Tanpa Pancasila, negara akan bubar. Pancasila adalah seperangkat asas dan ia akan ada selamanya. Ia adalah gagasan tentang negara yang harus kita miliki dan kita perjuangkan. Dan Pancasila ini akan saya perjuangkan dengan nyawa saya (Gus Dur)

Minggu, 11 Desember 2011

Celoteh ringan II (Pandawa-Pancasila)

Dalam saya mengikuti-membaca kisah Mahabarata saya mencoba merangkum perwatakan/sifat yang dimiliki oleh tokoh-tokoh yang terlibat didalamnya. Dan memang akan terkesan mengherankan jika membaca judul tulisan ini, tentunya bagi para pecinta 'wayang' yang sangat mungkin didalamnya adalah para dalang, tapi inilah yang jadi pertanyaan bagi saya sendiri: dalam perkara apa sifat/watak para Pandawa dikaitkan dengan sila-sila Pancasila? Mungkin pula hal ini akan memunculkan protes, inilah tulisan yang sekiranya hanya mengajak berdialog mencari lagi setapak budaya sekedar berpartisipasi dalam 'nation character building'.

Kita mengenal tokoh-tokoh Pandawa dalam kisah Mahabarata, Pandawa lima, diceritakan sebagai lima bersaudara putra Pandu yang memiliki sifat dan kelebihan masing-masing disamping kehadiran mereka sebagai ksatria, lalu apa hubungannya dengan sila-sila Pancasila? Bukan lantaran konsep 'tuk gala gathuk' saya kemukakan padangan ini, tapi pada dasarnya saya menangkap keunikan (atau mungkin karena ketidak tahuan?). Untuk kurang dan lebihnya saya mohon maaf.
Pandawa dalam versi India diceritakan memiliki istri tunggal, Dewi Drupadi, dan dalam versi Jawa tidak dikisahkan demikian, dalam versi Jawa para Pandawa memiliki istri (garwa) masing-masing, misalnya tokoh Bima yang beristri Dewi Arimbi, ketertarikan Bima pada Dewi Arimbi semata pada keluhuran dan keagungan Sang Dyah Ayu. Demikianlah sedikit simbolisasi perwatakan dalam kisah pewayangan yang memang penuh dengan simbolisasi karakteristik manusia.

