Tanpa Pancasila, negara akan bubar. Pancasila adalah seperangkat asas dan ia akan ada selamanya. Ia adalah gagasan tentang negara yang harus kita miliki dan kita perjuangkan. Dan Pancasila ini akan saya perjuangkan dengan nyawa saya (Gus Dur)

Minggu, 11 Maret 2012

Sebuah Gagasan Tentang Kuasa

Kelak pada saatnya kita dihadapkan pada sebuah pilihan dikuasai atau menguasai. Kedua term sebenarnya saling bergantung dan saling berinteraksi. Keduanya bermain dalam oposisi biner, yang mana saling mempengaruhi dan dipengaruhi. Dalam kehidupan ini kita mengenal ilmu dan teknologi, keduanya ternyata sangat berguna sekali. Hebatnya lagi sejak menjadi bahan kajian maka tumbuh seiring pula sebuah institusi untuk mencetak kelas penguasa.

Maka terciptalah sekolah , apapun namanya kurikulum dan sistemnya sama. Program pendisiplinan individu dengan sistem sel. Dari sini pengetahuan tentang kuasa diproduksi,direpetisi dan digunakan sebagai alat dan komoditas oleh kelas penguasa. Maka barang siapa ingin lebur dalam kelas penguasa maka haruslah masuk sekolah.

Dalam alam pengetahuan orang awam,bahwa gagasan sekolah adalah sebagai pengentas kebodohan kemiskinan keterbelakangan keterisolasian dan ketertindasan. Maka muncul  kalimat "ora tau mangan sekolah", menunjukkan bahwa sekolah adalah sesuatu yang ajaib yang bisa mengubah nasib manusia. Bagi yang pernah mengalami masa sekolah mungkin juga berkata lain, bahwa selain mendidik maka sekolah juga gemar menghukum. Setidaknya menawarkan hal yang demikian bagi pelaku keonaran atau tidak patuh pada sistem.

Dari sini pengetahuan diolah dan dijadikan baku,bahwa di sekolah antara kelas penguasa dan yang dikuasai terjadi interaksi atau spionase. Masing-masing pihak belajar dengan strategi dan pendekatan yang berbeda guna mencapai tujuan. Terjadi sistem kompromi, maka para pihak di sekolah kemungkinan akan saling melengkapi atau menutupi suatu realita bahwa sekolah bukan lembaga yang semata memberikan pengajaran dan pendidikan melainkan juga ajang mencari bakat untuk regenerasi kelas penguasa baru.

Transformasi pengetahuan bisa berjalan searah juga spiral mengingat pengetahuan tidak hanya diolah di sekolah melainkan juga dari jejaring, baik di dunia nyata maupun maya (internet). Maka kuasa pengetahuan nampak bersifat demokratis dipermukaan. Namun apakah benar hal tersebut? apa tidak ada hidden agenda dari kelas penguasa? Jika tujuan mulia pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan masyarakat dan bangsa lantas mengapa secara global yang marak tampil adalah wajah garang korupsi dan kolusi.

Bisa jadi anggapan masyarakat selain beroleh pengetahuan maka sekolah juga menawarkan kecurangan. Manipulasi besaran angka dan nilai dianggap wajar agar tetap dalam lingkaran sistem yang sesat. Inilah yang kemudian menjadikan pengetahuan tentang kuasa hanya dimaknai sebatas manipulasi kolusi kecurangan dan korupsi. Sebab pengetahuan awal diproduksi di sebuah lembaga bernama sekolah.
Perlu dikaji ulang tentang gerakan wajib belajar 12 tahun yang sampai hari ini hanya dimaknai sebatas sekolah dari jenjang SD-SMA. Mengingat kuasa pengetahuan juga berlaku diluar tembok sekolah yang angkuh dan angker dengan segala dominasi kelas penguasa.

Tony Herdianto

Bukan Kompetisi Melainkan Kerjasama ( Jember Exegese )

Bu Budi dan Bu Joko dua entitas seragam kaya warna. Bersebelahan mereka sama-sama membuka usaha warung kopi yang hari ini ribut sejak ada proses paten. Keduanya memasok minuman dan makanan bagi para pelajar dan umum di sebuah komplek kantin perguruan tinggi di kota Jember. Sebagai makhluk ekonomi keduanya terpanggil untuk mengabdikan diri melayani segolongan pelajar yang kelihatannya " pemikir serius ", saya kadang tertawa sendiri mengingat masa silam. Akankah pemikiran itu tetap berlanjut di kantin-kantin.

