Sumber: Ditulis oleh Tan Malaka pada bulan Januari 1926 di Tokyo
Kontributor: Naskah ini dikirim oleh "Pacar Merah Indonesia ",
diedit supaya sesuai dengan ejaan baru oleh Ted Sprague (May 2007)
Tulisan ini kembali hadir di
tengah-tengah teman-temah pergerakan di Indonesia setelah 60 tahun hilang dari
Indonesia, ditemukan kembali oleh sebagian kawan-kawan yang masih berusaha
mencari tulisan-tulisan klasik dari jaman kejayaan gerakan buruh di Indonesia
era 1920an, diharapkan akan menjadi tenaga tambahan karena gerakan di Indonesia
yang masih kekurangan teori mengenai ke Indonesiaan walaupun mungkin dalam
banyak hal telah berubah apakah itu sistem kapitalis dan juga mengenai kondisi
masyarakat Indonesia. Hidup persatuan yang teguh dari semua kelompok yang anti
Kapitalisme, Imperialisme dan NeoLiberalisme, Hidup persatuan antara gerakan
kiri di Indonesia, hilangkan konflik lama yang akan merugikan gerakan buruh di
Indonesia ......... MERDEKA 100%
Kontributor,
"Pacar Merah Indonesia"
----------------------
Semangat Muda, yang ditulis pada
tahun 1926, mengandung buah pemikiran Tan Malaka tentang bagaimana menjalankan
organisasi revolusioner sesuai dengan kondisi Indonesia saat itu; yaitu dengan
menggandeng perjuangan politik (nasional) dengan perjuangan ekonomi (kelas);
dengan menyatukan perjuangan pembebasan nasional dengan perjuangan pembebasan
Kelas Buruh. Terkandung di naskah ini adalah program nasional yang
mengikutsertakan kaum borjuis kecil dan kaum tani Indonesia, yang notabene saat
itu jumlahnya lebih besar dari pada kaum buruh, dengan kaum buruh sebagai
pemimpin gerakan kemerdekaan. Naskah ini sangatlah relevan sebagai pelajaran
sejarah bagi gerakan di Indonesia saat ini, dimana gerakan anti-imperialis
(anti modal asing) harus disatukan dengan gerakan pembebasan buruh sebagai
sebuah kelas. Gerakan nasional dan gerakan kelas tidaklah boleh dilihat sebagai
dua tahap yang terpisah, tetapi sebagai satu kesatuan; ini benar untuk
Indonesia pada tahun 1926 dan terlebih benar untuk Indonesia saat ini.
Editor,
Ted Sprague
---------------------
Senjata Feodalisme dan Kapitalisme
terutama Peluru dan Pedang.
Senjata Proletar Industri ialah
Agitasi, Mogok dan Demonstrasi.
Sebulan Massa-Aksi di Indonesia
sekarang lebih berguna dari 4 tahun Dipo NegoroIsme.
Zaman Baru membawa Senjata Baru !!!!
Dicetak di Tokyo Januari 1926.
ISI BUKU:
I. KE ZAMAN
KOMUNISME.
1. Watak Zaman Bangsawan
2. Watak Zaman
Hartawan
3. Zaman Diktatur
Proletar
4. Taktik
5. Rusia
II. KEADAAN INDONESIA
1. Ekonomi
2. Sosial
3. Krisis Ekonomi
4. Krisis Politik
III. PROGRAM
1. Program
Nasional PKI & SR
2. Keterangan
Program
IV. ORGANISASI
1. Maksud dan
Sifat Organisasi
2. Tentara
Nasional
V. REVOLUSI
1. Peperangan dan Revolusi
2. Revolusi di Indonesia
3. Taktik di Indonesia
4. Massa Aksi di Indonesia
5. Rapat Rakyat Indonesia
6. Revolusioner Komunis
I.
KE ZAMAN KOMUNISME
Tiap-tiap pergaulan hidup di muka
bumi ini, baik di Asia atau Eropa, baik dulu ataupun sekarang, terdiri oleh
klassen atau kasta, yakni kasta tinggi, rendah. dan tengah.
Menurut pikiran KARL MARX,
maka timbulnya kasta tadi, yaitu disebabkan oleh perkakas mengadakan hasil,
seperti cangkul, pahat dan mesin. Adanya kasta tadi pada sesuatu pergaulan
hidup, menyebabkan, maka politik, Agama dan adat, dalam pergaulan hidup itu
bersifat kekastaan atau bertinggi berendah. Ringkasnya perkara mengadakan
hasil, menimbulkan kasta, dan kasta itu menimbulkan paham politik, agama dan
adat yang semuanya bersifat kekastaan. Oleh sebab itu kata Marx lagi, semua
sejarah dari semua bangsa, ialah pertandingan antara kasta rendah dan tinggi,
antara yang terhisap dan yang menghisap, antara yang terhimpit dan yang
menghimpit. Demikianlah pada Zaman Feodalisme atau Zaman Bangsawan, Kaum
Hartawan yang terhimpit itu bertanding dengan kaum Bangsawan dan Raja yang
menghimpitnya. Di Eropa pada tahun 1789 Kaum Hartawan di Prancis bisa
mengalahkan Kaum Bangsawan dan mendirikan Peraturan Kemodalan seperti macam
sekarang.
Dalam hal itu pertandingan belum
lagi berhenti. Karena pada Zaman Kemodalan sekarang, pertentangan kasta makin
tajam, ialah antara Kaum Buruh yang terbanyak dan tertindas itu dengan Kaum
Hartawan, yang terkecil, tetapi terkaya dan terkuasa itu.
Berhubung dengan lebar dan dalamnya
pertandingan dalam Zaman Kemodalan ini, maka kelak Kaum Buruh, kalau menang ia
tidak saja akan memerdekakan dirinya sendiri, seperti dulu Kaum Hartawan,
melainkan akan memerdekakan seluruh pergaulan hidup dan sekalian manusia. Dan
oleh sebab Kaum Hartawan di seluruh dunia bersatu, maka haruslah pula Kaum
Buruh seluruh dunia bersatu, buat manghancurkan musuhnya.
1. Watak Zaman-Bangsawan
Pada Zaman-Bangsawan, maka perkakas
di sawah dan ladang, hanyalah cangkul atau bajak. Di tempat pertukangan, pahat
atau ketam yang semuanya diangkat dengan tangan. Hasil sawah, pertukangan dan
pertenunan, cuma buat keperluan masing-masing orang atau masing-masing famili
saja. Kalau ada berlebih dari keperluan itu, barulah dijual, supaya bisa
membeli kain, cangkul atau bajak. Jadi perniagaan baru mulai timbul.
Ringkasnya pada Zaman-Bangsawan
perkakas kecil, hasil sedikit dan buat keperluan masing-masing famili saja.
Sisa keperluan satu-satu famili juga sedikit, sebab itu perniagaan masih lemah.
Beberapa tani, tukang dan saudagar
pada Zaman Bangsawan berkumpullah mendirikan desa atau kota. Buat menjaga
keamanan dalam desa tadi dan mempertahankan desa tadi pada musuh, maka mereka
mendirikan Pemerintah Desa. Anggota biasanya terdiri dari orang yang tua, yang
pandai, cerdik, berani dan mendapat kepercayaan dari orang banyak. Pangkat
memerintah negeri akhirnya jadi turun menurun dari bapak ke anak. Sekarang
penduduk desa sudah mulai terbagi atas kasta: Tani, Tukang, Saudagar dan
kasta-memerintah, yaitu Bangsawan. Apabila desa tadi banyak berperang-perangan,
maka makin besar kuasanya Kaum Bangsawan dan makin dalam kebangsawanan.
Kemudian dua desa atau beberapa desa mulai mangadakan perserikatan buat mempertahankan
diri kepada serangan dari luar. Urusan negeri dan peperangan sekarang jatuh di
tangan seorang Bangsawan yang tetinggi, yang sekarang berpangkat Raja dan
berkuasa lebih dari Bangsawan yang sudah-sudah. Makin banyak peperangan dan
kemenangannya Raja itu, makin besar kekuasaannya turun menurun.
Negeri bertambah besar, kekuasaan
makin tertumpuk kepada Raja dan Bangsawan, kekayaan makin tertumpuk kepada Kaum
Hartawan serta kaum Buruh dan Tani makin terhisap dan tertindas.
Supaya Buruh dan Tani yang terbanyak
itu, takluk saja kepada Kaum Raja dan Bangsawan, maka harus diadakan Agama,
Didikan dan Adat yang bersifat kekastaan atau kebudakan.
Gereja atau mesjid jatuh di tangan
Kaum Bangsawan juga, anaknya Rakyat diajar jongkok dan menyembah, sedangkan
anaknya Raja serta Bangsawan diajar memukul, memaki dan menerjang.
Demikianlah wataknya Zaman-Bangsawan
itu di India, di Jawa atau Tiongkok dan Jepang.
2. Watak Zaman Hartawan
Kira-kira 200 tahun yang lalu, kaum
Hartawan di Eropa makin bertambah kaya. Pertukangan, dan pertenunan yang dulu
kecil-kecil, dan buat keperluan masing-masing famili saja, sekarang sudah
terkumpul pada satu pabrik. yang memakai beratus-ratus kuli. Perniagaan sudah
jauh melewati batas desa atau negeri. Bank sudah meminjamkan kepada atau
menerima uang simpanan dari seluruh penduduk negeri.
Tetapi, walaupun kekayaan
Kaum-Hartawan sangat maju, kekuasaannya masih tinggal seperti dulu. Raja dan
Bangsawan masih bisa ambil pajak sehekendak hatinya. Kemerdekaan Kaum-Hartawan
buat mengirim barang dari satu negeri ke negeri lain sangat terhambat, karena
barang-barangnya acap kali dipajaki oleh Bangsawan atau Raja. Juga Kaum
Pendeta, yakni keturunan Bangsawan tak kecil keganasannya.
Buat merdeka mendirikan pabrik dan
kirim mengirim barang, maka Kaum Hartawan mesti merdeka dalam urusan
politik-Negeri.
Dengan pertolongan Tani dan Buruh,
maka Kaum Hartawan pada tahun 1789 bisa menghancurkan semua kekuasaan Kaum
Bangsawan dan Raja Prancis. Sekarang urusan ekonomi, dan politik luar serta
dalam negeri sama sekali jatuh di bawah tangan Kaum Hartawan dan Wakilnya.
Sekarang Modal bisa tumbuh dan
menjalar kiri kanan dengan leluasa. Dalam satu pabrik tidak seratus atau dua
ratus, melainkan sudah sampai 30 ribu orang kuli kerja (Inggris, Jerman dan
Amerika). Hasilnya dalam satu jam saja sudah beribu-ribu pikul. Mengangkutnya
hasil tidak lagi dengan bahu, kerbau atau kuda, melainkan dengan kereta atau
kapal yang cepatnya seperti petir. Dengan kelingking saja satu sekerup dibuka,
mesin yang kuatnya sejuta kuda berputar dengan sendirinya saja. Kirim mengirim
dan pesan memesan barang ke empat penjuru alam dijalankan dengan kawat atau
radio. Dari Asia dan Afrika tiap-tiap hari diangkut barang-barang yang mesti
dikerjakan dalam pabrik di Eropa, dan dari Eropa atau Amerika tiap-tiap jam
berjalan kapal yang mengangkut barang-barang pabrik ke Asia dan Afrika.
Ringkasnya mesin kerja dengan kuat dan cepat, Kuli terkumpul pada satu pabrik
saja sampai beribu-ribu, pekerjaan teratur dari satu administrasi-pabrik dan
dikerjakan bersama-sama, sedangkan perniagaan sudah internasional.
Tetapi seperti pada Zaman-Bangsawan
ada pertentangan antara Kaum Bangsawan dan Kaum Hartawan, begitulah juga pada
Zaman Hartawan atau Kemodalan ada pertentangan antara Kaum Hartawan dan Kaum
Buruh serta Tani. Seperti ZamanBangsawan mengandung Benih-Hartawan yang kelak
akan menghancurkan Kaum-Bangsawan sendiri, demikianlah pula Zaman-Hartawan kita
ini mengandung Benih Buruh yang kelak akan menghancurkan Kaum Hartawan.
Keyakinan ini kita Kaum Komunis tidak
diperoleh dari limau-purut atau ujung jari, seperti tukang-tukang ramal, tetapi
kita peroleh dari bukti yang nyata.