Yudistira, tokoh protagonis yang digambarkan sebagai sosok yang bijaksana, merupakan saudara pandawa yang tertua. Dibandingkan dengan keempat saudaranya yang lain, Yudistira tampak paling lemah, dengan 'kanuragan' yang biasa-biasa saja, suatu hal yang memunculkan pendapat bahwa kepemimpinan yang dipegangnya juga akan lemah, lebih banyak berpikir daripada bertindak; lambat mengambil keputusan dan tidak tegas. Sebaliknya, diceritakan bahwa dibawah kepemimpinan Yudistira inilah pihak Pandawa dapat mengatasi segala permasalahan yang dihadapi, termasuk dalam perseteruan dengan Kurawa.
Sifat Yudistira tercermin dalam julukannya seperti 'Ajatasatru' yang berarti tidak memiliki musuh; 'Gunatalikrama' pandai bertutur bahasa; 'Samiaji' atau menghormati orang lain seperti diri sendiri dan Yudistira sendiri berarti pandai memerangi nafsu pribadi. Yudistira banyak meluangkan waktu untuk 'semedi', berkontemplasi dan berkomunikasi dengan Sang Hyang Tunggal. Kesederhanaan adalah gambaran khasnya.
Sebagaimana kebiasaan tokoh pewayangan, Yudistira juga memiliki 'gegaman' atau senjata khusus yaitu 'kyai tunggul naga'~mendengar nama ini penulis jadi ingat nama tombak yang menjadi pusaka milik Raden Batara Katong pada masa kesultanan Demak Bintoro, terlepas benar atau tidak, juga mengenani filosofi payung bisa kita bicarakan lain waktu dan lain tempat.
Selain 'gegaman' terdapat juga 'jimat jamus kalimasada' yang terkenal, sepanjang sepengetahuan saya, jamus kalimasada sendiri merupakan akronim dari 'kalimat syahadat' dari kata 'syahida' yang berarti "ia telah menyaksikan" yang merupakan kalimat pernyataan keesaan Allah dan nabi Muhammad sebagai utusanNya. Merupakan pernyataan ketertundukkan terhadap Tuhan, tauhid, konsep radikal yang mampu menghantam konsep ketertundukkan manusia terhadap selain Tuhan yang pada kenyataannya (sepanjang sejarahnya) selalu saja menindas manusia itu sendiri.
KeTuhanan Yang Maha Esa, merupakan pernyataan bahwa Tuhan itu benar-benar ada, tidak tunduk pada sesuatu apapun kecuali pada Tuhan. Sederhananya bahwa seluruh agama akan selalu membawa kebaikan dan negara tidak terbentuk atas dasar kepentingan kelompok atau orang seorang, negara ada karena musyawarah, kepentingan bersama dan inilah amanat Tuhan.
Sesuai dengan watak tokoh Yudistira, jujur dan sabar yang tak mungkin dapat diwujudkan dalam perilaku tanpa ada dasar keyakinan kepada Tuhan dan ketertundukkan kepada Tuhan. Kepemimpinan yang digambarkan lewat tokoh Yudistira adalah kepemimpinan yang diharapkan, mengerti kapan berkata 'ya' dan 'tidak', dengan wawasan yang luas dan kepasrahan terhadap keputusan Sang Hyang Tunggal sepertinya memberi jalan untuk mengantisipasi segala permasalahan dengan tepat dan bijaksana.
Werkudara, lebih dikenal dengan nama Bima atau Bimasena, anak kedua Pandu yang paling kuat, dalam setiap kisahnya selalu digambarkan heroik. Dari namanya sudah dapat digambarkan watak/sifat, seperti Bima yang dalam bahasa sansekerta berarti 'mengerikan', Werkudara dalam bahasa Sanskerta dieja vṛ(ri)kodara yang berarti 'perut serigala' dan Bimasena yang berarti 'panglima perang'. Sifat yang melekat dalam tokoh ini adalah kejujuran, keluguan dan kebersahajaan, seperti seorang yang menyadari sepenuhnya kemanusiaannya.
Ir. Soekarno sangat mengagumi tokoh Bima dan sempat mengidentifikasi dirinya mirip dengan tokoh Bima. Bima memiliki sifat gagah berani, teguh, kuat, tabah, patuh dan jujur, serta menganggap semua orang sama derajatnya, sehingga dia digambarkan tidak pernah menggunakan bahasa halus (krama inggil) atau pun duduk di depan lawan bicaranya.
Kemanusiaan yang adil dan beradab, menyadari diri sebagai manusia ciptaan Tuhan, dengan menyadari diri sebagai manusia maka harus mampu pula memanusiakan manusia. Menjadi manusia yang adil yang tentunya harus sadar bahwa diri sebagai manusia, lalu adil terhadap diri, misalnya manusia itu pasti akan merasa lapar, kalau lapar harus  makan, lalu adil terhadap manusia yang lain, memanusiakan manusia, berlaku sebagaimana 'tat twam asi' kemudian adil terhadap Tuhan, menjalankan perintahNya menjauhi laranganNya. Mencapai manusia yang beradab. Hanya dengan menyadari diri sebagai manusia lah hal itu dapat terjadi.
Moral memiliki dasar kemanusiaan, kemanusiaan akan tetap sama dimanapun dan kapanpun, bergerak lurus, kejahatan terhadap kemanusiaan disuatu wilayah akan menjadi kejahatan terhadap kemanusiaan diseluruh belahan bumi manapun.
