Tanpa Pancasila, negara akan bubar. Pancasila adalah seperangkat asas dan ia akan ada selamanya. Ia adalah gagasan tentang negara yang harus kita miliki dan kita perjuangkan. Dan Pancasila ini akan saya perjuangkan dengan nyawa saya (Gus Dur)

Sabtu, 21 Januari 2012

Renungan Kerja


Akhir-akhir ini saya sering mendapati keluhan orang, entah memang sengaja diceritakan atau ketika mencuri dengar pembicaraan orang, keluhannya umum tapi ‘urgent’ yaitu masalah pekerjaan, saya kata umum sebab inilah permasalahan pada umumnya orang-orang dan memang dari jaman saya sekolah, kebingungan orang selalu saja berputar pada masalah pencarian rejeki ataupun jodoh.

Dua tema inilah yang kerap jadi persoalan yang sangat mungkin dibawa-bawa disetiap do’a permohonan kepada Sang Pencipta. Semoga saja Tuhan tidak bosan mendengar permohonan yang sebenarnya adalah urusan rahasia milikNya.

Terlepas dari itu semua, pada dasarnya memang telah terjadi pendangkalan makna yang bukan hanya menyangkut rejeki dan jodoh, tapi bahkan (mungkin) juga agama, atau bahkan Tuhan pun telah didangkalkan? Iya atau tidak, kita bahas lain waktu, harus ada kesiapan moral untuk menulisnya, cukuplah kini tentnag rejeki. Untuk inipun harus didangkalkan dulu biar tidak terlalu ‘muluk-muluk’ atau “terlalu idealis”.

Rejeki menjadi dangkal maknanya ketika dibatasi lingkupnya, ketika faham materialism menyediakan ruang sempit tentang orientasi finansial, dan rejeki berputar-putar pada permasalahan kerja/pekerjaan, sedangkan kerja/pekerjaan sendiri juga telah mengalami pendangkalan makna.

Hakikatnya kerja memanglah untuk mencukupi kebutuhan hidup, manusia mengolah alam atau mengerjakan alam untuk kemudian dapat mereka manfaatkan, contoh gampangnya ya bertani, mengolah alam menjadi lahan pertanian yang hasilnya tentu untuk kebutuhan makan. Lebih jauh dari itu. Pekerjaan, ialah kegiatan khas manusia yang merupakan makhluk ganda yang aneh, disatu sisi sebagai makhluk alami sebagaimana binatang yang membutuhkan alam untuk hidup sekaligus disisi lain manusia dihadapkan dengan alam sebagai sesuatu yang asing~alam harus diolah dulu, lebih dari itu harus menyesuaikan alam dengan kebutuhan-kebutuhannya.

Bagi Karl Marx, kerja/pekerjaan adalah suatu proses yang menghasilkan, lebih jauh, berikut pandangan Marx tentang bagaimana pekerjaan membenarkan diri manusia dan hakikat sosial manusia.

“Andaikata kita berproduksi sebagai manusia (artinya, secara tidak terasing): masing-masing dari kita dalam produksinya membenarkan diri sendiri dan sesama secara ganda. Aku dalam produksiku mengobjektifkan individualitasku, kekhasanku, maka waktu melakukan kegiatan kunikmati… dalam memandang objek, kegembiraan individual bahwa aku mengetahui kepribadianku sebagai kekuatan objektif yang dapat dilihat secara inderawi, tidak dapat diragukan. Dalam nikmatmu atau pemakaianmu atas objekku aku langsung menikmati kesadaran bahwa dalam pekerjaanku aku memenuhi kebutuhan sebagai manusia dan karena menciptakan objek yang sesuai dengan kebutuhan manusia lain, aku menjadi perantara antara engkau dan umat manusia, jadi bahwa aku dibenarkan dalam pikiranmu maupun dalam cintamu, bahwa dalam ungkapan hidup individualku aku langsung menciptakan ungkapan hidupmu, jadi bahwa dalam kegiatan individualku aku langsung membenarkan dan merealisasikan hakikatku yang benar, kemanusiaanku, kesosialanku”1

