh bagi Indonesia untuk menjawab tantangan jaman. Tidak hanya mengandalkan keris, rencong ataupun kujang. Bukan hanya Jawa, Aceh, Kalimantan ataupun Papua yang berada di garis depan, tapi keseluruhan yang saling mengisi dalam persatuan.
Nakula, merupakan putera Dewi Madri, dalam pewayangan Jawa Nakula memiliki nama Pinten (tanaman yang daunnya dapat digunakan sebagai obat) dan merupakan titisan Batara Aswin, dewa tabib.
Nakula mempunyai watak jujur, setia, taat, belas kasih, tahu membalas guna dan dapat menyimpan rahasia. Mempunyai Aji Pranawajati pemberian Ditya Sapujagad, dimana Nakula tidak akan pernah lupa tentang segala hal.
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, merupakan hakikat dari demokrasinya Indonesia, rakyat yang berdaulat mendelegasikan atau mempercayakan kekuasaannya untuk dijalankan oleh wakil-wakilnya atas dasar musyawarah mufakat.
Sebagaimana penggambaran watak tokoh Nakula, wakil rakyat sudah seharusnya jujur, setia dan tahu membalas guna. Lebih lanjut, tidak mudah lupa kalaupun tidak mampu untuk selalu ingat tentang segala hal.
Tokoh berikutnya adalah Sadewa yang merupakan saudara kembar Nakula, tapi memiliki kelebihan dibanding saudara kembarnya yaitu pandai dalam segala ilmu pengetahuan, terutama disini tentang astronomi, peternakan dan pertanian, mampu memprediksi (untuk tidak mengatakan meramal) kejadian yang akan datang.
Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, inilah yang menjadi cita-citanya bangsa Indonesia ketika membangun sebuah negara yang bernama Republik Indonesia, cita-cita dimana masyarakatnya hidup tidak dalam penghisapan oleh yang lain, atau tidak dalam keadaan dibodohi oleh sebagian yang lain, oleh karenanya ilmu pengetahuan adalah sangat penting dalam membangun kesadaran berdaulat rakyat Indonesia.
Disamping itu, tokoh Nakula dan Sadewa juga diceritakan memiliki loyalitas yang tinggi terhadap Pandawa, tentu, rakyat akan semakin loyal terhadap negara andaikata sila keempat terlaksana dengan baik bahkan sila kelima dapat tercapai.
Demikian sedikit usaha saya dalam menggambarkan sila-sila Pancasila lewat perwatakan tokoh wayang sekiranya memang untuk kembali mengkampanyekan Pancasila, dan Pancasila sebagai gagasan yang sekaligus cita-cita besar ini dapat terus dikaji dan senantiasa diperkenalkan kepada tiap-tiap generasi.
Akhirnya dapat pula kita renungi makna semboyan "Bhineka tunggal ika, tan hanna dharma mangrwa": berbeda-beda tetapi tetap satu jua, tidak ada kebenaran yang mendua dan semoga kebenaran datang dari segala arah. Merdeka.
Yoehan Rianto Prasetyo

Rabu, 07 Desember 2011

Celoteh ringan I (dari catur paramita hingga 'ngemong roso')