Disetiap pertunjukkan wayang kulit, dalang akan selalu mengatakan“Jalan Raden Bratasena (salah satu nama dari Werkudara) lurus dan mengikuti apa kehendaknya. Lompat Raden Bratasena sejauh penglihatan gajah. Cepat sebagai kilat.”  Lalu gunungan dilewatkan berulang-ulang, diiringi 'suluk' atau lagu yang membangkitkan kegeraman pendengarnya. Hal ini menggambarkan lurusnya hati si tokoh dalam dunia wayang, tidak gentar menggenggam kebenaran, amarah yang sangat manusiawi terhadap segala yang rapuh dan goyah sebagaimana perlambangan munculnya Bratasena yang diiringi angin ribut, pohon yang akarnya dalam, patah, dan yang tak dalam tumbang. Demikianlah kemanusiaan, akan selalu bergerak lurus dimanapun dan sampai kapanpun.
Sebagai panglima perang, Bimasena adalah yang terdepan (selalu tampil digaris depan)~dalam perang Baratayuda, Bimasena memimpin pasukan garis depan (bahkan benar-benar didepan pasukannya) berjalan tanpa tunggangan, sekaligus memungkasi perang tersebut dengan menepati janjinya untuk meremukkan paha Duryudana.
Arjuna, tokoh ketiga dalam pandawa yang akhir-akhir ini cukup populer, lebih dikenal dengan ketrampilan memanah, lebih dari itu dalam wayang kulit kehadiran Arjuna selalu dengan kepala merunduk, seperti halnya padi 'semakin berisi semakin merunduk.'
Dalam wiracarita Mahabarata Arjuna digambarkan sebagai sosok yang rupawan dan lemah lembut, memiliki sepuluh nama yang masing-masing nama selain menggambarkan sifat/watak juga merupakan janji sang Arjuna. Arjuna sendiri dalam bahasa sansekerta berarti "bersinar terang", "putih", "bersih". Dilihat dari maknanya, kata Arjuna bisa berarti "jujur di dalam wajah dan pikiran". Memiliki beragam 'gegaman' dan 'kanuragan'.
Persatuan Indonesia, tentunya dapat dirajut dengan kerukunan antar kelompok-kelompok masyarakat yang beragam, keadaan yang mana semua pihak mulai membuka diri satu sama lain, mau menerima dan saling mengisi, tidak sebaliknya dimana masing-masing pihak mulai menonjolkan diri dengan ego ke'aku'annya. lebih dari itu, keadaan bersatu merupakan senjata yang ampuh bagi Indonesia untuk menjawab tantangan jaman. Tidak hanya mengandalkan keris, rencong ataupun kujang. Bukan hanya Jawa, Aceh, Kalimantan ataupun Papua yang berada di garis depan, tapi keseluruhan yang saling mengisi dalam persatuan.
Nakula, merupakan putera Dewi Madri, dalam pewayangan Jawa Nakula memiliki nama Pinten (tanaman yang daunnya dapat digunakan sebagai obat) dan merupakan titisan Batara Aswin, dewa tabib.
Nakula mempunyai watak jujur, setia, taat, belas kasih, tahu membalas guna dan dapat menyimpan rahasia. Mempunyai Aji Pranawajati pemberian Ditya Sapujagad, dimana Nakula tidak akan pernah lupa tentang segala hal.
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, merupakan hakikat dari demokrasinya Indonesia, rakyat yang berdaulat mendelegasikan atau mempercayakan kekuasaannya untuk dijalankan oleh wakil-wakilnya atas dasar musyawarah mufakat.
Sebagaimana penggambaran watak tokoh Nakula, wakil rakyat sudah seharusnya jujur, setia dan tahu membalas guna. Lebih lanjut, tidak mudah lupa kalaupun tidak mampu untuk selalu ingat tentang segala hal.
Tokoh berikutnya adalah Sadewa yang merupakan saudara kembar Nakula, tapi memiliki kelebihan dibanding saudara kembarnya yaitu pandai dalam segala ilmu pengetahuan, terutama disini tentang astronomi, peternakan dan pertanian, mampu memprediksi (untuk tidak mengatakan meramal) kejadian yang akan datang.
Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, inilah yang menjadi cita-citanya bangsa Indonesia ketika membangun sebuah negara yang bernama Republik Indonesia, cita-cita dimana masyarakatnya hidup tidak dalam penghisapan oleh yang lain, atau tidak dalam keadaan dibodohi oleh sebagian yang lain, oleh karenanya ilmu pengetahuan adalah sangat penting dalam membangun kesadaran berdaulat rakyat Indonesia.
Disamping itu, tokoh Nakula dan Sadewa juga diceritakan memiliki loyalitas yang tinggi terhadap Pandawa, tentu, rakyat akan semakin loyal terhadap negara andaikata sila keempat terlaksana dengan baik bahkan sila kelima dapat tercapai.
Demikian sedikit usaha saya dalam menggambarkan sila-sila Pancasila lewat perwatakan tokoh wayang sekiranya memang untuk kembali mengkampanyekan Pancasila, dan Pancasila sebagai gagasan yang sekaligus cita-cita besar ini dapat terus dikaji dan senantiasa diperkenalkan kepada tiap-tiap generasi.
Akhirnya dapat pula kita renungi makna semboyan "Bhineka tunggal ika, tan hanna dharma mangrwa": berbeda-beda tetapi tetap satu jua, tidak ada kebenaran yang mendua dan semoga kebenaran datang dari segala arah. Merdeka.
Yoehan Rianto Prasetyo