Masa yang telah lampu membuat saya juga getol untuk sekedar bergiat dari satu warung kopi ke warung kopi lainnya. Membahas tema yang hampir seragam tentang lingkaran kemelaratan yang hampir selalu hinggap pada diri ataupun lingkungan. Tak ubahnya pemikir sosialis lainnya dari dimensi makro ke mikro juga sebaliknya.

Namun kita patut bersyukur di ruang publik bernama warung inilah kita bebas mendirikan suatu mimbar dengan audiens terbatas sekaligus menghujat sebuah kebijakan. Barangkali dari sinilah kemudian timbul suatu ide tentang penjajahan. Kita mungkin pernah menjadi pelajar dan memiliki ide atau pandangan menggusur sebuah kemapanan. Akan tetapi sebuah pengetahuan tadi akan berubah melawan segala hal yang berbau gangguan dan disiden.

Sebagai contoh para birokrat pejabat atau siapa saja dilingkaran kekuasaan. Mungkin dulu mereka kritis namun setelah berkuasa? Inilah kemudian apa yang disebut dengan kuasa pengetahuan oleh foucoult, bisa juga knowledge is power oleh entah siapa yang mengatakan pertama kali. Dari dimensi ini kemudian kekuasaan dibangun. Entah berdasarkan asas kebaikan bersama atau kebaikan suatu kelompok.
Kembali lagi ke sebuah ruang publik bernama kantin atau kerennya warung. Dari sini proses klasifikasi terbentuk kita mengkotak-kotak diri kita sesuai dengan minat bakat dan kemampuan ( mirip ujian saringan masuk perguruan tinggi ). Bergerombol sekedar membahas sebuah tema atau lebih mulai dari yang hangat sanpai yang basi.

Maka sampailah ke depan pintu gerbang perpisahan karena jam diatur demikian. Ada saat bersua ada saat berpisah. Kembali ke ruang masing-masing sesuai dengan jadwal yang disepakati. Penulis beranjak pergi membayar kopi sembari mengumpat "dasar", kepala pusing kok yo sempat-sempatnya kumpul karo cah cah yang masih nggak jelas masa depannya. Maksudnya mau dibawa kemana langkah kita. Sambil bersungut-sungut memegang kepala karena sedikit cenat-cenut mikirin sukses nggak ya? Salam.

The passion

Entah apa yang sebenarnya terlintas dalam benak saya , namun yang pasti ada sebuah asa untuk kita semua bangkit dari keterpurukan. Berawal dari menonton suatu peristiwa atau kejadian dari televisi maupun pengamatan langsung di lapangan. Tentang suatu gairah yang timbul ketika saya menyaksikan liga Inggris ,fil Hollywood maupun film India. Disana telah direproduksi secara massal suatu budaya populer dan masyarakatnya bernikmat diri dengannya bahkan tercipta simbiosis mutualisme. Ada kehausan tersendiri terhadap budaya tontonan massa . Mungkin kita di indonesia jaman orang tua kita dulu jaman baheula adalah kegemaran menonton wayang atau kesenian ludruk maupun ketoprak.

Secara pastinya kapan budaya tontonan menjadi santapan wajib dan bersifat masal saya kurang mengetahui. Namun kegairahan itu sendiri adalah suatu panggilan , semacam kutukan agar budaya tontonan masal terus direproduksi tanpa henti. Akhirnya semua tergantung juga dengan semangat jaman juga semacam seleksi alam. Terjadi pertukaran di ruang-ruang publik , kita bangsa asia yang makanan pokok beras ternyata juga doyan menyantap hamburger pizza dan juga makanan impor lainnya. Sementara kita juga tahu bahwa sebagian dari kita juga kesulitan untuk sekedar mengganjal perut.