Mau diakui atau tidak, pada dasarnya moral yang memiliki dasar kemanusiaan selalu mengalami dialektika, sebab bertemunya budaya-budaya yang juga membawa nilai-nilai moralnya. Sedangkan kemanusiaan yang menjadi dasarnya moral adalah sama dimanapun dan kapanpun.
Dengan begitu moral pada dasarnya akan selalu dipelajari, tiap generasi mempelajari segala yang ditemukan oleh generasi sebelumnya, dan dalam tiap proses belajar itu terjadi pula dialektika 'perulangan'. Berikut merupakan ajaran-ajaran yang sarat akan nilai moral yang ada dalam kebudayaan yang kiranya cukup patut menjadi bahan diskusi dalam menyimak kembali nilai-nilai moral yang telah ada dalam budaya Nusantara demi proses 'nation character building'.
Catur Paramita, berasal dari bahasa Sansekerta. Dari kata ”catur” yang berarti empat dan ”paramita” berarti sifat dan sikap utama. Catur Paramita berarti empat macam sifat dan sikap utama yan patut dijadikan landasan bersusila. Catur Paramita merupakan salah satu dari landasan atau pedoman untuk melaksanakan ajaran susila atau ethika dalam ajaran agama Hindu.
Adapun bagian-bagian catur paramita antara lain :
Maitri artinya semangat mencari kawan dan bergaul, yakni tahu menempatkan diri dalam masyarakat, ramah-tamah, serta menarik hati segala perilakunya sehingga menyenangkan orang lain dalam diri pribadinya. Untuk berbuat Maitri, maka kita jangan melakukan / berbuat bencana yang bersifat maut (Anta Kabhaya) atau jangan membenci.
Karuna artinya belas kasih, maksudnya adalah selalu memupuk rasa kasih sayang terhadap semua makhluk. Untuk berbuat karuna, maka pantang melakukan perbuatan yang menyebabkan terjadinya penderitaan, tersiksa, kesengsaraan, atau jangan bengis.
Mudita artinya selalu memperlihatkan wajah yang riang gembira, yakni penuh simpatisan terhadap yang baik serta sopan santun. Untuk dapat berbuat mudita, maka jangan melakukan perbuatan yang dapat menyebabkan orang lain susah, atau jangan memiliki rasa iri hati kepada orang lain.
Upeksa artinya senantiasa mengalah demi kebaikan, walaupun tersinggung perasaan oleh orang lain, ia tetap tenang dan selalu berusaha membalas kejahatan dengan kebaikan bisa juga dimaksud dengan tahu diri (mawas diri). Untuk berbuat upeksa maka pantang menghina orang lain, memandang rendah orang lain, menindas orang lain, atau selalu dapat berusaha mengendalikan dorongan hawa nafsu jahat.

Ajaran Catur Paramita merupakan realisasi dari ajaran Tat Twam Asi yang merupakan bentuk penyempurnaan etika-perbuatan bagi masyarakat Hindu. Tat twam asi sendiri merupakan suatu ungkapan yang berarti, kurang lebih adalah kau adalah aku, lebih dari itu tat twam asi merupakan filosofi yang mengajarkan bahwa apa yang dirasakan oleh manusia adalah sama. Tiap-tiap orang memiliki rasa sakit yang sama dan sama-sama tidak ingin mengalaminya, jika kena pukul itu sakit maka janganlah memukul orang lain, jika dibenci atau dikucilkan itu tidak menyenangkan maka jangan membenci atau mengucilkan orang lain.
Mengejek, fitnah atau hal-hal lain yang tidak manusiawi memang sudah selayaknya dihindari, sebaliknya hal-hal/perbuatan yang dapat bermanfaat bagi orang lain atau minimal berdampak pada kebahagiaan-kenyamanan bagi orang lain adalah yang diharapkan.
Selaras dalam hal ini ada ungkapan dalam masyarakat Jawa "mikul duwur mendem jero" yang berarti akan lebih baik jika menjunjung kebaikan dan melupakan segala yang buruk dalam hal ini lebih pada prinsip hidup tidak menyimpan dendam yang pada kenyataannya malah sering dimanfaatkan secara pragmatis.
Adapula dalam filosofi Jawa yaitu 'ngedu roso' yang berarti mengadu rasa atau bisa juga dikatakan 'ngemong roso' atau menjaga rasa, hal ini lebih sulit dilakukan sebab menyangkut 'perasaan'. Apalagi dalam era liberal saat ini yang lebih mengedepankan hak asasi secara individual, jangankan untuk menjaga rasa, perhatian terhadap kepedulian sosial sangat minim. Sepertinya kita sebagai generasi bangsa yang mewarisi budaya luhur ini lebih suka melihat kehancuran seseorang daripada turut berpartisipasi membangun dan memperkuat sesama. Meskipun demikian dapatlah selalu kita harapkan, kita cita-citakan suatu tatanan kemasyarakatan yang penuh dengan kepedulian, kalau tidak dengan generasi kita, boleh dengan generasi mendatang, kalau tidak sanggup untuk peduli bolehlah hanya sekedar menjaga perasaan.
Sebagai tambahan, sebagaimana komentar seorang teman lewat jejaring sosial 'face book' yang mempertanyakan kecenderungan mengalah dalam konsep catur paramita dan ada tidaknya manusia yang sebagaimana dimaksudkan dalam catur paramita, yang memang faktanya hanya ada kepentingan dan pembenaran/pewajaran, tapi bukannya tidak ada manusia semacam itu, dari Abdullah bin Mas'ud: seolah-olah aku masih teringat (melihat) Rasulullah Saw. melukiskan nabi terdahulu ketika dipukuli oleh kaumnya hingga berlumuran darah, sambil mengusap darah dari wajahnya sang nabi berdoa "Allahummaghfir liqaumi fainnahum laa ya'lamuun (Ya Allah ampunilah kaumku, sesungguhnya mereka tidak tahu).