Rabu, 07 Desember 2011

Celoteh ringan I (dari catur paramita hingga 'ngemong roso')

Mau diakui atau tidak, pada dasarnya moral yang memiliki dasar kemanusiaan selalu mengalami dialektika, sebab bertemunya budaya-budaya yang juga membawa nilai-nilai moralnya. Sedangkan kemanusiaan yang menjadi dasarnya moral adalah sama dimanapun dan kapanpun.
Dengan begitu moral pada dasarnya akan selalu dipelajari, tiap generasi mempelajari segala yang ditemukan oleh generasi sebelumnya, dan dalam tiap proses belajar itu terjadi pula dialektika 'perulangan'. Berikut merupakan ajaran-ajaran yang sarat akan nilai moral yang ada dalam kebudayaan yang kiranya cukup patut menjadi bahan diskusi dalam menyimak kembali nilai-nilai moral yang telah ada dalam budaya Nusantara demi proses 'nation character building'.
Catur Paramita, berasal dari bahasa Sansekerta. Dari kata ”catur” yang berarti empat dan ”paramita” berarti sifat dan sikap utama. Catur Paramita berarti empat macam sifat dan sikap utama yan patut dijadikan landasan bersusila. Catur Paramita merupakan salah satu dari landasan atau pedoman untuk melaksanakan ajaran susila atau ethika dalam ajaran agama Hindu.
Adapun bagian-bagian catur paramita antara lain :
Maitri artinya semangat mencari kawan dan bergaul, yakni tahu menempatkan diri dalam masyarakat, ramah-tamah, serta menarik hati segala perilakunya sehingga menyenangkan orang lain dalam diri pribadinya. Untuk berbuat Maitri, maka kita jangan melakukan / berbuat bencana yang bersifat maut (Anta Kabhaya) atau jangan membenci.
Karuna artinya belas kasih, maksudnya adalah selalu memupuk rasa kasih sayang terhadap semua makhluk. Untuk berbuat karuna, maka pantang melakukan perbuatan yang menyebabkan terjadinya penderitaan, tersiksa, kesengsaraan, atau jangan bengis.
Mudita artinya selalu memperlihatkan wajah yang riang gembira, yakni penuh simpatisan terhadap yang baik serta sopan santun. Untuk dapat berbuat mudita, maka jangan melakukan perbuatan yang dapat menyebabkan orang lain susah, atau jangan memiliki rasa iri hati kepada orang lain.
Upeksa artinya senantiasa mengalah demi kebaikan, walaupun tersinggung perasaan oleh orang lain, ia tetap tenang dan selalu berusaha membalas kejahatan dengan kebaikan bisa juga dimaksud dengan tahu diri (mawas diri). Untuk berbuat upeksa maka pantang menghina orang lain, memandang rendah orang lain, menindas orang lain, atau selalu dapat berusaha mengendalikan dorongan hawa nafsu jahat.