Mungkin juga karena dari kegairahan itu sendiri terdapat sistem otomatis untuk memproduksi suatu budaya tontonan masal. Mungkin jika sehari saja tidak diproduksi maka akan timbul gudik. Semacam penyakit yang bisa menular dan memalukan. Maka bisa siapa saja terkena semacam virus yang dinamakan kegairahan ini. Bisa juga dimaknai lain bahwa karena gairah manusia bertahan untuk terus hidup dan berkarya.

Tony Herdianto

Menikmati Kota Jogja ( Exegese )

Minggu yang lalu tepatnya tanggal 5 februari kami bersama rombongan berangkat menuju kota gudeg, kami berangkat dalam satu rombongan bus besar berkapasitas 60 penumpang, perjalanan awal berjalan sangat lancar meskipun hujan rintik menyertai.

Jalanan dari Kota Jember tempat kami start dalam kondisi baik, kami break di Tanggul untuk melaksanakan shalat maghrib berjamaah, sepanjang jalan melalui kota mulai Lumajang Probolinggo semua berjalan dengan baik dan kami berhenti sejenak di Kota Nguling Kab. Pasuruan untuk mengangkut kawan kita asisten tour leader kami. perjalanan terhambat di km 2 Jalan Raya Sedarum, setelah sebelumnya bus berhenti di SPBU Sedarums perjalanan kembali tersendat di jalan raya Ngopak karena dua hari sebelumnya banjir merendam kota kecil Ngopak. Lanjut di jalan raya Pos Daendels wilayah Kota Pasuruan air tampak menggenang disisi jalan akibat hujan deras intensitas tinggi.

Sampai Kota Bangil cuaca sedikit membaik ketika hujan reda namun hujan turun lagi selepas km 5 dari Kota Bangil mengguyur seras sampai jalan raya Kejapanan, hujan reda sampai Kota Mojosari lanjut ke Mojokerto. Jombang diliputi awan kegelapan namun hujan tidak sampai turun. Berturut Kertosono-Nganjuk-Caruban-Ngawi-Sragen-Solo dan berhenti sewaktu adzan subuh berkumandang, kami istirahat shalat dan makan di rumah makan Grafika Kalasan Jogyakarta. Setelah peserta rombongan dalam keadaan segar bugar karena mandi dan perut terisi kami langsung menuju sasaran utama P4TK matematika Jogyakarta, disini sebenarnya secara fisik peserta pelatihan sudah teramat lelah, namun mereka memaksakan untuk terus ikut pelatihan. appreciate to them.

Selama kurang lebih 8 jam pelatihan plus satu jam istirahat shalat makan di tempat pelatihan. saya pribadi mencari suasana lain, seperti biasa kopi pengganti susu kemasan yang susah carinya disekitar lokasi pelatihan, setelah berputar putar mampirlah saya di warung pojok penjual mie rebus dan mie goreng, dari logatnya baru saya ketahui bahwa mereka berasal dari Jawa Barat yang khas logat Sundanya. Saya kemudian menikmati suguhan susu coklat dan secara tiba-tiba dihampiri seorang pemuda dengan logat khas Madura bertanya saya dari mana.

Terjalin komunikasi yang akrab antara saya pemuda yang menghampiri saya dan pemilik warung, sekalipun baru ketemu dan tidak saling mengenal. Sejurus kemudian datang tour leader berdasar informasi yang saya berikan dan nimbrung ikut bercengkrama juga secara hangat, mungkin inilah dimensi yang subtil dan hangat bahwa warung adalah tempat mengekpresikan diri yang demokratis dan berdaulat.

Setelah puas maka saya meneruskan keluar dari sekat-sekat kegiatan peserta rombongan, saya berjalan kaki kurang lebih satu kilo untuk sekedar mencari obat di apotik untuk tour leader yang sedang cantengen jempol kaki kanannya. Saya nikmati betul suasana itu meskipun matahari bersinar terang dan tak kalah teriknya, hingga tiba jadwal makan siang kami kembali lagi ke warung pojok dan lagi komunikasi terjalin akrab meskipun menu yang tersedia adalah sangat sederhana namun pengunjung bejibun, mungkin hemat penulis bahwa penjualnya sedikit bisa dipandang atau manis pisan euy, tapi itu motif pengunjung pada umumnya sedang penulis hanya mencoba menikmati apa yang ada. kembali ke peserta tour yang ternyata dengan wajah sumringah keluar dari kelas pelatihan.