Pertentangan-pertentangan yang nyata
dan tak bisa didamaikan pada Zaman-Kapitalisme atau Hartawan, ialah:
I. Hak-Milik. Pada Zaman-Hartawan, seperti
juga pada Zaman-Bangsawan maka perkakas mengadakan hasil itu berpisah dari
orang yang mengadakan hasil, yakni Kaum-Buruh. Sebab perkakas itu bukan
kepunyaan Kaum-Buruh, melainkan satu atau dua orang Hartawan, maka hasil yang
diadakan oleh Kaum-Buruh tidaklah kepunyaan Kaum-Buruh sendiri, melainkan
kepunyaan yang memiliki perkakas, seperti: tanah, pabrik, kereta, kapal dan
lain-lainnya. Kaum Hartawan tak bekerja, tetapi ia memiliki hasil. Kaum Buruh
membanting tulang, tetapi tak memiliki hasil yang diadakannya sendiri.
Sebabnya, maka dunia sampai terbalik begitu, ialah karena hak-Milik, yang pada
semua negeri Bangsawan diaku sah oleh Wet (Bahasa Belanda untuk hukum - catatan
editor) dan agama, sekarang dalam Zaman-Hartawan menjadi racun. Dengan alasan
hak Milik itu, modal kecil menjadi besar, perusahaan kecil terpukul oleh yang
besar dan tani kecil terpukul oleh tani besar, sehingga tukang-tukang kecil dan
tanitani tidak lagi berpunya apa-apa. Kaum yang tidak berpunya ini, terpaksa
menjual tenaganya pada Kaum Hartawan dengan harga seberapanya saja, asal bisa
menolak bahaya lapar dan mati. Jadi sebab hak Milik tadi pergaulan hidup
terbagi dua: l. Kaum Hartawan Sang tersedikit orangnya, tetapi memiliki
Perkakas dan Hasil, dan 2. Kaum Buruh, yang terbanyak orangnya, yang sungguhpun
mengadakan hasil tak memiliki hasil itu, karena ia orang upahan saja.
II. Anarkisme. Sungguhpun dalam satu pabrik
ada teratur banyak dan caranya mengadakan basil, tetapi satu pabrik berpukul-pukulan
dengan yang lain. Kalau satu negeri mempunyai misalnya 100 pabrik kain, maka
tiap-tiap pabrik ada mengatur dan menentukan banyak hasil yang mau diadakan,
buat masing-masingnya, tetapi yang 100 pabrik tadi tidak mengatur banyak hasil
buat seluruh negeri, melainkan masing-masing mengadakan hasil buat memukul yang
lain. Makin banyak hasil dapat makin murah harganya barang, sehingga lawannya
terpukul dan jatuh. Kalau hasil tiba-tiba menjadi terlampau banyak, harga
terlampau murah, dan pabrik tertutup, seperti teh, getah dan minyak di
Indonesia baru-baru ini. Walaupun Rakyat perlu memakai hasil itu, tetapi yang
punya tidak akan membagikan pada Rakyat, malah lebih suka membuang hasil itu,
seperti Kapitalis-Gandum di Amerika pada tahun 1922. Jadi hasil yang diadakan
oleh 100 pabrik tadi bukanlah buat negeri dan penduduknya, melainkan buat
perniagaan dan pukul-memukul dalam perniagaan. Demikianlah Kaum Hartawan
mengadakan hasil tidak rasional, yakni menurut keperluan orang banyak,
melainkan anarkistis, yakni sesukanya saja, buat mencari untung.
III. Mesin. Buat pukul-memukul dalam
perniagaan atau concurrensi, Kaum Hartawan memakai mesin baru. Dengan jalan
begitu hasil dengan cepat menjadi berlipat ganda, sehingga harganya barang itu
bisa murah sekali. Tuan pabrik yang masih memakai mesin tua, tidak bisa
menghasilkan begitu banyak dan begitu cepat. Harga barangnya tinggal mahal, dan
akhirnya ia jatuh. Tetapi mesin baru tadi mengurangkan tangan yang
mengangkatnya, karena mesin itu bisa dijalankan dengan uap atau listrik saja.
Berhubung dengan memakai mesin baru, beribu-ribu buruh dilepas, karena
melimpah. Tiap-tiap negeri di Zaman Hartawan penuh dengan limpahan Buruh, yakni
buruh yang dilemparkan dan tidak bisa dapat kerja. Limpahan Buruh ini, selalu
bertambah-tambah, karena mesin baru tiba-tiba menaikkan hasil, dan tiba-tiba
naiknya hasil tiba-tiba pula mendatangkan krisis yakni jatuh harga barang.
Kalau krisis datang beribu, berjuta buruh dilepas. Ringkasnya Zaman-Hartawan
penuh mempunyai perkakas (mesin), dan penuh mempunyai hasil, tetapi sebaliknya
berjuta manusia tanpa pekerjaan dan hidup dalam kelaparan. Nyatalah sudah Kaum
Hartawan tidak bisa mengurus keperluan Rakyat.
IV. Kasta. Pada Zaman-Hartawan satu kongsi
perniagaan bisa maju dengan dua jalan: pertama dengan memukul, kedua dengan
berkawan. Kalau satu kongsi mempunyai modal yang besar, tentu ia dengan
sementara menurunkan harga barangnya, bisa menjatuhkan musuhnya. Tetapi kalau
mereka sama-sama kuat, maka ia mencoba berserikat. Dengan perserikatan mereka
mudah menaikan harga barang dengan sekehendak hatinya, karena tak ada
persaingan lagi. Yang kerugian tentulah Rakyat juga, yang terpaksa membayar.
Dengan jalan berserikat itu dua atau tiga maatschappy (perusahaan) menjadi sindikat.
Sindikat ini kurang teratur lagi, karena masih banyak kepala yang mengurus,
ialah kepala-kepala dari maatschappy (perusahaan) yang berserikat. Supaya
urusan lekas, maka kepala yang banyak tadi ditukar jadi satu, sehingga
perniagaan bertambah kuat, urusan rapi dan lekas, karena urusan
ge-centraliseerd yakni mempunyai satu kepala saja. Inilah namanya trust. Trust
ini bisa berserikat lagi dengan trust lain, seperti trust besi dengan trust
arang, sehingga harga arang dan besi boleh dibikin sekehendak yang punya trust.
Di Jerman umpamanya Stinnes tidak mempunyai satu, melainkan bermacam-macam
trust, seperti arang, besi, kertas, kereta, kapal, Banken, kayu, dan
sebagainya. Jadi pertama harga grondstof atau barang asli, yang perlu
dikerjakan di pabrik bisa rendah sesuka Stinnes saja. Sebaliknya fabriekswaren
atau barang pabrik boleh dia naikkan sesuka hatinya, karena pabrik, kereta,
kapal dan surat kabar buat advertensi sama sekali jatuh ditangannya. Jadi semua
kongsi, maatschappy (perusahaan) dan Sindikat jatuh di bawah
combinatie-trust-Stinnes. Semua urusan ekonomi di Jerman hampir tergenggam di
tangan satu manusia saja. Juga Bank dari kongsi kecil menjadi Sindikat,
Sindikat menjadi trust dan Trust-Combinaties. Jadi semua urusan Bank jatuh di
bawah kekuasaan satu manusia pula (Stinnes). Bank pada tiap-tiap negeri memberi
pinjaman pada industri. Supaya ia dapat untung tetap, maka ia adakan kontrol
pada industri tadi. Akhirnya industri jatuh di bawah kekuasaan Bank. Bank
memberi pinjam uang pada negeri, sebab itu menteri pada suatu negeri kemodalan
harus cocok dengan Direktur Bank. Begitulah semua menteri di Amerika mesti
tunduk pada Bankir Morgan, Jerman pada Stinnes, Prancis pada lauchuer dan
sebagainya. Bank pada suatu negeri acap memberi pinjaman uang kepada negeri
lain. Supaya bunga terus diterima, Menteri luar harus menjaga keperluan itu,
dan kalau perlu haruslah negeri luar itu dijadikan jajahan. Dengan jalan begitu
barang jajahan bisa tetap masuk (kopi, gula, kapas, dll.) orang jajahan tetap
beli barang pabrik (kain, mesin, dll.) dan bayar hutang. Nyatalah sudah, bahwa
kemajuan kapitalisme mengumpulkan kekuasaan pada satu dua orang. Seorang Bankir
menguasai industri negeri, pemerintah negeri dan koloni. Kaum modal pada
sesuatu negeri semakin hari semakin bertambah kaya dan bertambah sedikit, kaum
buruh bertambah banyak dan bertambah miskin. Pertentangan Hartawan dan Buruh
bertambah tajam, sehingga puteran kasta yakni revolusi sosial tak bisa
dihindarkan. Salah satu Hartawan atau Buruh mesti hancur.
V. Imperialisme. Anarkisme dalam hal
mengadakan menyebabkan Kaum-Hartawan dalam sesuatu negeri satu dengan lainnya
berpukul-pukulan dan hancur- menghancurkan. Walaupun mereka terhadap kepada
negeri lain ada bersatu, tetapi anarkisme tadi juga menyebabkan beberapa negeri
di atas dunia ini satu sama lainnya berpukul pukulan dan hancur-menghancurkan
pula. Tiadalah satu negeri mengadakan hasil buat keperluan seluruh dunia,
melainan buat perniagaan dan persaingan. Satu negeri yang perlu memakai barang jajahan
buat pabriknya seperti kapas, getah, dan sebagainya mau sendiri saja memiliki
barang asli atau grondstof itu. Ia sendiri saja mau memiliki negeri jajahan itu
sebagai pasar barang pabriknya (besi, mesin, kain-kain, kertas dll.) dan ia
sendiri saja mau meminjamkan uang pada jajahan itu, supaya ia sendiri saja pula
mendapat bunga yang tetap. Berhubung dengan keperluan industri dan
perniagaannya, maka ia sendiri pula mau menggenggam politik negeri jajahan itu.
Politik imperialisme ini menyebabkan yang satu negeri berdengki-dengkian dan
bermusuh-musuhan dengan negeri yang lain Hal ini menaikkan persiapan peperangan
pada tiap-tiap negeri imperialisme dan akhirnya mengadakan peperangan dunia.
Demikianlah peperangan dunia yang baru ini, yang memakan jiwa 10.000.000
manusia dan beribu juta harta disebabkan oleh pertentangan antara imperialisme
Inggris dan Jerman. Sesudah Jerman kalah, maka timbul lagi sekarang
pertentangan antara imperialisme yakni Inggris dan Prancis di Eropa dan lebih
tajam lagi Jepang dan Amerika di Asia Timur. Nyatalah sudah, bahwa imperialisme
tak bisa dibunuh selama kapitalisme dan anarkisme dalam hal mengadakan hasil
masih tetap. Sebab itu peperangan dunia pada tiap-tiap waktu masih mengancam
kita.
Kelima penyakit kemodalan yang kita
sebutkan diatas ini tiadalah bisa sembuh, karena sudah terbawa oleh diri
kemodalan sendiri. Penyakit itu lah yang menyebabkan Kaum Hartawan bertambah
penakut dan bertambah sedikit orangnya dan sebaliknya penyakit itu lah yang
menyebabkan Kaum Buruh bertambah miskin, tetapi bertambah rajin kerja (sebab
terpaksa) bertambah tertindas, tetapi bertambah revolusioner dan bertambah
banyak orangnya. Krisis ekonomi dan politik bertambah dekat, artinya ini cuma
revolusi sosial atau putaran-kasta sajalah yang bisa mengobati krisis itu, dan
menghindarkan bala yang bisa menimpa seluruh manusia diatas dunia ini:
"Kaum Hartawan yang malas dan
sedikit itu haruslah turun, serta Kaum Buruh yang terbanyak dan mengadakan
hasil itu, harus memiliki hasil itu dan membagikan hasil itu buat kastanya
sendiri dan sekalian orang yang kerja. Ringkasnya Kaum Buruh harus merebut
kekuasaan ekonomi dan politik dunia".
3. Zaman Diktatur Proletar
Kaum Agama mengambarkan surga persis
seperti kehendak nafsunya sendiri. Begitu juga Kaum Utopis, seperti Thomas
More, Saint Simon, Fourier dan Robert Owen menggambarkan masyarakat yang
sempurna di dunia ini persis seperti nafsunya masing-masing.