Ajaran Catur Paramita merupakan realisasi dari ajaran Tat Twam Asi yang merupakan bentuk penyempurnaan etika-perbuatan bagi masyarakat Hindu. Tat twam asi sendiri merupakan suatu ungkapan yang berarti, kurang lebih adalah kau adalah aku, lebih dari itu tat twam asi merupakan filosofi yang mengajarkan bahwa apa yang dirasakan oleh manusia adalah sama. Tiap-tiap orang memiliki rasa sakit yang sama dan sama-sama tidak ingin mengalaminya, jika kena pukul itu sakit maka janganlah memukul orang lain, jika dibenci atau dikucilkan itu tidak menyenangkan maka jangan membenci atau mengucilkan orang lain.
Mengejek, fitnah atau hal-hal lain yang tidak manusiawi memang sudah selayaknya dihindari, sebaliknya hal-hal/perbuatan yang dapat bermanfaat bagi orang lain atau minimal berdampak pada kebahagiaan-kenyamanan bagi orang lain adalah yang diharapkan.
Selaras dalam hal ini ada ungkapan dalam masyarakat Jawa "mikul duwur mendem jero" yang berarti akan lebih baik jika menjunjung kebaikan dan melupakan segala yang buruk dalam hal ini lebih pada prinsip hidup tidak menyimpan dendam yang pada kenyataannya malah sering dimanfaatkan secara pragmatis.
Adapula dalam filosofi Jawa yaitu 'ngedu roso' yang berarti mengadu rasa atau bisa juga dikatakan 'ngemong roso' atau menjaga rasa, hal ini lebih sulit dilakukan sebab menyangkut 'perasaan'. Apalagi dalam era liberal saat ini yang lebih mengedepankan hak asasi secara individual, jangankan untuk menjaga rasa, perhatian terhadap kepedulian sosial sangat minim. Sepertinya kita sebagai generasi bangsa yang mewarisi budaya luhur ini lebih suka melihat kehancuran seseorang daripada turut berpartisipasi membangun dan memperkuat sesama. Meskipun demikian dapatlah selalu kita harapkan, kita cita-citakan suatu tatanan kemasyarakatan yang penuh dengan kepedulian, kalau tidak dengan generasi kita, boleh dengan generasi mendatang, kalau tidak sanggup untuk peduli bolehlah hanya sekedar menjaga perasaan.
Sebagai tambahan, sebagaimana komentar seorang teman lewat jejaring sosial 'face book' yang mempertanyakan kecenderungan mengalah dalam konsep catur paramita dan ada tidaknya manusia yang sebagaimana dimaksudkan dalam catur paramita, yang memang faktanya hanya ada kepentingan dan pembenaran/pewajaran, tapi bukannya tidak ada manusia semacam itu, dari Abdullah bin Mas'ud: seolah-olah aku masih teringat (melihat) Rasulullah Saw. melukiskan nabi terdahulu ketika dipukuli oleh kaumnya hingga berlumuran darah, sambil mengusap darah dari wajahnya sang nabi berdoa "Allahummaghfir liqaumi fainnahum laa ya'lamuun (Ya Allah ampunilah kaumku, sesungguhnya mereka tidak tahu).


Pada akhirnya dapat saya gunakan pula istilah manusia dalam bahasa Jawa yaitu 'Manungso' yang diartikan 'manunggale roso' atau menyatunya rasa, dan kehadiran manusia dalam hidup ini memanglah akibat dari menyatunya rasa. Tentunya rasa yang dikatakan baik, bukan lantaran dengki, iri, dendam, atau bahkan karena intrik.

Yoehan Rianto Prasetyo