Nampak wajah bahagia mereka merayakan dengan berfoto di lokasi sembari senyam senyum dengan simpul yang penulis sebenarnya meraba-raba ini sedang stres atau entah apa yang terpikirkan oleh peserta.
Perjalanan selanjutnya menuju Hotel Prayogo lama di Prawiorotaman yang menurut juru tulisnya hanya berjarak 1 kilometer dari ikon Jogja Malioboro, yang bermasalah adalah parkir bus dilahan yang sempit, keputusannya adalah jalan kaki secara bersama dari hotel ke Malioboro yang jaraknya sekitar 3 kilometer wouw keren. Penulis sekali lagi mencoba menikmati tiduran di hotel sekedar meluruskan badan karena selama perjalanan tidak tidur.

Prawirotaman identik dengan turis berkantung cekak alias backpacker hotel bertarif murah tersedia sepanjang Jalan Prawirotaman, selanjutnya penulis kelenger dan tertidur pulas di kasur hotel yang empuk. keesokan hari setelah breakfast nasi goreng telur plus sambal dan juga krupuk, kami check out dan lanjut menuju the biggest budhist temple near from Jogja. Candi Borobudur semakin baik saja pelayanannya. Toiletnya bersih dan ada juga pengeringnya seperti hair dryer otomatis menyala, tiket untuk kami yang dalam rangka studi wisata berbeda dengan pengunjung biasa secara signifikan. Para pedagang menghampiri kami dengan semangat juang agar laku dagangannya. Demikian juga para pemilik warung mirip bakul pasar menawarkan makanan dan minuman.

Kami berada di Borobudur selama kuarang lebih dua setengah jam, lanjut makan siang di sebuah restoran dekat Borobudur dengan menu utama ayam bakar. Perjalanan lanjut ke pusat oleh-oleh dekat Bandara Adi Sucipto, peserta rombongan antusias sekali memborong oleh-oleh. ada bakpia geplak dan aneka makanan ringan lainnya, 30 menit alokasi waktu.

Perjalanan lanjut ke Pusat Grosir Solo yang mana peserta mbecak secara kolektif menuju pasar Klewer, mereka getol memborong batik dan jajan khas Solo karena jatah makan sudah habis maka peserta dihimbau oleh tour leader agar makan di parkiran depan pusat grosir. Berbagai panganan dijajakan mulai dari sate, bakso, pangsit mie, es degan, es dawet dan aneka makanan lainnya. selanjutnya kami pulang menuju Jember setelah kumandang adzan maghrib namun ada episode mencengangkan ketika melintas antara Ngawi-Caruban, salah seorang peserta mengalami gangguan sesak napas. penulis kebetulan berada di dekat peserta yang sesak napas kemudian mengarahkan agar panitia perempuan segera memberikan bantuan . keadaan semakin tegang karena peserta yang sesak nafas meminta agar bus berhenti beruntung tempat pemberhentian adalah SPBU yang berdekatan dengan apotik. Terjadi debat kusir selama proses pertolongan korban antara kami peserta rombongan panitia sopir bus dan hampir melibatkan amuk masa seandainya para pihak berdiri pada argumen masing masing, namun badai pasti berlalu peserta yang mengalami sesak nafas pulih setelah membuat tensi tinggi diantara kami dan diakhiri kata maaf karena membuat panik suasana.

Akhirnya sayonara perjalanan semakin singkat, sampai berjumpa pula di lain kesempatan, kami senang bertemu dengan anda. Belanjalah dan kuras kantongmu sampai habis.

Rabu, 07 Maret 2012

Mewah belum tentu istimewa

Memang bukan semangat saya untuk selalu berfoya-foya, tapi terkadang ada juga keinginan untuk mencoba, minimal menikmati beberapa hal mewah, semisal rokok Dji Sam Soe premium yang lebih dikenal dengan istilah 'reffil' atau 'nyruput' kopi luwak yang konon katanya punya kelas tersendiri di Eropa sana~jangankan di Eropa, di tanah air saja seakan jadi minuman khas para raja dengan harga yang seperti itu.