Kita Kaum Komunis tidak mengambil
gambaran Komunisme itu dari nafsu seorang tukang mimpi atau ahli nujum saja.
Kita tidak disuruh Karl Marx buat menghapalkan saja sifat-sifat Komunisme dan
terus tinggal mendoa saja supaya Surga Dunia itu datang. Melainkan kita
mendapat keterangan yang jelas dari Marx, bahwa kemajuan Feodalisme di dunia
ini membawa kemajuan Kapitalisme, dan kemajuan Kapitalisme sekarang ini membawa
kemajuan Komunisme. Sebagaimana Kaum Bangsawan sudah terpukul oleh Kaum
Hartawan, begitu juga kelak Kaum Hartawan akan dikalahkan oleh Buruh. Kalahnya
itu bukanlah pula oleh sebab-sebab yang mistik atau gaibgaib melainkan atas
sebab-sebab yang nyata, yang bisa dilihat dan dirasa.
Tidaklah pula datangnya Komunisme
itu tiba-tiba saja, seperti surga akan terkembang sesudah hari kiamat, tetapi
berangsur-angsur, yakni seperti Zaman Kemodalan sendiri yang dulu datangnya
juga berangsur-angsur. Dimana pertentangan sangat dalam, seperti di Rusia, maka
putaran kasta Buruh dengan Hartawan itu akan disertai dengan banjir darah.
Dimana pertentangan itu, selalu dikurang-kurangi, karena Kaum hartawan selalu
kasih konsesi atau kemunduran, seperti bisa terjadi di Inggris, maka putaran
kasta tadi, boleh jadi tidak berapa menuntut jiwa. Tetapi buat seluruh dunia
putaran-kasta itu tiada akan terjadi dengan damai, seperti juga putaran kasta
Bangsawan dengan Hartawan dulunya tiadalah terjadi dengan damai.
Tingkat yang mula-mula mesti kita
tempuh di atas Zaman-Kemodalan ini ialah Dictaturnya-Proletar. Bukanlah pada
satu negeri saja seperti Rusia, tetapi buat di seluruh dunia. Pada tingkat
Diktator-Proletar ini, semua Perkakas Hasil, seperti Pabrik Tambang, Tanah,
Kereta, Kapal, Gudang-Gudang dll. dimiliki oleh Kaum-Buruh dan diserahkan pada
negaranya Kaum Buruh. Semua urusan buat mengadakan hasil, jatuh di bawah
pimpinan Kaum-Buruh sendiri, yang di jalankan oleh Wakil-Wakil yang dipilih
oleh Kaum Buruh itu tidak lagi ditetapkan buat perniagaan dan mencari untung
saja, tetapi terutama buat keperluan Rakyat. Anarkisme dalam hal mengadakan
hasil akan hilang dan berganti dengan rasionalisme, yakni mengadakan hasil
menurut keperluan Rakyat. Kaum buruh berhenti menjadi orang upahan yang dibayar
sebagaimana suka si Kapitalis saja, karena Buruh sekarang sudah memiliki
perkakas hasil yang diadakannya sendiri. Sepadan dengan itu Kasta-Buruh,
sebagai Kasta upahan atau budak hilang dan berganti dengan Kasta Pekerja yang
campur mengurus pekerjaannya dan memiliki hasil yang dikerjakannya. Oleh karena
sekarang mengadakan hasil tidak lagi dengan sesukanya seorang Kapitalis buat
perniagaan saja, maka hasil tak akan melimpah lagi, sehingga bisa mendatangkan
krisis atau mesti menimbulkan politik merebut jajahan buat pasarnya barang
limpahan itu. Jadi politik imperialisme akan hilang dan berganti dengan
tukar-menukar barang, seperti barang Eropa dengan Afrika atau Asia, satu negeri
dengan yang lain. Berhubung dengan hilangnya politik imperialisme, maka akan
hilang pula militarisme dan hilang pula peperangan dunia buat merebut jajahan
dan pasar.
Supaya Kaum Buruh aman dan sentosa
memiliki perusahaan dan semua hasilnya perusahaan, maka haruslah ia merebut
politik-negeri. Kaum-Hartawan dan budaknya dari Kasta Tengah atau Kaum
Sosial-Demokrat haruslah diusir dari pemerintahan negeri. Kalau tidak begitu ia
akan memogoki (saboteeren) semua peraturan yang baik buat Kaum-Buruh dan
menunggu waktu yang baik, dimana ia bisa memakai laskar, armada, justisi,
polisi dan bui buat menindas peraturan ekonomi kaum buruh, seperti yang kita
rancangkan diatas. Bersama dengan Pemerintah-negeri, haruslah dengan sekejap
Laskar, Armada, Justisi, Polisi dan Didikan dijadikan merah. Artinya itu, semua
anggota ini, haruslah jatuh di bawah kekuasaan Kaum-Buruh dan seberapa bisa
diisi dengan Kasta Kaum Buruh sendiri.
Dengan Pemerintah Merah, Tentara
Merah, Polisi Merah, dan Didikan Merah, maka Kaum Buruh bisa menjaga peraturan
mengadakan hasil dan haknya atas hasil itu, terhadap kepada musuh baik di dalam
atau pun di luar negeri, yang tak putus akan mencoba merebut kembali
kekuasaannya yang hilang itu.
Apabila sesudah bertahun-tahun Kaum
Hartawan sama sekali hancur, seperti dulu juga Kaum Bangsawan sama sekali
hancur, maka barulah lambat laum anggota-anggota Ekonomi Merah, Politik Merah,
Didikan Merah dan Justisi Merah berhenti menjadi perkakas penginjak Kemodalan
dan Kaum Hartawan, dan menjadi perkakas buat mendatangkan Komunisme. Pada Zaman
Komunisme, kasta akan hilang, tindasan dan isapan akan hilang, kekayaan,
kepintaran, pengetahuan, kesenian, dan literatur akan menjadi miliknya orang
bersama.
Jadi Komunisme itu bukanlah ilmu
batin, yang datangnya sesudah habis dibakar kemenyan sepikul, melainkan suatu
peraturan buat pergaulan hidup yang sudah terkandung sendiri oleh pergaulan
hidup yang sekarang ini. Lekas datangnya itu bergantung sebagian besar dari
cakap dan kuatnya Kaum-Buruh Dunia, mendatangkan Diktatur Proletar, yakni
memerahkan peraturan ekonomi dan politiknya Kaum Hartawan yang ada sekarang.
4. Taktik
Pada Zaman-Feodalisme, maka Taktik
buat mendatangkan pemerintah baru itu, yakni dengan ramal dan kemenyan. Seorang
guru atau Kiyai, tahu membaca dalam buku atau di ujung jarinya, kapan Ratu Adil
atau Imam Madhi akan datang. Dengan jimat dan kemenyan, maka Kaum
Revolusioner-feodal bisa mengalahkan musuh. Psikologi atau semangat semacam ini
lahir dari keadaan cara mengadakan hasil juga. Pada Zaman-Feodalisme itu
mengadakan hasil terutama dengan cangkul. Kalau tanahpun subur, si Tani rajin
mencangkul, tetapi hujan tak turun-turun tentu padi tak dapat. Apa itu hujan,
buat si Tani, yang belum pernah dengar Natuurkunde atau ilmu-alam adalah
perkara kasih atau bencinya Tuhan. Dia bergantung kepada Tuhan itu, dan cara
mendapatkan hujan tidak lain dari membakar kemenyan. Bukanlah seperti
buruh-pabrik, yang sama sekali tak tergantung pada alam, malah memakai alam itu
uap dan elektris kapan ia suka dan berapa ia suka. Sebab itu si Tani pasif atau
penerima dan si Buruh aktif atau jalan. Sifat itu terbawa-bawa dan juga buat
mendatangkan pemerintah baru, tak lain akal buat si Tani melainkan nujjum,
jimat dan kemenyan.
Di antara Kaum-Buruh industri adalah
tiga taktik yang terutama dimajukan: Anarkisme, Reformisme dan Revolusioner.
Taktik Anarkisme lahirnya pada
pertengahan Abad yang lalu. Kaum Anarkis, percaya, bahwa kalau tiap-tiap
pembesar Kaum-Hartawan di bom, diracun atau ditikam, maka mereka akan takut
memerintah. Si Penindas akan hilang, dan Komunisme akan datang sendirinya saja.
Jadi mereka tidak memakai tingkat Diktatur Proletar seperti kaum Komunis,
dan.tidak memperdulikan organisasi massa-aksi atau aksi ramai-ramai yang
teratur. Bahwa semuanya itu mimpi tak perlu dibentangkan disini. Kaum Hartawan
dengan polisi, justisi dan tentaranya adalah sangat teratur dan mempunyai
disiplin yang sangat keras. Dan kalau satu pembesar terbunuh, maka seribu lagi
gantinya. Sebab itu, kalau Kaum-Buruh tak berkelahi teratur dan mempunyai
disiplin yang keras ia mesti kalah. Anarkisme belum pernah menang. Cuma pada
waktu Bakunin masih ada, disana sini di negeri yang achterlyk atau mundur
kapitalismenya seperti di Selatan Jerman, di Balkan ia bisa bikin huru hara.
Tetapi di negeri yang sudah maju kapitalismenya pada masa itu (tahun 1850)
seperti Inggris, Bakuninisme sama sekali tak bisa dijalankan. Di Rusia sendiri
pada tahun 1917 dan sekarang di Jerman Anarkisme sama sekali tak berarti. Sebab
kaum anarkis tak mau mengakui aturan dan disiplin itu, maka ia tak bisa membikin
perserikatan, malah mudah berpecah-pecahan, dan bertengkar-tengkaran. Sebab ia
mengukur kemarahan Rakyat yang tertindas itu kepada yang menindas bukan dengan
alasan ekonomi, melainkan dengan kemarahannya personal, maka ia mudah kena
provokasi, dan terdorong, sehingga ia terisolasi dari orang banyak, dan
akhirnya kalah.
Taktik Kaum Sindikalis, yang juga
beralaskan Anarckisme yang terutama berpengaruh di sebelah Selatan Eropa dan
Amerika Selatan pun tak bisa mencukupi kekuatan buat memerangi kemodalan zaman
sekarang. Kaum Syndicalist itu anti-parlemen dan anti-politik. Sebab itu Kaum
Syndicalist tak mau mengirim wakil ke parlemennya kaum Hartawan. Sebaliknya ia
menyangka, bahwa Serikat Buruh itulah yang tertinggi. Sudahlah tentu dasar
anti-politik dan anti-parlemen itu salah sekali. Dengan sikap begitu,
Kaum-Buruh tak tahu akan politiknya Kaum-hartawan, sedangkan politik dan
ekonomi itu bersanak sudara. Politik tidak lain dari geconcentreerde ekonomi,
artinya itu, politik ialah pusatnya urusan ekonomi. Apabila Kaum-Buruh akan
menyia‑nyiakan politik, yakni pusatnya ekonomi kaum Hartawan itu, mereka akan
mudah terjerat kaki dan lehernya.
Taktik Kaum Sosial Demokrat tak
perlu kita uraikan di sini dengan panjang lebar. Mereka itu percaya bahwa Modal
dan Tenaga (Arbeid) tak bertentangan. Begitu juga Hartawan dan Buruh bisa
sama-sama jalan. Sebab itu Kaum Sosial Demokrat memasuki Parlemennya Kaum
Hartawan. Mereka percaya, bahwa kalau kelak dengan jalam damai mereka bisa
mengadakan wakil lebih banyak dari Hartawan, maka Hartawan akan kalah suara dan
akan mundur saja. Sesudahnya itu perusahaan ekonomi boleh dijatuhkan ke tangan
Buruh. Berhubungan dengan itu, maka Kaum Sosial Demokrat anti-revolusioner dan
aksinya ialah merebut bangku Parlemen saja. Sepadan dengan keyakinan ini, maka
Kaum Sosial Demokrat, dimana-mana sudah menjadi Kaum Penghianat. Pembunuhan
jiwa Buruh yang 10.000.000 dalam peperangan besar baru lalu, ialah terjadi
dengan bantuan Sosial Demokrat, yang selalu bantu Begrooting Kaum Hartawan
dimana-mana. Di sekalian jajahan, Sosial Demokrat membantu politiknya Kaum
Imperialist buat menindas bangsa Timur. Di Jerman, Ebert, Noske dan Scheidemann
sudah merasakan, bahwa Parlemen itu tak mudah dijadikan anggota Kaum Buruh.