Marx juga memandang bentuk keterasingan manusia dari pekerjaannya adalah ketika manusia tidak memiliki hasil pekerjaannya tersebut, gambaran kasarnya sudah terlalu banyak di Indonesia, sebagaimana buruh pabrik sepatu yang memproduksi sepatu untuk kemudian dijual baik di negeri sendiri maupun di luar negeri dengan merk tertentu yang ‘made in’ luar negeri. Atau produksi-produksi lainnya, toh bangsa kita yang memproduksi tanpa ada “alih teknologi” (maaf sedikit sartire). Manusia menjadi terasing dari dirinya karena ia terasing dari pekerjaannya, makna pekerjaan disini jadi semata untuk bertahan hidup, inilah bentuk keterasingan menurut Karl Marx, dimana manusia sama sekali tergantung kepada para pemilik alat produksi, bahkan di Indonesia banyak yang tergantung pada pemilik ‘brand’.

Dari sini dapat dipahami pendangkalan makna rejeki yang hanya terbatas pada suatu lingkup makna saja, yaitu orientasi finansial. Kiranya, kita pun tidak hanya membatasi maknanya hanya sampai disitu. Ada cerita ketika saya berjualan buku ke pesantren-pesantren di Singosari, bersama seorang teman senasib seperjuangan, Wahyu Nugroho, suatu ketika ada pesanan buku lewat SMS dari seorang ustad, tidak banyak, hanya dua judul dan karena masih berupa usaha rintisan maka mau tidak mau harus diantar dua buku itu. Muncul kesadaran ketika sedang ngobrol disebuah warung kopi di pasar Singosari, dimana memang laba dari hasil penjualan dua judul buku tadi hanya cukup buat ongkos ngopi dan beberapa ‘gorengan’, tapi dari ‘jelajah pesantren’ ini pula kami mendapat banyak masukkan ilmu.

Lebih jauh lagi, tentang etos kerja yang diajarkan dalam Islam, ada dua syarat yang menjadi ukuran bekerja dengan benar dalam Islam: pertama, benar dari aspek niatnya dan kedua dari aspek pelaksanaannya. Tentu, niat yang baik agar tidak menjadi beban bagi orang lain, dan tentunya dengan cara yang baik pula, bukan dengan mencuri, merampok bahkan korupsi.

Dalam pandangan Islam, ada dua masalah yang perlu mendapat perhatian dalam melaksanakan pekerjaan (tahsilul amal). Pertama, pekerjaan itu disebut ‘amalan masru’ (pekerjaan yang dibenarkan oleh syariat). Meskipun dilakukan dengan ikhlas, tetapi pekerjaan itu mencuri maka tidak dianggap benar menurut syara’. Kedua, pekerjaan itu tidak sampai mengganggu tugas-tugas yang diwajibkan oleh Allah seperti shalat dan puasa.2

Dan bukankah rejeki tak semata berupa materi? Dalam hal ini, sebagaimana kisah saya bersama teman saya, ilmupun juga rejeki (ngg’perlu mondok untuk menyerap ilmu dari para ustad, dan untuk hal ini saya wajib bersyukur). Lebih dari itu, senantiasa untuk diusahakan memaknai kerja sebagai ibadah, kerja bukan untuk siapapun dan bukan untuk apapun melainkan untuk Allah. Pun juga ada baiknya untuk tidak memanfaatkan hal ini demi mengkerdilkan atau bahkan menelikung pekerja, misalnya ketika suatu perusahaan tidak mau membayar upah lebih kepada pekerjanya, perusahaan menyarankan pekerjanya untuk mensyukuri apa yang telah mereka peroleh.

Sebagaimana yang dikatakan dalam Al-Quran: Dan Kami telah menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup, dan (Kami menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezeki kepadanya. (QS. al-Hijr (15) : 20)

(1)    Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx; Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionis (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001) hlm.  94
(2)    M. Ainul Yaqin, Nilai-nilai Ibadah Dalam Bekerja (Malang: Buletin Imamah edisi: XV/Shafar/1433 H.)
(3)    Al Quran, Surah Al-Hijr (15):20