Pada akhirnya dapat saya gunakan pula istilah manusia dalam bahasa Jawa yaitu 'Manungso' yang diartikan 'manunggale roso' atau menyatunya rasa, dan kehadiran manusia dalam hidup ini memanglah akibat dari menyatunya rasa. Tentunya rasa yang dikatakan baik, bukan lantaran dengki, iri, dendam, atau bahkan karena intrik.

Yoehan Rianto Prasetyo

Sabtu, 26 November 2011

Idealisme-pragmatisme-profesionalisme

Pada dasarnya perdebatan antara materialisme dan idealisme telah berakhir beberapa abad yang lalu dengan runtuhnya kekuatan komunis soviet, ditandai dengan runtuhnya tembok Berlin yang juga merupakan tanda satu episode sejarah. Perang dingin.
Komunisme memiliki dasar materialisme, ia merupakan bentuk revisi terhadap sosialisme-ilmiah (Marxisme), sosialisme sendiri pada dasarnya adalah bentuk idealis atau oleh Karl Marx disebut sebagai 'sosialisme utopis'. Sosialisme merupakan reaksi dari ketimpangan yang dihasilkan oleh sistem kapitalisme, kapitalisme juga memiliki dasar materialisme yang muncul dari kalangan liberal untuk mendobrak kakunya sistem feodalism. Inilah episode sejarah perdebatan antara materialisme dengan idealisme. Sekedar intermezzo, kurang atau lebihnya saya mohon maaf.

Tulisan (kali) ini tidak sedang mempertentangkan kembali antara Idealisme dengan materialisme, tapi mencoba mencari perbandingan antara Idealisme dengan pragmatisme dan idealisme dengan profesionalisme. Selalu saja menjadi warna yang dramatis dalam realitas tentang pertentangan-pertentangan, yang utama dan sering terlihat lugas adalah antara idealisme dengan pragmatisme, tidak hanya dalam urusan partai politik, tapi dalam dunia kerja, bahkan sangat mungkin diruang keluarga.
Saya mulai dengan idealisme, Idealisme adalah sebuah istilah yang digunakan pertama kali dalam dunia filsafat oleh Leibniz pada awal abad 18. Ia menerapkan istilah ini pada pemikiran Plato, seraya memperlawankan dengan materialisme Epikuros, memandang yang mental dan ideasional sebagai kunci ke hakikat realitas. Sederhanya: "pikiran mempengaruhi keadaan". Secara etimologis, Idealisme berasal dari kata 'ide' yang artinya adalah dunia di dalam jiwa (Plato), jadi pandangan ini lebih menekankan hal-hal bersifat ide, dan merendahkan hal-hal yang materi dan fisik.
Idealisme memiliki dua bentuk, yaitu idealisme aktif, yaitu idealisme yang melahirkan insipirasi-inspirasi baru yang bisa dilakukan dalam realitas, sedangkan idealisme pasif adalah idealisme yang hanya semu, tidak pernah bisa diwujudkan, bersifat utopis saja.
Dalam realitas kehidupan, orang yang-katakanlah: idealis, memilih sikap-sikap yang berusaha melawan dominasi, sikap-sikap ini dapat dikelompokkan dalam dua type: frontal dan moderat. Type frontal yaitu tetap keras pada pendirian dan idealismenya dengan memperjuangkan nilai-nilai dan cita-citanya secara konsisten. Kecenderungan yang dilakukan adalah bersikap keras terhadap penyelewengan yang ada disekitarnya. Resiko yang dihadapinya adalah adanya upaya-upaya orang lain untuk mendiskriditkanya, memojokannya bahkan dikucilkan dari lingkungannya. Jika yang bersangkutan memiliki gerbong, maka gerbongnyapun tak akan luput dari upaya-upaya untuk dihancurkan arus utama.
type moderat yaitu berupaya tetap mengikuti budaya yang ada dengan benteng moralitas dan idealisme yang menjadi cita-citanya. Type seperti ini menghendaki adanya perbaikan terus menerus dengan cara-cara yang elegan tanpa ada benturan yang keras disana-sini. Berupaya tetap solid bersama orang-orang yang ingin perbaikan melalui proses yang dapat diterima kalangan baik yang pragmatis maupun frontal.