Dimana dulu, Sosial Demokrat mendapat Meerderheid atau Suara Kelebihan dalam
Ryksdag (Parlemen), sekarang mereka jadi boneka saja, dan pemerintah sama
sekali jatuh di tangan Fasis. Oleh karena Sosial Demokrat pada tahun 1918-1923
tidak memerahkan Justisi, Kementerian, Laskar dan Polisi, maka anggota-anggota
ini dengan rahasia mengumpulkan kekuatannya di bawah selimutnya
Sosial-Demokrat. Oleh karena kaum reaksi Jerman sekarang di bawah Presiden
Jendral bisa sembelih semua Sosial Demokrat, yang dulu tuannya itu.
Taktik Merah, atau taktik revolusioner
tidak saja di Rusia sudah menjatuhkan kemodalan, dan bisa mempertahankan Soviet
sudah lebih dari 8 tahun, tetapi dimana-mana di dunia, Eropa Barat, Amerika,
Tiongkok, Jepang, India dan Indonesia sedang membingungkan yang berkuasa.
Taktik merah tidak bersarang di jimat atau kemenyan, melainkan berurat pada
keadaan hidupnya Rakyat yang tertindas. Kita tidak anti-parlemen seperti Kaum
Syndicalist, tetapi tidak pula parlemener seperti si Pengkhianat Sosial
Demokrat. Kita masuki Parlemen, buat membuka topengnya Kaum Hartawan dan Sosial
Demokrat, tetapi sama sekali tiada mengharapkan hasilnya yang konkrit atau
nyata dari aksi di Parlemen itu. Kita tahu, bahwa sebagian besar dari Buruh
masih mengikut Sosial Demokrat dan percaya pada Parlementarisme. Sebab itu kita
masuki Parlemen itu buat memecahkan dari dalam. Dalam pada itu kita lebih
pentingkan mengatur kekuatan Buruh, Tani dan sekalian Rakyat yang tertindas di
luar Parlemen. Semuanya aksi dan pertarungannya Buruh, Tani dan penduduk kota,
baik ekonomi ataupun politik mesti kita campuri. Bukan buat menipu mereka dan
memperdamaikan dengan Hartawan seperti laku Sosial Demokrat, melainkan buat
membantu mendorong, dan kalau bisa menghancurkan Hartawan dan budakbudaknya.
Menurut kekuatan kita dan Rakyat yang percaya pada kita, maka kalau bisa semua
aksi ekonomi kita besarkan jadi mogok umum, kalau perlu ditambah dengan boikot
dan demonstrasi. Dari mogok umum, boikot dan demonstrasi yang dilakukan di
seluruh negeri itulah bisa lahir pemberontakan buat merebut politik negeri dan
mendirikan Diktatornya Proletar.
5. Rusia
Seperti Pemberontakan Hartawan
kepada Bangsawan di buka oleh Hartawan Prancis pada tahun 1789, begitulah
Pemberontakan Buruh kepada Hartawan dimulai oleh Buruh Rusia kepada Hartawan
disana. Seperti Revolusi 1789 di Perancis didahului oleh revolusi kecil di
Inggris pada tahun 1650 (Cromwell), begitu pula diktatur proletar di Rusia
tidak sama sekali baru, karena sudah didahului oleh Komune Paris pada tahun
1870, pada percobaan 1870 Karl Marx, dan Lenin banyak mendapat pelajaran buat
menyempurnakan diktaturnya Proletar.
Pada Revolusi Prancis kita bisa
mempelajari, bahwa kemenangan Kaum Hartawan yang masih revolusioner itu turun
naik. Republik-Hartawan yang didirikan pada tahun 1789 cuma bisa berdiri 5 tahun
saja. Kemudian datang Napoleon yang akhirnya jadi Kaisar dan sesudahnya
Napoleon jatuh maka berturut turut Raja keturunan Lodewyk XVI, (yang dipancung
kepalanya oleh kaum pada revolusioner) bisa kembali memerintah. Barulah pada
tahun 1849, maka Republik Hartawan bisa kembali lagi, yang walaupun sementara
disambung oleh Napoleon III, sampai sekarang bisa terus berdiri. Jadi tidak
kurang dari 60 tahun Prancis berkelahi dengan kalah menang buat demokrasi dan
Parlemenarisme cara kemodalan. Dalam waktu Prancis berjuang dengan Bangsawan
itu, maka berturut-turut negeri menjatuhkan Raja dan Bangsawannya seperti
Belanda dan dimana-mana kekuasaan Bangsawan dan Raja di potong-potong seperti
Jerman, Italia, Spanyol, dll. Ringkasnya berpuluh tahun Hartawan di seluruh
dunia mesti berperang dengan kalah dan menang baru bisa menghancurkan Raja dan
Bangsawannya sama sekali.
Ini pengajaran yang dalam artinya
buat kita. Dunia Hartawan yang berpuluh-puluh kali lebih kukuh dari dunia
Bangsawan tentulah takkan bisa kita hancurkan dalam satu hari.
Kita tahu, bahwa reaksi di seluruh
dunia sekarang bertambah hebat. Karena kaum Sosial Demokrat pada tahun
1917-1923 berkhianat, maka Revolusi Rusia tak diikuti oleh negeri lain-lain.
Kaum Reaksi di belakang baju Sosial Demokrat, yang dikemukakan di Jerman buat
melindungi Kaum Hartawan bisa bernapas kembali dan mengumpulkan semua
senjatanya, yang pada tahun 1918-1923 hampir sama sekali hilang dari tangannya.
Sekarang di Jerman Kaum Reaksi sudah mengancam dengan pemerintah Fasis, yakni
diktaturnya Kaum Hartawan. Kaum Hartawan tidak akan memakai Parlemen lagi
melainkan tangan besi, seperti Mussolini di Italia. Hartawan akan lemparkan
demokrasi, dan atur ekonomi dengan memaksa kaum buruh kerja, dengan gaji
sedikit, dan waktu yang lama, dan menghancurkan semua pergerakan revolusioner,
dengan jalan kasar. Begitu juga di Prancis, dimana ekonomi kusut, Fasis sudah
siap. Di Inggris, dimana pada 2 atau 3 bulan lagi disangka akan datang frisis
sekarang Fasis sudah mengasah-asah pedang kiri kanan dan mengumpulkan uang dan
senjata. Di Amerika, dimana Kaum Komunis mulai maju, Klu Klux Klan, sudah jadi
Fasis, dan selalu sedia akan menghancurkan pergerakan merah. Tentulah Fasis
dapat sokongan dari Kaum Hartawan baik lahir ataupun batin.
Tetapi makin gelap jalan di muka,
makin terang buat kita suluh yang di belakang. Sejarah menyaksikan kita, bahwa
pertandingan kasta itu, bukanlah permainan, melainkan suatu kemestian pergaulan
hidup dan suatu kewajiban sebagai manusia. Kalau musuh kita mengasah-asah pedang,
maka jawab kita lain tidak hanyalah menegapkan barisan dan mempertajam senjata
lahir dan batin. Pekerjaan yang sudah dimulai oleh Rusia dengan korban
beribu-ribu jiwa, tiadalah boleh kita khianati dengan kelembekan atau dengan
meninggalkan dasar yang sudah kita peluk.
Walaupun di kiri kanan ada reaksi,
kita mesti terus menyusun tentara yang ada di negeri kita. Kalau kawan kita
pada waktu yang di muka ini, baik di Rusia ataupun Eropa Barat dan Amerika
dapat serangan, maka kita harus tidak mundur malah merebut kemenangan pada
barisan yang kita duduki, yakni: di muka Rakyat Indonesia.
II.
KEADAAN INDONESIA
1. Ekonomi
Adapun sifat kapitalisme di jajahan,
seperti Indonesia dan Asia lain, adalah berlainan sekali dengan kapitalisme di
Belanda dan Eropa lain. Disana lahir dan majunya kapitalisme itu terbawa oleh
keperluan negeri sendiri, sedangkan di sini lahir dan majunya kemodalan itu
terbawa oleh keperluan bangsa asing. Sebab itu di Eropa majunya kapitalisme itu
dengan jalan menurut alam atau Organisch, sedangkan di Indonesia kunstamatig
atau bikinan. Berpadan dengan hal itu, Kapitalisme di Eropa ada sehat dan
sempurna, sedangkan yang di Indonesia verkracht atau terperkosa, seolah-olah
sepokok kayu yang kena kelindungan.
Kapitalisme di Eropa membagi negeri
atas kota dan desa. Di kota terdapat perusahaan atau industri dari kain, besi,
batu, kertas dll. Sedangkan di desa terdapat gandum, sayur, sapi, domba dan
hasil buat lain-lain makanan. Jadi dipukul rata kota memperusahakan barang
pabrik dan desa mengadakan hasil tanah dan ternak. Bagian pekerjaan di kota
dengan desa itu bertambah terang sekali pada negeri yang sangat maju
permodalannya
Tentulah hasil pabrik di kota itu,
gunanya, terutama buat penduduk kota sendiri. Sisanya itu ditukarkan dengan
makanan yang dihasilkan oleh desa. Begitulah kain, pisau, perkakas rumah, baja,
dll yang dibikin di kota ditukar dengan gandum, sayur, daging, dll yang
dihasilkan di desa, yakni dengan sisa yang dimakan oleh penduduk desa. Pada
negeri kemodalan yang belum terang imperialistis, dan sehat ekonominya seperti
Amerika sebelum perang 1914-1918, maka jumlah harga sisa barang kota itu hampir
sama dengan harga sisa hasil tanah di desa. Begitulah asal majunya kemodalan
dan perusahaan, yakni dari pertukaran barang pabrik di kota-kota dan hasil
tanah di desa-desa. Makin maju perusahaan di kota, makin banyak penduduk desa
lari ke kota mencari pekerjaan, kepandaian atau kepalsiran, karena di kota
terkumpul, pabrik, sekolah, bioskop, rumah komedi, dll.
Di Indonesia juga akan bisa begitu,
kalau Belanda tak datang dan membunuh perusahaan kecil-kecil, buat membikin
kapal, kain, barang-barang besi, seperti sudah ada di Tuban, Gresik, dll.
Perusahaan kecil-kecil itu juga akan jadi besar, memakai uap dan listrik
seperti di Eropa dan Amerika. Kota-kota Indonesia juga akan menarik penduduk
desa dengan lekas dan bertambah hari bertambah maju penduduk, pabrik dan kaum
buruhnya. Juga di kota Indonesia akan diadakan kain, bajak buat desa, dan
desa-desa terutama hasilnya buat penduduk kota-kota Indonesia sendiri.
Tetapi sebab Belanda dengan hukum
melarang membuat kapal dan membunuh perusahaan anak negeri dengan memasukkan
barang pabrik yang murah harganya, maka kota dan desa kita jadi lain sifatnya
dari kota di Eropa. Kota kita tidak ada yang menghasilkan, kain, bajak dan
perkakas lain buat desa-desa, karena semua barang, ini dimonopoli atau diborong
oleh Belanda. Desa kita tidak buat mengadakan hasil untuk penduduk kota,
melainkan terutama buat tebu, teh, kopi, getah d. s. g. bukan buat keperluan negeri
dan Bumiputera, melainkan buat untung si Pengisap yang tidur di Belanda. Sebab
itu desa dan kota kita satu dengan lainnya tidak bergandengan dan tali bertali
seperti pada suatu negeri yang sehat ekonominya, melainkan keduanya buat
pengisi perut besar si Lintah Darat yang tidur di Belanda itu saja. Berhubung
dengan hal ini, maka majunya kapitalisme di negeri kita jadi kunstmatig atau
tak sehat.
Sebab perusahaan di negeri kita
tidak buat keperluan anak bumi putera sendiri, maka barang yang perlu buat hidup
kita, harus dibeli dari negeri lain dengan harga sesukanya orang lain itu saja.
Dan oleh karena tanah di Jawa terdesak oleh kebun-kebun besar, maka beras,
yakni nyawa kita, mesti datang dari negeri lain.