Meskipun pikiran saya memberontak dengan gagasan "tidak hanya para raja saja yang dapat menikmati keistimewaan dalam alam demokrasi" tapi kenyataan toh punya cerita lain, dan saya harus bersepakat dengan kenyataan. Jelata dalam sejarahnya selalu saja berada dalam bentuknya yang susah tanpa keistimewaan.

Kopi luwak per 100 gramnya bisa didapat dengan ongkos dua ratus ribu, sedang untuk Dji Sam Soe 'reffil' dengan harga sekitaran tiga belas ribu perbungkus, hal semacam ini sudah terlanjur mewah buat orang seperti saya yang biasanya juga menikmati segalanya dengan 'ala kadarnya'. Toh saya pun harus selalu berusaha menjadi orang yang beriman, saya dapati dari buku "Ikhlas Tanpa Batas" terbitan Zaman bahwasannya iman itu terdiri dari "separonya itu sabar dan separo yang lain adalah syukur".

Beruntung atau mungkin kebetulan saya dapat menikmati keduanya secara bersamaan, jadi semacam obat rindu untuk menikmati kemewahan ditengah kesempatan yang semakin sempit ini. Bahagia juga rasanya, sembari berharap dalam hati semoga kelak dapat terulang kembali hal yang sedemikian.

Ceritanya begini, karena kadung pinginnya menikmati hidup saya beli saja rokok Dji Sam Soe premium dengan sedikit uang honor bulan ketiga ditahun 2012 ini, ya sepulang kerja saya langsung menuju kios rokok dengan harapan yang berlebih untuk segera menikmati, setelah itu saya langsung pulang, waktu itu lagi "nggak pingin yang lain" hanya ingin bersantai di rumah dengan menghisap 'reffil'.

Belum sempat membuka bungkusnya sudah ditawari satu sasetan kopi bubuk oleh adik saya, bungkusnya dari kertas karton bergambar biji kopi dan seekor "luwak!", terkejut juga hati ini mendapatinya, terbayang pula sedap aromanya.

Sambil nunggu air mendidih saya sulut sebatang sam soe reffil, khas sensasinya meruang dalam sanubari para penikmat kretek seperti saya. Berselang kemudian setelah saya racik kopi luwak, saya duduk menyendiri di kamar, sedikit mencicipi kopi luwak yang sebelumnya 'menggeber' aroma khas dari cangkir saya. Nikmat, serasa menghadirkan surga kedalam kamar saya, inilah raja sehari pikir saya.

Ada keinginan untuk coba menikmati secara bersamaan, tidak akan saya sia-siakan hak istimewa yang kali ini saya dapatkan, hisap sam soe reffilnya bersambung dengan 'nyruput' kopi luwak. Rusak, sensasi kretek sekaligus aroma kopi hilang, tidak ada yang istimewa jadinya. Lewat begitu saja.

Saya coba lagi, tetap saja tidak ada yang istimewa. Selanjutnya saya pikir lebih baik dilakukan dengan cara bergantian, sensasi kenikmatan juga belum kembali, tetap sama, tidak ada yang istimewa.

Sadar saya seketika, percobaan pesta demokrasi telah menemui kegagalan dalam diri saya, sensasi kenikmatan kretek yang diwakili sam soe reffil dengan sensasi kenikmatan kopi luwak saling bertabrakan, tidak ada kesepakatan, masing-masing pihak berusaha untuk mendominasi tanpa ada rasa gotong royong dan asas musyawarah mufakat. Pun saya pikir memang~jika kembali pada keseharusan, demokrasi itu dibangun dengan kegotong royongan, bukan dengan upaya saling mendominasi dan saling jegal, jika itu terjadi maka rusaklah bangunan demokrasi itu.

Demikian dari pengalaman menikmati sensasi rokok kretek dan kopi luwak saya temukan bahwasannya segala yang mewah itu belum tentu istimewa, bisa jadi malah merusak nikmat keistimewaan itu sendiri. Salam.

Selasa, 06 Maret 2012

Refleksi pendidikan dari film Jepang

Sekali waktu saya pernah nonton film Jepang berjudul Crow Zero, saya tidak begitu paham dan hafal betul dengan aktor-aktor nya, disamping tidak pernah mengikuti perkembangan dunia perfilman, juga lantaran bukan hobi saya untuk nonton film, jadi wajar saja jika saya kurang mengerti tentang artis-artisnya, toh artis dan selebritis tanah air pun saya juga kurang mengenal.