Pragmatisme, adalah aliran filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar adalah segala sesuatu yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan melihat kepada akibat-akibat atau hasilnya yang bermanfaat secara praktis. Dengan demikian, bukan kebenaran objektif dari pengetahuan yang penting melainkan bagaimana kegunaan praktis dari pengetahuan kepada individu-individu. Tidak ingin muncul atau terdapat perdebatan demokratis yang berkepanjangan.
Dasar dari pragmatisme adalah logika pengamatan, atau sederhananya, keadaan mempengaruhi pikiran, tentu sangat materialistis. Dengan begitu filsafat pragmatis tidak mau direpotkan dengan pertanyaan-pertanyaan seputar kebenaran, terlebih hal-hal yang bersifat metafisik. Teori pragmatis menyatakan bahwa 'apa yang benar adalah apa yang berfungsi'.
Dalam realitas, orang pragmatis selalu digambarkan dengan salah kaprah, sering digambarkan dengan sosok yang simple, yang (padahal) sebenarnya penuh dengan skenario dan intrik. Type pragmatis memiliki kecenderungan untuk berperan dominan dan berlindung dibalik layar, katakanlah 'dalang'.
type pragmatis setelah mengetahui bahwa realitas pekerjaan dapat dipermainkan dengan aman demikepentingan pribadi maupun golongan. Type seperti ini mengikuti arus utama dalam perhelatan yang terjadi dalam institusi birokrasi, perusahaan, legislatif maupun yudikatif. Aksi tipu-tipu, manipulasi, menerima suap maupun upeti merupakan budaya yang biasa dalam kamus hidupnya.

Dan sampailah pada profesionalisme, yang secara serampangan selalu saja diidentikkan dengan pragmatisme, dan secara serampangan pula dipertentangkan dengan idealisme.
Profesionalisme ialah sifat-sifat (kemampuan, kemahiran, cara pelaksanaan sesuatu dan lain-lain) sebagaimana yang sewajarnya ter­dapat pada atau dilakukan oleh seorang profesional. Profesionalisme berasal daripada profesion yang bermakna berhubungan dengan profesion dan memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya, (KBBI, 1994). Jadi, profesionalisme adalah tingkah laku, kepakaran atau kualiti dari seseorang yang profesional (Longman, 1987).
pemahamannya: Profesional, ialah seseorang yang melakukan suatu (kegiatan, aktivitas, usaha, pekerjaan) yang dilakukan untuk mendapatkan (nafkah, kesenangan) atau memberi (konstribusi) dengan mengandalkan (keahlian, keterampilan, kemahiran) yang tinggi dengan melibatkan komitmen pribadi (moral) yang mendalam. Profesionalisme Lebih mengarah pada (spirit, jiwa, sikap, karakter, semangat, nilai) yang dimiliki dari seorang yang profesional.
Tanpa profesionalisme sebuah institusi, sebuah organisasi, sebuah perusahaan tidak akan bertahan lama dan langgeng, karena jiwa profesionalisme inilah yang menghidupkan setiap aktivitas-aktivitas yang ada didalamnya.
Julukan profesional sebenarnya bukan label yang kita berikan untuk diri sendiri melainkan penilaian orang lain atas kinerja dan peforma yang kita tampilkan.
Profesional tanpa idealisme adalah tidak mungkin, sebab profesionalisme butuh etika untuk melaksanakannya, dan etika hanya akan didapat dari idealisme. Simpel saja, dengan menaati aturan, nilai-nilai moral dan memegang teguh hal hal tersebut maka kinerja seseorang dapat dikatakan profesional, sesuai dengan profesinya. Salam berdaulat.

Oleh: Yoehan Rianto Prasetyo
Penulis mengharap kritik, saran dan masukkan untuk kesempurnaan tulisan ini.