Demikianlah pada tahun 1922 Rakyat
membeli barang kain yang masuk ada kira-kira F. 182.531.000. Di jajahan lain
seperti India, Tiongkok dan Filipina barang pakaian sudah bisa dibikin dinegeri
sendiri. Jadi disana uang Rakyat bayaran kain itu tinggal di negeri sendiri,
sedangkan di Indonesia terbang kesakunya Lintah Darat Belanda. Harga beras
masuk, walaupun beras Jawa nomor 1 kualitasnya di dunia dan bangsa Jawa memang
pintar bertani pada tahun 1922 juga ada F. 74.947.000. Karena di Jawa hampir
tak ada kapital dan saudagar anak negeri, seperti di jajahan maka untung
perniagaan beras ini tidak satu peser jatuh di tangan anak negeri. Demikianlah
untung perniagaan berhubung dengan import (barang masuk) yang pada tahun 1922
banyaknya ada F 696.300.000 itu hampir semuanya mengalir ke saku Lintah Darat
Bangsa Asing.
Sudahlah terang, bahwa total export
(harga barang keluar) yang pada tahun 1922 ada F.1.142.400.000 sama sekali
dimakan oleh Lintah Darat Belanda yang memonopoli sekalian perusahaan
besar-besar di Indonesia ini. Sedangkan di jajahan lain untung dari import dan
export itu ada sebagian jatuh di tangan anak negeri, maka di Indonesia yang
sangat subur dan kaya ini, semuanya keuntungan perniagaan dan hasilnya
perusahaan dan tanah sama sekali terbang ke perutnya Lintah Darat yang tidur,
palsir atau mondar-mandir di Belanda. Sisanya yang terlempar kepada bumiputera,
gunanya sekedar buat hidup sebentar, seperti kuda atau kerbau, yang dipakai
penarik kereta, juga mesti diberi makan.
Sebab kapitalisme Indonesia gunanya
buat memenuhi keperluan bangsa asing, yang jauh tinggalnya itu, maka keadaan
dan majunya kapitalisme Indonesia juga semata-mata menurut keperluan bangsa
asing yang tinggal di negeri asing itu. Kromo mesti menyewakan tanah buat gula,
getah dan teh dan jadi kuli Belanda mau dapat untung. Rakyat Indonesia tak bisa
dapat pabrik kain, pabrik mesin dan kapal, sebab Belanda takut Twente dan
perusahaan kain sana akan jatuh, dan juga saudagar-saudagar Belanda, pabrik
kapal dan perusahaan-perusahaan kapal yang mengangkut barang import dan export
dari Indonesia ke Belanda akan turut jatuh. Sebab itu Indonesia mesti tinggal
jadi landbow-land atau negeri-pertanian tidak negeri perusahaan atau
industri-land. Penduduknya mesti tinggal mundur (pasif) dan mudah ditindas.
Tiadalah seperti pada negeri industri, yang mempunyai buruh yang lebih maju dan
lebih aktif dan tak gampang ditindas. Selama Indonesia tinggal jadi jajahan,
maka ia tak akan bisa memajukan ekonomi dan perusahaannya sebagaimana yang baik
buat dirinya senriri, karena ia terpaut oleh Lintah Darat Belanda, yang tak
memperdulikan nasib Rakyat Indonesia.
2. Sosial
Di negeri-negeri yang sangat maju
kemodalannya, seperti Jerman dan Amerika maka Kaum Buruh itu jumlahnya ada
kurang lebih 3/4 bagian dari seluruh penduduk negeri. Artinya itu ada 3/4 atau
75% dari penduduk yang tak berpunya apa-apa lain dari tenaganya dan tergantung
hidupnya semata-mata dari modal besar.
Sepanjang ada bahwa perhitungan
tahun 1905, maka di Jawa saja ada kira-kira 40% dari bumiputera yang proletar
atau tak berpunya apa-apa. Kalau kita taksir sekarang, berhubung dengan
bertambah majunya industri, angka itu sudah jadi 50%, maka dari penduduk tanah
Jawa yang 36 juta itu ada 18 juta yang hidupnya tergantung dari perusahaan
besar dan kecil. Tetapi di Sumatra, Borneo, Celebes, Daerah Ternate dan
sebagainya yang jumlah jiwa kira-kira 18 juta itu masih sedikit kaum proletar.
Hampir semua penduduk mempunyai tanah, modal kecil, perusahaan kecil atau
perahu penangkap ikan. Kita pikir kita akan tak berapa salah menaksir (karena
statistik yang sah belum ada ), bahwa kaum proletar di seluruh Indonesia pada
masa ini ada kira-kira 18 juta, yakni kira-kira 34% dari penduduk yang 54 juta
itu.
Tetapi di antara yang tak berpunya,
Buruh Industri masih sangat sedikit. Di Jerman umpamanya, yang jumlah isi negeri
hampir sama dengan Indonesia, yakni 60 juta ada kira-kira 2 juta buruh-pelikan
(buruh pertambangan), sedangkan di Indonesia tak lebih dari 100.000, yakni
seperdua puluhnya. Buruh kereta juga kira-kira 2 juta, sedangkan di Indonesia
tak lebih dari 80,000, jadi kurang dari seperduapuluhnya di Jerman.
Berjuta-juta buruh industri model baru, seperti pada pabrik membuat kereta,
mesin, kapal, kain dll. yang ada di Jerman, sama sekali tak ada di
Indonesia. Jadi perkara banyaknya buruh industri, maka Indonesia, jauh kalahnya
oleh Jerman, Inggris dan Amerika, juga kalah oleh Jepang dan India, dimana juga
sudah terdapat buruh industri model baru.
Di Eropa, Amerika dan Jepang yang
memiliki Pabrik, Tambang, Kereta, Kapal, Bank dll itu ialah bumiputera juga, Di
Jajahan seperti India, Filipina dan Mesir sudah banyak bumiputera sendiri yang
mernpunyai industri model baru, pertanian dan perniagaan model baru. Tetapi di
Indonesia modal besar bumiputera bolehlah dikatakan tak ada. Betul di Jawa,
lebih-lebih Sumatera di antara bumiputera ada yang mempunyai modal F.100.000
kebawah, tetapi ini masih kecil, dan urusan perniagaan atau perusahaan yang
mempunya F.50.000.000, yang memiliki tambang, pabrik dan Bank seperti di
Tiongkok, India atau Jepang, jadi kasta Hartawan bumiputera, memang di
Indonesia tak ada. Sebabnya ialah karena dulunya Belanda dengan sengaja
membunuh timbulnya modal anak negeri. Di Indonesia kasta-kasta itu terutama
kasta-tani, kasta-buruh dan kasta tengah (ambtenar, saudagar, tani besar, kaum
terpelajar d.s.g.) Di antara kasta-kasta ini, kasta inilah yang terbanyak dan
kasta buruhlah yang terkuat dan makin hari makin kuat, karena kaum buruhlah
yang geconcentreerd atau terkumpul dan ialah yang menjalankan industri, yakni
nyawanya ekonomi, dan kasta buruhlah yang akan termaju pikiran dan wataknya
dalam pergerakan ekonomi dan politik.
Dengan angka-angka saja belum bisa
kita dengan sempurna memperbandingkan majunya buruh Indonesia dengan Eropa.
Majunya itu terutama pula tergantung pada kualitas atau tingginya industri yang
ada. Kita sudah terangkan di atas, bahwa Indonesia bukanlah industri-land
melainkan terutama landbow-land, walaupun landbow atau pertanian di Indonesia
dijalankan dengan perkakas yang model baru sekali.
Berhubung dengan itu, maka buruh
Indonesia terutama bukanlah buruh industri malah buruh tani (gula, teh, getah
dan sebagaianya). Yang buruh industri betul (minyak tanah, kereta, kapal) masih
sedikit sekali. Perbedaan buruh pertanian Indonesia dengan buruh perusahaan di
Eropa itu membawa perbedaan lahir batin pula. Proletar Indonesia masih muda,
dan masih ada pertaliannya dengan familinya di desa-desa, dan acap kali masih
mempunyai tanah di desa-desa. sedangkan proletar-industri Eropa sudah sampai ke
nenek moyangnya terikat oleh pabriknya. Proletar kita masih mundur dalam
pekerjaan teknik, masih percaya sama tahayul dan masih pasif. Proletar industri
Barat sigap dan disiplin dalam pekerjaan, tak terikat oleh tahayul lagi, serta
bersikap aktif dalam pikiran dan pekerjaan.
Begitulah pula kaum-tengah Eropa
bersifat lain dari kaum tengah Indonesia. Di Indonesia sendiripun, berbeda pula
satu kasta dengan kasta yang lain dan berbeda pula satu kasta pada satu pulau
dengan kasta itu juga pada pulau lain di Indonesia. Seorang tani di Jawa
umpamanya, yang selalu campur dengan pabrik gula, yang acap naik kereta
tentulah berlainan sekali pikiran dan wataknya dengan seorang tani pemotong
sagu di daerah Ternate, yang belum pernah seumur hidupnya melihat asap pabrik
atau mendengar peluit kereta express. Ringkasnya perbedaan kemajuan industri
pada satu negeri dengan negeri lain membawa perbedaan kualitas, yakni pikiran
dan wataknya kasta-kasta di negeri negeri itu, seperti Buruh Eropa dengan Buruh
Indonesia, Tani Jawa dengan Tani di daerah Ternate.
3. Krisis-Ekonomi
Walaupun Indonesia sangat kaya, dan
pertanian serta perusahaan dijalankan dengan cara model baru sekali, tetapi
bumiputera selalu dalam kemiskinan dan urusan uang (staatsfinancien) sudah lama
selalu dalam krisis. Walaupun pada waktu perang yang baru lalu, modal-besar
mendapat untung berlipat ganda dari waktu normal atau biasa, tetapi sebab harga
barang naik dan gaji tinggal sedikit, maka kemelaratan Rakyat malah bertambah
dari yang sudah-sudah. Pada penghabisan perang, urusan uang kalang kabut,
sehingga hampir mendatangkan bangkrutnya negeri.
Sebab yang dalam, yang mendatangkan
kesengsaraan dan krisis itu, walaupun kapital-besar mendapat untung berlipat
ganda, terutama sekali, karena untung itu baik langsung atau tak-langsung
semuanya mengalir ke Eropa. Langsung karena tiap-tiap tahun berjuta-juta uang
dikirim ke Eropa, buat membauar bunga modal (dividenten) yang masuk di
industri, kereta, pelikan dan kapal tak langsung, yakni dengan jalan perniagaan
(export dan import), yang sama sekali dimiliki oleh bangsa asing juga.
Walaupun Pemerintah Indonesia
sekarang (ambtenar, serdadu, Justisi, armada, polisi d.s.g.) gunanya
bermata-mata buat membantu dan membesarkan modal asing serta sebaliknya
penindas dart, pengisap bumiputera buat modal besar itu, tetapi uang buat
pengisi perutnya Pemerintah itu, yakni pajak, tiadalah dibayar oleh Kaum-Modal
Belanda sendiri, melainkan oleh bumiputera juga. Jadi Rakyat Indonesia tidak
saja membiarkan harta, tenaga dan kemerdekaannya dirampok oleh Kaum Modal
Belanda, tetapi mesti membayar gaji hambanya kaum modal itu, yaitu
Gubernur-jendral, Resident, Regent, Wedono, Commissaris van Politie, Jendral,
Major dan beribu-ribu hamba yang lain-lain.
Sebab Modal-Belanda tak mau membayar
gaji hambanya itu dari kantongnya sendiri, dan buat penambah Modal-Besar di
Indonesia, maka Pemerintah Belanda terpaksa meminjam uang ke lain negeri.
Sampai tahun 1923, maka banyaknya uang pinjaman itu sampai F. 1476.662.000.
Dengan bunga 5%, maka saban-saban tahun mesti dibayar bunga kepada negeri lain
F.6.471.641. Bunga itu tentulah tiada dibayar dari gaji Guberner-Jendral atau
untungnya Colijn, melainkan dengan pendapatan Rakyat juga. (Semua angka-angka
ini kita petik dari Handbook of the Netherlands East-Indie, yang dikeluarkan
oleh pemerintah sendiri)
Uang masuk atau inkomsten, yakni
terutama buat gaji hambanya pemerintah pada tahun 1921 ada F.769.700.000 tetapi
uang keluar atau uitgaven, yakni yang dimakan oleh hamba-hamba tadi ada
F.1.055.200.000. Jadi dapat kekurangan F.285.500.000. Kekurangan itu tinggal
terus menerus, tiap-tiap tahun.