Yang menarik dalam film ini adalah gambaran fantasi dari pemilik ide cerita~yang entah siapa, kabarnya dari sebuah komik seri, digambarkan suatu lingkup pergaulan pelajar yang serba bebas. Absurd memang (namanya juga film), sekolah yang prestasi siswanya ditentukan oleh kuatnya pukulan untuk usahanya masing-masing dalam menguasai lingkungan pergaulannya. Maka sering terjadi perkelahian dalam lingkungan sekolah tersebut.

Cerita berawal dari kehadiran seorang pelajar bernama Takiya Genji di sekolah Suzuran, anak seorang yakuza yang tertantang untuk menggantikan posisi ayahnya dalam organisasi dengan menaklukkan Suzuran sebagai sekolah 'keras'. Untuk melakukan penaklukkan tersebut, pelajar inipun harus menghadapi tantangan yang cukup berat, yaitu mengalahkan satu persatu penguasa di Suzuran dan yang pertama harus ia kuasai adalah kelasnya yang baru.

Berhasil dengan penguasaan kelasnya dengan mengalahkan pemimpin kelas yang dalam film ini adalah bernama Chuta, pelajar Genji pun mulai melakukan intrik dan diplomasi terhadap kelas yang lain, termasuk mencoba merekrut adik-adik kelasnya baik yang kelas satu maupun kelas dua.

Diplomasi awal berhasil dengan memulai persahabatan dengan pemimpin kelas 'C' yaitu Makise, tapi dengan kelas berikutnya, kelas 'D' pelajar Genji menemui kesulitan yang cukup berarti, pelajar Genji harus mati-matian dikroyok anak kelas 'D' hingga babak belur dan pingsan. Oleh kejadian ini, Izaki sebagai pemimpin kelas 'D' mulai menaruh simpati terhadap kegigihan Genji yang pada akhirnya mereka berdamai dan membentuk suatu koalisi berandal sekolahan yang mereka sebut "GPS".

Kehadiran kelompok "GPS" yang dimotori tiga raja kecil: Izaki, Makise dan Chuta yang berada dibawah kepemimpinan Genji cukup menarik perhatian 'sang raja sekolah' Serizawa bersama rekan-rekannya, Serizawa sendiri diceritakan memimpin kelas 'A' bersama Tokio, Tokaji dan Tsutsumoto, semuanya jago kelahi. Sedang kelas 'B' yang dikuasai Mikami bersaudara berhasil takluk dengan satu pukulan oleh Serizawa diawal cerita.

Terjadilah persaingan antar kedua kelompok ini, saling serang, berintrik dan mendominasi lingkungan Suzuran. Ya, hegemoni untuk merekrut pengikut dari kelas lain juga merupakan medan tempur yang hebat. Dan akhir dari persaingan ini adalah sebuah pertarungan yang dimenangkan oleh kelompok Genji.

Pada bagian kedua film ini tantangan lebih berat lagi, meskipun pada akhirnya kelompok Genji dan Serizawa berdamai tapi mereka harus menghadapi kekuatan dari luar lingkungan mereka. Tersebutlah Housen, sekolah yang juga diisi oleh berandalan yang suka berkelahi, bedanya jika di Suzuran adalah perkelahian jalanan sedangkan di Housen berisi pelajar yang gemar olah raga beladiri yang juga identik dengan kepala 'plontos' semacam kelompok 'skin-head' di Inggris tahun 70-an. 'Skin head' inipun sering dikabarkan suka berkelahi meskipun tidak terdapat dalam film ini.

Sesaat saya berpikir "apa ada sekolah macam itu di Jepang sana?" dan langsung saja saya jawab sendiri "bagaimana mungkin ada yang seperti itu?!", meskipun Jepang yang terkenal kejamnya saat datang ke tanah air, toh mereka juga masih punya 'unggah-ungguh' dan sangat disiplin dalam membangun pendidikan. Tidak akan mungkin ada sekolah semacam itu, saya yakin pemerintahan disana akan cepat tanggap hingga tidak muncul gejala-gejala yang mengarah kesana.