Minggu, 16 Oktober 2011

Revolusi Indonesia Merdeka

... selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah...
tidak akan kita menyerah kepada siapapun juga...
lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka...
... mulailah kita sekarang ini, majulah kita sekarang ini... Insyaallah kemenangan akhir kita akan mencapainya... Allahuakbar... merdeka (Bung Tomo)
... kita ingin menjadi bangsa yang digembleng oleh keadaan, digembleng hampir hancur lebur bangun kembali, hampir hancur lebur bangun kembali, hanya dengan jalan demikianlah kita menjadi bangsa yang berotot kawat balung besi... (Soekarno, pidato maulid Nabi 1963)
...engkau pemuda-pemudi yang berkumpul disini, sekarang mengerjakan investmen, kerjakanlah pekerjaanmu itu sebaik-baiknya, kerjakanlah sebaik-baiknya oleh karena apa yang kau kerjakan itu adalah ilmu, dan ilmu itu bukan untukmu sendiri tapi ialah untuk anak-cucumu, untuk bangsa Indonesia, untuk rakyat Indonesia, untuk tanah air Indonesia, untuk negara Republik Indonesia... (Soekarno, Pidato didepan mahasiswa AS 1956)

watak budaya bangsa telah dicita-citakan dalam Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Revolusi Indonesia bukanlah hanya untuk mengusir imperialisme dan kolonialisme, revolusi Indonesia lebih jauh dari itu, bagaimana mungkin membangun bangsa tanpa revolusi? Bagaimana mungkin menjalankan revolusi dengan mengatakan bahwa revolusi telah selesai? Tidak akan mungkin menjadi bangsa yang kuat, tiada akan pernah gagasan besar: Pancasila dapat tercapai tanpa adanya dinamika, tanpa adanya dialektik, tanpa romatik. Revolusi Indonesia menuju pada kerangka: sosialisme, dunia baru tanpa eksploitasi manusia oleh manusia, bukan pada liberalisme-kapitalistik.
Kenyataannya saat ini, bangsa Indonesia digiring pada liberalisme (individualism, pragmatisme), pilar-pilar dari liberalisme kian kuat sementara ketimpangan sosial semakin tajam dan gamblang. Sekulerisasi lewat pemisahan antara agama dan pendidikan yang nyata sekali 'ingkar' terhadap Pancasila yang menyatakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang beragama, individualisme dan pragmatisme yang mengingkari Pancasila yang jelas jelas mengedepankan kegotong royongan. Tokoh-tokoh politik juga memberi keteladanan yang menjauh dari Pancasila; koalisi-koalisian, oposisi-oposisian.

... kemerdekaan rakyat Indonesia baru tercapai bila kemerdekaan politik 100% berada di tangan rakyat Indonesia (Tan Malaka, GERPOLEK)

Bagaimana mungkin membangun kemerdekaan 100% jika ketimpangan sosial masih dipertahankan (masing-masing bikin kerajaan, sedangkan Punakawan masih juga ditelantarkan) dan kewibawaan negara benar-benar sedang dihabisi oleh mafia-mafia, oleh bandit-bandit oleh borjuasi yang mengedepankan ideologi perut,
Kembali mengoreksi diri untuk kembali mengobarkan revolusi, Indonesia tidak akan mati.

ayo bangsa Indonesia, dengan jiwa yang berseri-seri, mari berjalan terus, jangan berhenti revolusimu belum selesai, jangan berhenti sebab siapa yang berhenti akan diseret oleh sejarah... ini tujuan kita ini maksud kita, ini tekad kita dengan mengadakan negara ini yang kita proklamirkan 17 Agustus 45, nation character building! (Soekarno)
Oleh: Yoehan Rianto Prasetyo