Buat pengobat krisis ini, maka
Kaum-Modal Belanda memilih hambanya Guberner-Jendral Fock.
Sebab Fock ini dulunya ia mengaku
liberal, maka buat penutup malunya sebagai liberal ia mula-mula pura-pura mau
menolong Rakyat Indonesia. Ia berjanji mau memaksa Modal-Gula memperbaiki nasib
buruh dan tani gula dengan ongkos Modal Gula sendiri. Lagi pula ia mau memaksa
Modal Besar menolong Rakyat membayar pajak yang besar itu, supaya kekurangan
pajak tadi bisa tertutup dan rakyat dapat kelonggaran
Tetapi sesudah Modal Gula menyepak
kembali, maka tuan Fock diam saja. Dan apabila Colijn, yakni Raja Minyak
menjawab "Tutup mulutmu, kalau tidak kamu saja boikot, dan pabrik minyak
kami tutup", maka tuan Fock yang liberal tadi lebih suka memihak kepada
gajinya yang beribu-ribu itu, dari pada memihak kepada Rakyat atau kepada paham
liberalismenya. Malah ia lebih menjilat ke atas dan lebih menendang ke bawah.
Keatas: Gaji ambtenaren yang
besar-besar di naikkan, laskar, armada dan polisi dibesarkan.
Kebawah: Pajak dinaikkan, buruh
dilepas dan diturunkan gajinya, uang-keluar buat pendidikan, dan kesehatan
Rakyat diturunkan.
Walaupun Fock sedikit menaikan cukai
dari barang masuk dan ke luar tetapi saudagar Belanda yang mempunyai
barang-barang itu dengan mudah bisa menaikkan harga barang-barangnya, yang
mesti dibayar oleh Rakyat yang membelinya juga (minyak, kain, korek-api d.s.g.)
Rumah-Gadai, yang dipunyai oleh
pemerintah sendiri menaikan untungnya pula dengan jalan menaikan isapan
(Renten) pada Rakyat yang miskin juga. Sekarang ini menurut keterangan
buku-buku, Rakyat Indonesialah yang tertinggi sekali membayar pajak di dunia
ini.
Di negeri-negeri lain di Timur
seperti India, Filipina dan Tiongkok, bumiputera sendiri ada mempunyai
perusahaan, pertanian dan perniagaan besar, sehingga untungnya juga tinggal
dalam negeri sendiri, dan sebagian dari untung itu dipakai buat membayar pajak
negeri. Tetapi di Indonesia pikulan uang sama sekali tertimpa pada
Rakyat-Melarat, yang makin tahun bertambah miskin, karena semuanya untung
mengalir ke sakunya Lintah Darat yang tidur di Den Haag atau Zorgvliet.
Makin besar Pemerintah-Indonesia
meminjam uang kepada bangsa lain seperti Amerika dan Inggris, makin berkuasa
Modal Asing di Indonesia, makin habis tanah ditelan oleh Modal-Asing itu, makin
besar uang yang mengalir ke negeri sebagai bunga dan dividen uang pinjaman itu,
dan berhubung dengan itu makin dalam kemelaratan Rakyat dan makin hebat pula
krisis ekonomi yang akan datang.
Selama semua untung dari modal-besar,
baik langsung atau tak langsung sama sekali mengalir ke luar negeri, selamanya
itu Krisis ekonomi Indonesia tak bisa diobat. Betul sekarang, Fock hampir bisa
mengadakan balans-begrooting atau sama-berat uang masuk dan uang-keluar, tetapi
balance itu semata-mata memperberat pikulan Rakyat, dan wujudnya langsung akan
memperjauhkan yang memerintah dari yang terperintah dan memperdalam
krisis-politik.
4. Krisis Politik
Di Filipina, India dan Mesir, oleh
karena adanya Tani-Besar, Kapitalis besar dan Saudagar Besar dari bumiputera
sendiri, maka dalam waktu krisis politik, kaum imperialist bisa memadamkan atau
mengurangkan krisis politik itu, dengan jalan konsesi, yakni memberikan
sebagian dari kekuasaan itu kepada bumiputera. Disana kaum modal asing mempunyai
banyak sama keperluan ekonomi dengan modal bumiputera. Kalau pada suatu
jajahan, dimana Imperialisme itu masih autokratik (yakni memungut semua
kekuasaan) Rakyat bergerak menuntut kemerdekaan, seperti di India pada tahun
1918-1923, maka kaum imperialis memukul pergerakan itu dengan konsesi politik.
Imperialisme Inggris memberi 1/2 atau 3/4 Parlemen, dimana Kaum-Modal
bumiputera boleh mengirimkan wakilnya. Oleh karena kaum-tengah dan intelektual
pada negeri yang ada mempunyai nasional-capital hampir semuanya memihak pada
nasional kapitalis itu, maka mereka itulah yang terpilih menjadi anggota dari
1/2 atau 3/4 Parlemen tadi. Oleh karena keperluan Modal-Asing dan Modal
Bumiputera banyak bersamaan, maka buat modal asing itu tak besar bahayanya,
kalau sebagian dari politik negeri terserah pada wakilnya modal kulit hitam.
Oleh karena kaum buruh dalam pertandingan buat keperluannya tak bisa membedakan
Modal hitam dan Modal putih, maka Kaum Tengah dan intelektual, yang
mempertahankan modal hitam itu terbawa-bawa mempertahankan modal putih seperti
C. R. Das pemimpin Partai-Swaray di India. Dengan konsesi politik itulah di
India Inggris menarik Kaum intelektual, yakni pemimpin pergerakan Rakyat ke
dalam Parlemen dan dengan jalan kompromi itulah ia sering-sering mengundurkan
revolusi.
Menurut pemandangan kita, atas dasar
Marxisme, maka di Indonesia, sebab tidak ada nasional-kapital, Modal Belanda
tak bisa memberi konsesi-politik yang berarti. Ia harus sendirinya memerintah
atau dengan bumiputera yang memang terang budaknya.
Kaum cap Budi-Utomo (B.O.),
Serikat-Islam (S.I.) dan Nasionale Indische Partij (N.I.P) yang dulu terpikat
oleh suara merdunya Van Limburg Stirum, sekarang kita harap sudah yakin, bahwa
mereka yang mau tinggal jadi Wakil Rakyat Indonesia tak bisa kerja bersama-sama
dengan Wakil Modal Belanda di Volksraad, dan Volksraad tak bisa jadi 1/2
Parlemen, seperti di India atau 3/4 Parlemen seperti di Mesir dan Filipina.
Volksraad mesti tinggal semata-mata buat Kapital-Asing, dan anti seluruh
Rakyat. Tetapi oleh karena Nasionalis atau Islamis dinegeri kita tak sepeser
mengerti Marxisme, yakni kea daan dan kedudukan kasta-kasta di Indonesia dan
berhubung dengan itu politiknya kasta, maka mereka tentu masih bingung, tak
mengerti apa-apa, apa sebab Dr. Tjipto, Tjokro dan Muis disepakkan, sesudah
dipakai oleh Limburg Stirum pada waktu Krisis-politik tahun 1918. Kita kaum
Komunis yang memboikot Volksraad pun belum pernah mengadakan pemandangan
kekastaan yang jelas dan terang, kenapa Volksraad Indonesia tak bisa menjadi
Parlemen, selama Keadaan Sosial d inegeri kita masih tetap seperti sekarang.
Pemandangan kita di negeri jajahan
lain, seperti India di atas sudah sebagian memberi keterangan. Di Indonesia tak
ada Kasta-Landlords (Tuan Tanah) atau Bangsawan yang berarti banyaknya dan
kekayaannya. Kasta saudagar-besar dan Modal-Besar sama sekali tak ada. Sebab
itu kaum intelektual, yang di negeri kita baru mulai timbul belum mempunyai
kasta bumiputera tempat mereka berlindung. Sebab itu kaum intelektual kita
masih pasif. Karena didikannya di sekolah imperialis, mereka tak mengerti,
bahwa kasta mereka mesti mencampurkan diri ke kasta Buruh dan tani, karena
kasta-kasta inilah di Indonesia yang bisa merebut kemerdekaan.
Oleh karena Kasta Modal Bumiputera
di indonesia tak ada atau masih sangat kuno dan lemah serta
kasta-intelektualnya pasif, maka kalau Modal Belanda mau memberi 1/2 atau 3/4
Parlemen, haruslah ia memberi hak-politik dan Suara Memilih Wakil kepada Buruh
dan Tani. Kepada kasta-kasta kedua inilah ia harus memberi konsesi dan dengan
Rakyat melaratlah ia harus membagi kekuasaan politik.
Ini namanya contradictio determinis,
artinya itu membantah diri sendiri. Masakan yang menindas bisa memberi 1/2 atau
3/4 senjata kepada yang tertindas, seperti si Penyamun akan memberikan
pistolnya kepada yang disamunnya. Dengan segera yang disamun akan membunuh yang
menjamun.
Semua Hukum dan Kekuasaan yang ada
di Indonesia sekarang, ialah buat membantu dan membesarkan Modal Asing dan
sebaliknya buat menginjak Rakyat Indonesia. Kalau Rakyat yang sama sekali
terinjak itu diberi hak politik, yakni senjata buat mengubah, atau menghapuskan
Hukum-Negeri tentulah tak satu Hukum akan tinggal buat mempertahankan Modal
Asing itu. Kalau di Indonesia ada kasta Modal Bumiputera yang kuat, Kasta-Terpelajar
yang kuat pula, tentulah kasta-terpelajar ini bisa ditipu oleh Modal Asing
dengan 1/2 atau 3/4 sampai 7/8 Parlemen. Dengan politik menipu kaum-terpelajar
(kaum mana terutama di jajahan sangat dipercayai oleh Rakyat), kaum
imperialist. Belanda akan bisa menipu Rakyat yang mengikut kaum-intelektual itu
dan meundurkan revolusi. Tetapi di Indonesia sebagian besar dari Rakyat ialah
Tani, Buruh dan Saudagar kecil-kecil yang sama sekali tak bersamaan
keperluannya dengan Modal Asing, malah sama sekali bertentangan. Sebab itulah
Belanda takkan bisa memberi konsesi-politik yang berarti kepada Rakyat kita.
Pertanyaan di negeri kita tidaklah
revolusioner atau evolusioner, melainkan bagaimana kita harus mengadakan
program-merah, taktik-merah, organisasi-merah, agitasi-merah dan aksi-merah,
supaya Rakyat kita dengan lekas dan dengan sedikit kerugian jiwa bisa lekas
lepas dari tindasan dan isapan Modal Belanda.
Sikap Merah kita ini menjadikan
cemas dan ketakutannya Kaum Modal Belanda, dan kecemasan serta ketakutannya itu
membesarkan, laskar, armada, polisi dan resisir pula. Hal yang terakhir ini
seterusnya menaikan pajak pula dan kenaikan pajak mendalamkan dendam kesumat
Rakyat Indonesia pada pemerintah asing ini pula. Demikianlah satu bersangkutan
dengan yang lain dan hasilnya memperdalamkan krisis ekonomi dan politik juga.
Ringkasnya sikap merah kita tidak saja berguna, buat mendidik Rakyat Indonesia
dalam politik, tetapi juga memperdalam pertentangan antara si Penghisap dan
yang Terisap, sebab itulah mencepatkan datangnya kemerdekaan.
III.
PROGRAM.
Diatas kita sudah mencoba
menerangkan, bahwa krisis atau pertentangan ekonomi & politik di Indonesia
sangat tajam. Pertentangan itu, lebih-lebih, kalau kelak dicampuri oleh hal-hal
lain, seperti bahaya kelaparan atau penyakit, pada tiap-tiap waktu bisa
melahirkan revolusi.
Keyakinan ini tiadalah kita peroleh
dari satu dalil atau nujum. Juga tidak, dari ilmu kebangsaan cap N.I.P yakni
karena yang memerintah berkulit putih dan yang terperintah berkulit hitam, yang
memerintah berwatak Barat dan yang terperintah berwatak Timur. Warna, watak
atau Agama itu tak perlu mendatangkan revolusi. Kalau umpamanya di Indonesia
ada kastahartawan bumiputera yang kuat, walaupun kasta ini beragama berkulit
putih dan berwatak Timur, tetapi dengan konsesi 1/2 sampai 7/8 Parlemen,
revolusi itu tiap-tiap kali bisa dihindarkan. Betul warna, agama dan watak itu
bisa menambah tajamnya pertentangan yang sudah ada, tetapi tiada bisa menjadi
hoofd-factor atau hal yang terpenting dalam sesuatu pemberontakan. Yang bisa
mendatangkan revolusi di Indonesia kita ini sewaktu-waktu ialah karena pada
krisis ekonomi dan politik, yang dipertajam oleh perbedaan watak, warna dan
agama, tak ada kasta-hartawan bumiputera, yang bisa memperdamaikan yang
memerintah dengan yang terperintah.