Sedang di tanah air, saya pikir mungkin saja. "Bagaimana bisa?", tentunya dengan terus memisahkan pelajar dari kesadarannya sebagai manusia, mengasingkan pelajar dari dirinya sebagai seorang manusia. Maka terbentuklah mental individualis pelajar hingga kesadarannya jatuh pada titik terendah yang menyamakan dirinya dengan hewan, bersaing dengan kekuatan otot tanpa kreatifitas untuk membangun lingkungannya secara sehat.

Tentang keadaan sekolah yang digambarkan dalam film inipun bisa saja muncul di tanah air, ketika guru membatasi perannya hanya sebagai seorang pengajar tidak lagi sekaligus sebagai seorang pendidik, sedangkan pendidikan berkarakter yang sedang gencar didengungkan hingga sampai saat ini hanya menjadi semacam 'kandang singa'~garang di dalam tapi tidak bertaji di luar. Dalam keadaan seperti ini sangat memungkinkan pelajar-pelajar Genji terlahir di Indonesia.



Awalnya mereka takut karena ada ancaman peraturan-peraturan yang terbatas, selanjutnya mereka sudah tidak lagi peduli dengan peraturan tersebut sebab merasa tidak ada pengaruh sama sekali terhadap dirinya. Sama halnya dengan pengendara kendaraan bermotor (yang nakal) dijalanan yang hanya mau tertib jika ada yang mengawasi: polisi. Hal demikian memungkinkan juga untuk memunculkan mentalitas penjilat bukan?.



Tidak ada salahnya Indonesia bercermin dari film negeri seberang ini, meskipun kirannya tidak akan lulus sensor jika ingin ditayangkan. Dan mendidik untuk membentuk karakter adalah sepenuhnya dengan membangun kesadaran, bukan semata dengan ancaman~telah kita sepakati dengan 'diam' bahwa ancaman adalah salah satu bentuk kekerasan dan mendidik dengan 'kekerasan' tidak akan berbuah apa kecuali 'kekerasan' pula.

Sabtu, 03 Maret 2012

kekerasan dalam varian budaya


Membicarakan kekerasan sama halnya dengan membicarakan sejarah manusia, sejarah selalu diwarnai dengan kekerasan, atau bahkan kekerasan itulah sejarah manusia yang juga diawali dengan kekerasan, sebagaimana kisah Habil dan Qabil yang cukup menggambarkan tindak kekerasan awal manusia terhadap sesamanya, berlanjut juga dalam epose Mahabarata. Dan bahkan kekerasan telah pula digambarkan sebelum manusia diciptakan.
Sesuai dengan Firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 30.

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”

Gambaran dimana malaikat mulai mempertanyakan penciptaan manusia yang mereka ketahui hanya akan berbuat kerusakan, seakan terdapat prediksi dari akibat-akibat perbuatan manusia yang memiliki catatan panjang tentang tindak kekerasan. Tapi, toh malaikat harus tunduk dengan jawaban yang cukup memuaskan: bahwa hanya Tuhanlah yang mengetahui rahasia maksud dari penciptaanNya.

Dari tulisan ini, bukan bermaksud untuk memvonis bahwasannya kekerasan adalah sifat dasarnya manusia. Bukan. Hal tersebut tidak manusiawi dan terlalu sederhana untuk memandang manusia yang kompleks. Pun dalam kajian ilmu sosial juga telah terdapat usaha untuk menganalisis kekerasan dari beragam sudut hingga sempat melibatkan ilmu psikologi bahkan biologi untuk mengkaji kekerasan.

Tulisan kali ini coba membedah kekerasan yang muncul dari varian-varian budaya yang memang cukup populer akhir-akhir ini, kemajuan teknologi tidak hanya mempermudah manusia dalam mengakses informasi tapi juga membuka jalan yang mudah bagi proses asimilasi dan akulturasi, yang juga tidak hanya membuka peluang persaingan antar ragam budaya, tapi juga telah memunculkan varian-varian budaya hasil refisi sekaligus adaptasi.

Ah, terlalu rumit, belum lagi terjawab persoalan kekerasan malah dibingungkan dengan pembahasan budaya, memang tidak cukup hanya dengan menyebut sub-cultur untuk budaya-budaya kecil, sebab pada kenyataannya dari sub-cultur tersebut telah pula memunculkan sempalan-sempalan yang dapatlah dikatakan serupa tapi tak sama.