Kamis, 02 Juni 2011

Membangun karakter kebangsaan

Membangun karakter kebangsaan tidak akan jauh dari konsep-konsep dalam ajaran agama, tentunya bagi suatu bangsa yang mengakui eksistensi Tuhan sebagaimana bangsa Indonesia yang sudah cukup jelas menempatkan ‘ketuhanan yang maha esa’ sebagai pedoman hidup sekaligus cita-citanya.
Keberagaman bukanlah sebuah penghalang dalam membangun karakter kebangsaan yang menjadikan agama sebagai~ kalau boleh dikatakan “kawah Candradimuka” yang senantiasa menempa mentalitas tiap-tiap individu untuk mencapai terwujudnya bangsa yang berkepribadian, tentu juga didalamnya adalah individu-individu dengan idealism, bukan sekumpulan manusia yang terasing dari kemanusiaannya.
Idealisme dalam diri individu akan terbentuk jika individu mulai perduli dengan lingkungan sekitarnya, bagaimana mungkin ada idealism dalam diri individu yang acuh atau bahkan anti sosial? Pembangunan akhlaq jadi unsur utama disini, Allah Ta'ala telah menegaskan prinsip akhlaq dalam kerangka hablum minallah dan hablum minan nas dalam firman-Nya sebagai berikut:
“Mereka telah ditimpa kehinaan di mana pun mereka berada, kecuali bila mereka menyambung hubungan dengan Allah ( hablum minallah ) dan dengan sesama manusia ( hablum minannas ). Dan mereka juga ditimpa dengan kemurkaan dari Allah dan ditimpa pula oleh kemiskinan. Yang demikian itu karena mereka mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para Nabi-nabi dengan tidak benar. Yang demikian itu karena akibat dari kedurhakaan yang mereka lakukan dan mereka adalah orang yang melampaui batas.” ( Ali Imran : 112)
Tidak perlu disangsikan lagi, bangsa Indonesia adalah bangsa yang mengakui eksistensi Tuhan, dan moral keagamaan jadi sangat penting dalam membangun karakter kebangsaan sampai kapanpun. Sebagaimana ~ dan penulis juga bersepakat dengan warga Nahdliyin yang berpandangan: menjadi Islam 100% di negeri ini adalah juga menjadi nasionalis 100%.
Adapun konsep kosmologi masyarakat Jawa dan Bali melalui Tri Hita Karana yang juga menyampaikan pola hubungan manusia demi mencapai sebuah tatanan masyarakat yang beradab. Tri Hita Karana, secara sederhana dapat dijelaskan: hubungan manusia dengan alam, hubungan manusia dengan sesamanya dan hubungan manusia dengan Tuhannya. Tri Hita Karana ,berasal dari bahasa sansekerta. Dari kata Tri yang berarti tiga, Hita berarti sejahtera dan Karana berarti penyebab. Pengertian Tri Hita Karana adalah tiga hal pokok yang menyebabkan kesejahteraan dan kemakmuran hidup manusia.
Konsep ini menekankan pada tiga hubungan manusia yang saling terkait satu sama lain dan saling mengimbangi. Tidak dapat dibayangkan, bagaimana bila seorang individu mulai terasing dari kemanusiaanya sendiri, hanya hidup sebagai makhluk individu tanpa mengenali dirinya sebagai makhluk sosial, atau bahkan tidak dua-duanya karena tidak lagi mengenal Tuhannya.
Menjaga hubungan dengan Tuhan sangat penting sebab akan dapat menjaga hubungan manusia dengan sesamanya dan dengan alamnya, jadi, menjadikan agama sebagai pedoman dalam membangun karakter kebangsaan sangatlah penting.

Minggu, 27 Februari 2011

idealisme, materialisme dan Pancasila


Plato berkata "realitas sejati adalah idea yang terdapat di dunia idea. Di alam yang kita jalani ini, semuanya hanya tiruan dari idea" yang baginya jiwa manusia itu abadi, sedangkan badan manusia yang bersifat fana tidak.
lalu Karl Marx pun berkata "kesadaran hasil pikiran itu merupakan kesadaran palsu karena tidak sesuai dengan realitas. Kesadaran palsu ini bukan karena ketidaksadaran atau ketidakmampuan pikiran manusia untuk mengolah informasi, tapi terbentuk karena realitas yang ditangkap individu dipalsukan oleh mekanisme tertentu, pemalsuan ini terjadi pada tataran masyarakat, bukan pada tataran individu."
kaum idealis yakin, bahwa pikiran itu mempengaruhi keadaan, sebaliknya kaum materialism meyakini keadaan itulah yang mempengaruhi pikiran. Seperti hegel yang mewakili kaum idealis: keadaan itu berawal dari idea yang bernegasi dengan realitas, kesadaran membentuk keadaan, lalu Marx mencoba mewakili kaum materialis lewat dialektika materialisme dan materialisme historinya: keadaan mempengaruhi kesadaran; masa lalu mempengaruhi sekarang dan sekaran mempengaruhi masa depan. Lalu Pancasilais mencoba mencari jalan tengahnya, tapi mereka malah mempraktekkan keduanya secara bersamaan, sebab para pejuang Pancasila yakin: kesadaran dan realitas itu berjalan bersamaan.