Sebab kita tahu, bahwa kemodalan
Belanda besok atau lusa mesti jatuh, maka haruslah kita dari sekarang
mengadakan peraturan ekonomi & politik, ialah program yang cocok dengan
kastanya partai kita, yakni partai Rakyat melarat, yang tergambar pada P.K.I
dan S.R.
Betul sesuatu program revolusioner,
yakni kehendak sesuatu golongan atau kasta, tak berarti, kalau tak ada
pergerakan revolusioner dari kasta itu sendiri. Tapi betul pula, bahwa sesuatu
pergerakan revolusioner yang tidak mempunyai basis teori, atau lantai yang
berdiri atas teori akan mati sendirinya saja. Lihatlah Budi Utomo, S.I dan
N.I.P. Ketiganya, dulu, mula-mulanya revolusioner. Tetapi tidak satu yang bisa
menggambarkan maksudnya dengan terang. Betul juga sebab jatuhnya ketiga partai
itu karena tak mempunyai disiplin, tetapi sebab yang terutama sekali ialah
mereka tak bisa membuat program yang kukuh
Juga partai kita, walaupun di sana
sini lebih terang melahirkan kehendaknya dari partai yang lain 2 di Indonesia,
belum pernah memformulasi atau menetapkan program dengan secukupnya. Apabila
kita mau tinggal memegang pimpinan revolusioner atas Rakyat melarat di
Indonesia, maka haruslah sekarang kita memaklumatkan kehendak kita, dalam
perkara ekonomi, politik, sosial d.s.g.
Adapun program itu tiadalah bisa
kita gali dari dalil yang keluar lebih dari 1300 tahun dahulu, seperti pahamnya
Haji Agust Salim, karena peraturan negeri pada zaman yang belum mempunyai
pabrik, Bank dan kereta api itu berbeda sekali dengan keadaan negeri kita
sekarang. Tiadalah pula bisa program itu kita timbulkan dari sentimen atau
perasaan kebangsaan saja Kaum N.I.P. Akhirnya tiada pula bisa disalin dari
programnya sesuatu partai komunis di Eropa atau Amerika dimana keadaan ekonomi,
politik dan sosial berbeda sekali dengan keadaan di Indonesia. Melainkan kita
harus memakai geest atau semangatnya Marxisme, buat mendirikan program yang
cocok dengan keadaan di negeri kita. Jadi cuma metode atau cara mendirikan
program itu saja bisa Marxis atau Komunis tetapi material atau perkakas
mendirikan itu ialah Indonesia.
Berpadanan dengan itu, maka watak
program kita haruslah:
a) Cocok dengan
kekuatan kita. Tuntutan kita tak boleh terlampau jauh, supaya kita jangan lekas
dilabrak oleh musuh, baik diluar atau didalam negeri, Sebaliknya pula kita tak
boleh mengadakan peraturan ekonomi & politik yang mundur, dimana Rakyat
akan tinggal terhisap dan tertindas. Berapa jauhnya tuntutan kita itu, sebagai
partai internasional, kita juga mesti memikirkan keadaan internasional. Artinya
itu, revolusi dunia, boleh jadi tiada lama lagi akan pecah. Tetapi boleh jadi
juga lebih lama dari kita kehendaki sendiri, Kalau revolusi-dunia besok pecah,
tentu kita besok pula bisa dapat pertolongan lahir dan batin (perkakas mesin,
kepandaian buat industri d.s.g) dari buruh Eropa dan Amerika. Kita dalam hal
ini tak akan celaka, kalau segera mendirikan Diktatur-Proletar yang sempurna,
yang sepadan dengan keadaan Kapitalisme Indonesia. Tetapi kalau revolusi dunia
lama lagi akan pecah, dan kita besok mendirikan Soviet-Republik, maka kita yang
terletak di antara imperialisme Inggris, Amerika dan Prancis ini dan terpisah
sekali dari kaum Buruh revolusioner di Rusia, Eropa dan Amerika, dengan lebih
lekas dan lebih kuat dari pada Rusia akan dikepung dan dilabrak oleh
imperialisme itu. Sedangkan Republik biasa saja (demokratis) sudah akan bisa
menggojangkan seluruh Asia, apalagi kalau nama Republik itu dimerahkan pula.
Tidak bisa dibantah lagi bahwa, walaupun Indonesia terutama landbouw-land,
tetapi hidup kita sudah sama dengan industrieel land seperti Eropa. Ekonomi
sudah hampir sama sekali bersifat internasional, karena hasil industri dan
landbouw kita seperti gula, minyak-tanah, karet, kopi, kina, dll sama sekali
tergantung dari perniagaan di luar negeri kita dan pasar-pasar di luar
Indonesia. Sebaliknya pula semua keperluan hidup Rakyat Indonesia seperti kain,
perkakas dan beras sama sekali datang dari negeri lain. Kalau Inggris atau
Amerika besok tak mau mangaku kemerdekaan kita, artinya itu tak mau berniaga
dengan kita, maka sehari kita tak bisa mengurus ekonomi. Berhubung dengan itu
sebentar kita akan jatuh. Jadi jauhnya program kita haruslah sepadan dengan
kekuatan kita yang ada dan cakap menentang musuh lari atau tersembunyi, baik
didalam ataupun diluar negeri. Program itu haruslah satu lantai yang kukuh buat
berjalan sendiri (kalau revolusi dunia belum datang) atau buat berjalan
bersama-sama dengan dunia (kalau revolusi dunia sama datang dengan kemerdekaan
Indonesia).
b) Bisa menaikkan
derajatnya Rakyat Indonesia. Kaum-Buruh Indonesia haruslah memiliki perkakas
hasil yang besar-besar, seperti pabrik, ondernemingen (bahasa Belanda untuk
ventures atau perusahaan - catatan editor), tambang, Kereta, Kapal dan Banken.
Mereka haruslah betul-betul berkuasa dalam hal menentukan, membuat dan
membagikan (produksi & distribusi) hasil negeri. Mereka haruslah berkuasa
betul dalam hal politik negeri. Perhubungan antara tuan dan budak, seperti yang
masih ada di Eropa (kecuali Rusia) Amerika dan Jepang, yakni negeri-negeri yang
kapitalistis pelan, haruslah dihapuskan. Untung yang berjuta‑juta yang sekarang
tiap-tiap tahun mengalir kesaku Lintah Darat Belanda, di Den Haag, haruslah
tinggal di Indonesia sendiri. Uang, ini boleh dipakai buat Didikan dan
Kesehatan Rakyat, buat membantu Kaum Tani dan saudagar kecil dan Tukang-Tukang
dengan jalan Koperasi dan terutama buat mendirikan industri model baru di
Indonesia, seperti industri pembuat kapal, kereta, mesin-mesin dan perkakas
lain-lain, pabrik kain, kertas dan membangun electrische-centrale (bahasa
Belanda untuk pembangkit tenaga listrik - catatan editor) dari sungai-sungai
dan danau-danau di Indonesia. Dengan perbutan demikian, maka niscayalah lama
lambat seluruh Rakyat Indonesia, Buruh , Tani, Tukang dan Student akan maju
derajatnya dalam hal ekonomi, politik, sosial dan kebudayaan atau peradaban.
c) Bisa
menarik Indonesia ke zaman industrialisme model baru. Bahwa perusahaan
besar-besar, kepunyaan modal asing perlu dan bisa dimiliki kaum-Buruh, itu
sudahlah terang. Perlu, karena dengan jalan begitu, hasil boleh diatur dengan
rasional, yakni menurut keperluan Rakyat, bukan lagi buat di Lintah Darat di
Eropa. Bisa, karena perusahaan besar-besar itu semuanya kepunyaan Modal-Asing,
yang memperoleh harta itu dari Rakyat Indonesia juga dan tiadalah ada
Kaum-Hartawan bumiputera yang cukup kuat buat melawan politik nasionalisasi
Kaum-Buruh. Dengan pertolongan uang pada tukang, saudagar-kecil dan tani di
Indonesia, dan dengan memberi pertolongan kepada mereka mendirikan Koperasi
Negara, Pemerintah Baru di Indonesia bisa membesarkan dan mengumpulkan
perusahaan kecil-kecil yang terpancir-pancir dan bisa membawa semua perusahaan
kecil-kecil itu ke bawah pimpinannya. Semua perusahaan kecil, lama lambat akan
hilang, sebab terbawa di bawah pengaruh Pemerintah-Baru (Republik-Indonesia),
atau kalah bersaing dengan perusahaan Republik yang besar-besar. Kalau daya
upaja yang tersebut diatas ditambah lagi dengan daya upaja mendirikan
perusahaan yang model baru, maka dengan segera Indonesia, yang begitu mundur
sekarang industrinya, sesudah beberapa lama akan menjadi negeri industri model
baru di dunia penduduknya akan bertambah maju dalam segala hal dan politiknya
juga akan memeluk seluruh alam atau menjadi internasional.
d) Bisa Mengadakan
kerukunan seluruh Rakyat melarat. Kerukunan itu perlu tidak saja buat merebut
kemerdekaan dari imperialisme Belanda, tetapi juga buat mempertahankan
kemerdekaan itu keluar negeri (Inggris, Amerika dan Jepang). Walaupun
Kaum-Buruh kita terkuat dari kasta-kasta lain di Indonesia, tetapi ia
sendirinya saja tentu sukar merebut kemerdekaan buat seluruh Indonesia, seperti
juga buat Sumatra, Borneo, Celebes d.s.g, dimana industri dan kaum buruh baru
mulai datang. Di Jawa sendiripun buruh industri yang betul-betul masih sedikit.
Ringkasnya, walaupun buruh bisa termuka dan bisa memberi pimpinan pada seluruh
Rakyat melarat dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan, tetapi ia mesti
mendapat pertolongan dari, tani, saudagar, student, serdadu dan tukang. Haruslah
seluruh Rakyat tertindas di Indonesia terikat dalam satu "tentara‑kemerdekaan".
Tetapi ikatan itu harus berdasar ekonomi. Tani, atau tukang, tak bisa lama
diikat dengan paham kebangsaan cap N.I.P. atau B.0. atau dengan agama cap S.I.
saja. Ikatan semacam itu tidak bisa kukuh, karena tak mengandung kekuatan lahir
melainkan perasaan saja. Ikatan itu cuma bisa kekal, kalau berdasar ekonomi
jani, kalau tani, tukang dan saudagar dalam persahabatan dengan buruh itu betul‑betul
mendapat keuntungan lahir dan batin (ekonomi, politik dan sosial). N.I.P. dan
B.0. takkan bisa memperbaiki nasib kaum melarat, sebab kalau Indonesia di bawah
pimpinan mereka menjadi merdeka, maka perusahaan besar-besar akan jatuh di
bawah Angenent, Veynschenk, Raden Mas ini, atau Raden itu. Pun S.I tak akan
bisa juga karena sesudah negeri merdeka urusan ekonomi sama sekali akan jatuh
di bawah Kyai, Haji atau Sjech, seperti di Mesir Arab, Turki atau India. Tetapi
kalau P.K.I. dan S.R. yang merebut kekuasaan, ia bisa menaikan derajat si Kecil
karena lebih dulu mereka menghapuskan hak-Milik pada perusahaan besar-besar dan
menghapuskan kasta Hartawan. Sebab kasta-buruh di Indonesia bukan
Kasta-Penghisap, maka ia kelak bisa mengadakan perserikatan yang kukuh dengan
segala golongan yang terhisap dan tertindas oleh imperialisme sekarang.
e) Bisa
membangunkan semangat revolusioner seluruh Rakyat Indonesia, dengan kekal.