Ambil contoh komunitas punk yang cukup digemari pemuda-pemuda liberal di jalanan, dari sub-cultur yang satu ini telah muncul beberapa sub lagi yang sejenis, seperti crusty punk, punk street, dan sebutan-sebutan lain untuk para pengagum musik dan gaya hidup impor ini. Lain waktu ada kemungkinan pemuda-pemudi kita menyumbang satu nama lagi, mungkin ndeso punk atau apapun untuk menyatakan anti kemapanan.

Kembali pada kekerasan, menurut perspektif sosiologis, kekerasan muncul dari kefrustasian, terhambatnya saluran-saluran untuk pemecahan suatu masalah. Tentu kita tidak harus selalu bersandar dengan pandangan seperti ini sebab sebagaimana ‘kejahatan’, kekerasan bisa saja terjadi karena adanya kesempatan.

Johan Galtung, seorang pakar kriminologi memiliki pendapat kekerasan terjadi bila manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi potensialnya. Dengan kata lain bila yang potensial lebih tinggi dari yang aktual, maka ada kekerasan. Realisasi potensial ialah apa yang mungkin untuk diwujudkan sesuai dengan tingkat wawasan, pengetahuan, sumber daya dan kemajuan yang dicapai oleh jamannya. Penyalahgunaan hal-hal tersebut untuk tujuan lain atau dimanipulasi oleh sekelompok orang berarti ada kekerasan.

Dari sini muncul penggunaan istilah kekerasan untuk menggambarkan suatu perilaku, baik terbuka, tertutup, menyerang maupun bertahan yang disertai penggunaan kekuatan terhadap orang lain. Kekerasan terbuka adalah kekerasan yang dapat dilihat, seperti perkelahian. Kekerasan tertutup adalah kekerasan yang tidak secara langsung, seperti mengancam. Kekerasan agresif adalah kekerasan yang dilakukan untuk mendapatkan sesuatu .Kekerasan defensive adalah kekerasan yang dilakukan untuk perlindungan diri(http://nilaieka.blogspot.com/2009/05/teori-kekerasan.html). Begitupun dengan kekerasan secara kolektif dan bentuk-bentuk terorisme. Jadi tidak lagi semata penggunaan kekuatan fisik, tapi juga efektifitas upaya-upaya pemaksaan gagasan dan nilai-nilai katakanlah upaya dominasi yang pada dasarnya hanyalah bentuk isolasi diri.

Dari sini muncullah asumsi yang membatasi kesadaran seseorang terhadap kemanusiaan, seakan hanya terbatas pada: ‘golongan kita’ dan ‘golongan bukan kita’ lebih jauh lagi dengan sebutan ‘golongan musuh’. Ini merupakan situasi yang sangat potensial bagi munculnya kekerasan, yang sekali lagi tidak hanya dalam bentuk fisik, tapi dalam beragam bentuk, bukankah dengan berkata-kata seseorang juga dapat melakukan kekerasan?.

Kecenderungan semacam ini tidak saja dimiliki oleh agen budaya yang dominan, tapi juga oleh sub-cultur yang muncul akibat ketidak sepakatannya dengan gagasan dan nilai-nilai yang ~ selalu saja dipaksakan oleh budaya yang dominan.

Untuk itu kiranya perlu mendiskusikan berulang-ulang tentang nilai-nilai, tentang baik dan buruk dengan tidak saling mengisolasi diri apalagi membebani dengan penggolongan-penggolongan yang pada dasarnya tidak manusiawi. Toh essensi manusia sama, yang berbeda hanyalah dalam superfisialnya saja tentang apa yang disenangi. Dan tak perlu untuk menciptakan permusuhan jika sekedar masalah senang dan tidak senang, dan upaya pemaksaan gagasan hanyalah tindakan ideologis yang mengingkari kemanusiaan.

Akhirnya adalah harapan untuk melaksanakan “bhineka tunggal ika, tan hanna dharma mangrwa” dengan semangat pluralism tanpa ada upaya untuk memanipulasi ke’bhinekaan’ itu sendiri. Salam punakawan berdaulat.