Betul perasaan kebangsaan dan Agama bisa menbangunkan kebencian kepada Penindas
dan mendatangkan kerukunan pada Rakyat, tetapi kebencian dan kerukunan semacam,
sangat negatif dan sementara. Sebentar menjadi dingin, seperti pepatah
Minangkabau: Panas-panas tahi ayam. Tetapi satu Program yang mempunyai lantai
teori yang kokoh dan mudah dimengertikan pada Rakyat, bisa mendatangkan keyakinan
yang tetap, karena keyakinan semacam ini berhubung betul dengan hidup dan
pikirannya hari-hari, dan bisa memberi jawab pada soal-soal ekonomi, politik
dan sosial. Dari keyakinan semacam itulah saja bisa timbul kemauan yang keras
buat mempraktikkan cita-cita yang terpeluk oleh Program itu. Sebab itu Program
yang kukuh itulah saja yang bisa membangunkan dan menetapkan semangat
revolusioner dari seluruh Rakyat Indonesia sampai maksudnya sampai.
III.
PROGRAM
1. Program Nasional P.K.I & S.R.
A. Ekonomis
1. Nasionalisasi atau memindahkan
Pabrik dan Tambang (seperti pabrik gula, kina, kelapa, semen dan tambang arang,
emas, timah d.s.g.) ke tangan Pemerintah Rakyat Indonesia.
2. Nasionalisasi
Tanah dan Kebon, seperti Gula, Getah, Tebu, Kopi, Kina, Kelapa, Indigo d.s.g.
3. Nasionalisasi
Transportasi dan Komunikasi (Kereta, Kapal, Telegraf dan Telepon).
4. Nasionalisasi
Bank, Perusahaan dan lain-lain Anggota-Perniagaan.
5. Electrificatie
perusahaan, dan mendirikan industri model baru dengan pertolongan Negara,
seperti buat pakaian, kereta, kapal, mesin d.s.g.
6. Mendirikan
Koperasi-Rakyat dengan pertolongan Negara. Memberi perkakas dan pertolongan
pada Kaum Tani, buat memperbaiki pertanian.
7. Emigrasi atau
memindahkan sebagian penduduk Jawa dengan ongkos Negara, ke pulau-pulau di luar
Pulau jawa.
8. Membagikan
Tanah-Tanah kosong pada proletar-tani, dan memberi pertolongan pada Tani itu
buat mengerjakannya.
9. Menghapuskan
sisanya feudalisme (Yogya, Solo d.s. g) dan Tanah Partikulier, serta membagikan
tanah-tanah ini pada Tani-Tani Miskin dan Proletar Tani.
B. Politik.
1. Kemerdekaan Indonesia yang
sempurna (absolut) pada saat ini juga.
2. Mendirikan Federasi-Republik dari
kepulauan Indonesia.
3. Memanggil Rakyat-Rakyat Indonesia
yang mewakili seluruh Golongan dan Rakyat Indonesia pada saat ini juga.
4. Memberi hak-Memilih yang sempurna
pada Rakyat Indonesia (lelaki & perempuan) pada waktu ini juga.
C. Sosial.
1. Gaji minimum.
2. Kerja 7 jam dan memperbaiki nasib
kerja dan hidupnya Kaum Buruh.
3. Perlindungan Kerja
(Arbeidsbescherming) Kaum Buruh dengan mengakui hak buat mogok.
4. Mendapat sebagian Untung dari
Perusahaan yang besar-besar.
5. Mendirikan Rapat-Buruh
(Arbeidersiaden) pada perusahaan besar-besar.
6. Menceraikan Negara dengan Agama,
dengan mengakui Kemerdekaan Agama seluas-luasnya.
7. Memberi hak-hak ekonomi, politik
dan Sosial pada semua penduduk Indonesia lelaki dan perempuan.
8. Nasionalisasi Gedung besar-besar,
mendirikan rumah-rumah baru, dan membagikan tempat tinggal buat Buruh-Negara.
9. Membunuh penyakit menular dengan
sekuat-kuatnya.
D. Didikan.
1. Didikan dengan diwajibkan dan
ongkosnya Negara buat semua penduduk Indonesia sampai berumur 17 tahun, didikan
mana memakai bahasa Melayu sebagai bahasa utama dan bahasa Inggris sebagai
bahasa asing yang terpenting.
2. Menghapuskan peraturan dan
asas Didikan sekarang dan mendirikan peraturan dan asas baru, yang praktis,
yang langsung berhubung dengan industri yang ada dan yang akan didirikan.
3. Memperbanyak dan memperbaiki
sekolah Pertanian Pertukangan dan Perniagaan dan menambah serta memperbaiki
sekolah tinggi buat Personel Teknik dan Administrasi yang tinggi.
E. Militer
1. Menghapuskan Laskar yang imperialistis
sekarang dan mendirikan Laskar Rakyat buat mempertahankan Republik Indonesia.
2. Menghapuskan hidup di tangsi dan
peraturan yang menghina Kaum-Serdadu, memberi izin tinggal di kampung dan di
rumah yang dibikin buat mereka, penganggapan yang lebih baik dan menambah gaji
Kaum Serdadu Rendah,
3. Memberi hak leluasa buat
Organisasi dan Pertemuan kepada Kaum Serdadu.
F. Polisi dan Justisi.
1. Memisahkan Pemerintah dari Polisi
dan Justisi.
2. Memberi hak-sempurna kepada
tiap-tiap Pesakitan, buat mempertahankan diri di muka Hakim, dan melepaskan
seorang tertuduh dalam 24 jam, apabila keterangan dan saksi kurang cukup.
3. Semua Perkara, yang wettig
(mempunyai cukup dasar hukum) mesti diperiksa dalam 5 hari pada tempat yang
umum, teratur dan patut.
G. Aksi-Program.
1. Menuntut 7 jam kerja.
2. Minimum Gaji dan perbaikan Kerja
dan Hidupnya Kaum Buruh.
3. Mengakui Federasi Serikat Buruh
dan hak Mogok.
4. Mengatur Tani buat hak-ekonomi
dan politik.
5. Menghapuskan Punale Sanctie
(pidana terutama atas penolakan untuk melakukan pekerjaan dan melarikan diri -
catatan editor).
6. Menghapuskan hukum-hukum dan
peraturan-peraturan buat menghambat pergerakan politik, seperti
Exorbitante-Stakings-Pers (sensor media - catatan editor) dan Onderwyswetten
dan mengaku hak leluasa buat bergerak.
7. Menuntut hak membikin
demonstrasi. Massa demonstrasi (ramai-ramai) di seluruh Indonesia buat melawan
Tindasan Bergerak dan Pajak dan buat melepaskan semua pemimpin Rakyat yang
dibui dan mengembalikan semua pemimpin Rakyat yang dibuang, massa aksi mana
harus dikuatkan oleh Mogok-Umum dan Massa-ongehoorzaamheid (tak menurut
perintah pemerintah).
8. Menuntut menghapuskan Volksraad
(dewan penasehat untuk Netherlands East Indie yang dibentuk oleh Belanda -
catatan editor), Raad van Indie (Council of Indies atau Dewan Hindia yang
dibentuk untuk mengawasi Gubernur-Jendral VOC - catatan editor) dan Algemeene
Secretarie (Seketratis Jendral - catatan editor) dan memanggil Rapat Rakyat
(Nasional Assembly) dari mana nanti akan dipilih Anggota Menjalankan Hukum
(Komite Eksekutif), yang bertanggungan kepada Rapat Rakyat.
2. Keterangan Program.
Program diatas, ialah buat seluruh
Rakyat Indonesia, yaitu Kasta-Proletar dan Non-Proletar atau yang tidak
Proletar, seperti Kasta Tukang, Saudagar Kecil, Tani, Student d.s.g yang
semuanya menghendaki Kemerdekaan sebagai Bangsa dan melawan Imperialisme
Belanda. Sebab di Indonesia tidak sampai 1% penduduk yang membenci pada
Indonesia Merdeka dan cinta pada Pemerintah Belanda, maka Program Nasional ini
tidak salah namanya, karena betul memeluk hampir semua penduduk Indonesia.
Oleh karena di Indonesia Kasta
Buruhlah yang terkumpul atau geconcentreerd (terkonsentrasi), maka ia lah pula
yang bisa memberi pimpinan pada kasta-kasta yang lain-lain yang cerai berai
itu. Pada Program ini kita melihat, bahwa Buruhlah yang termuka dalam hal
tuntutan. Terutama tuntutan ekonomi (A), Sosial (C), dan Aksi (G), sebagian
besar semata-mata buat keperluan Kaum Proletar. Tetapi dalam tuntutan Politik
(B), Didikan (D), Pengadilan (F), keperluan Buruh banyak bersamaan dengan
non-Proletar, sebab itu bisa dicampurkan. Umpamanya semua tuntutan politik (B.
dari 1-4) sama sekali boleh dipakai buat non-proletar. Tuntutan ekonomi seperti
A. 5, 6, 7 dan 8 bolehlah dikatakan terutama buat non Proletar. Sedangkan
tuntutan F dari 1-3 semata-mata buat kasta yang tidak boleh kita lupakan dan
lengahkan ialah Kaum-Serdadu.
Walaupun pada Program Nasional,
yakni buat seluruh Native atau penduduk Indonesia, semua tuntutan kita jadikan
satu, tetapi dalam propaganda dan agitasi tentulah, tuntutan yang terutama buat
Kaum Buruh tidak boleh kita pakai buat kaum Tani. Umpamanya tututan
nasionalisasi pabrik tentulah buat kaum Tani tidak sepenting perkara pertanian
dan koperasi. Jadi dalam agitasi dan propaganda kita mesti pilih tuntutan yang
konkrit atau yang nyata dan dirasa buat masing-masing kasta. Kadang-kadang kita
pentingkan betul tuntutan ekonomi seperti pada kasta Buruh dan Tani, kadang-kadang
kita pentingkan politik seperti pada penduduk kota dan Kaum Student, kadangkadang
perlu kita terangkan sikap kita terhadap kepada agama, seperti di Solo, Yogya,
Aceh, Banjarmasin.
Semua tuntutan yang diatas tentulah
yang umumnya saja. Berpuluh-puluh tuntutan kecil-kecil buat Buruh, Tani dan
Student atau Tukang, di Jawa atau Sumatera d.s.g pada kitab ini tak bisa kita
tuliskan. Program Nasional haruslah pendek dan memeluk dasar dari tuntutan yang
terutama saja. Tetapi plaatselyke Organisaties dan plaatselyk Beleid atau
kecakapan pada masing-masing tempat tak boleh melupakan tuntutan yang
plaatselyk dan penting buat satu kasta atau golongan. Umpamanya buat Kaum
Militer boleh lagi ditambah beberapa tuntutan. Begitu juga buat Buruh Gula,
buat Pelabuhan, buat Tani di d jawa, Sumatera dan Borneo, buat saudagar kecil
di mana-mana negeri, buat pemancing ikan di Madura, Ternate d.s.g, pimpinan
pada masing-masing tempat mesti mengadakan tuntutan, sehingga seluruh penduduk
Indonesia mempunyai Program buat mengubah nasib masing-masing kasta atau
golongan.
Semua tuntutan itu haruslah konkrit
atau dirasa, pendek dan terang. Dari tuntutan bersifat semacam inilah bisa
datang keyakinan dan bisa lahir aksi revolusioner.
IV.
ORGANISASI.
Adapun perkara organisasi pada suatu
jajahan, seperti Indonesia adalah suatu perkara yang sangat sukar dan penting
sekali. Dari pada kuatnya organisasi kita itulah bergantungnya, bisa atau
tidakkah kita kelak memecahkan organisasi musuh yang sangat teratur tiu.
Berhubung dengan Organisasi kitalah kelak bergantungnya, bisa apa tidakkah kita
merebut Kemerdekaan, baikpun sebagai Bangsa ataupun sebagai Kasta.
Tiadalah bisa kita putuskan semua
persoalan Organisasi itu dengan perkara Agama, sehingga barang siapa sudah
"dikekahkan" dan pandai menyebut "syahadat" bolehlah diikat
di dalam satu perkumpulan. Tiada perduli apa yang satu Saudagar Besar dan yang
lain buruh atau tani melarat. Atau dengan persoalan Kebangsaan, sehingga
barangsiapa mempunyai kulit hitam atau setengah hitam bisa masuk ke dalam satu
Partai politik. Tak perduli apa yang satu Tuan Tanah dan yang lain tak berpunya
apa-apa.
Kita harus menyusun serdadu buat
merebut kemerdekaan itu menutut keperluan masing-masing, yang sama keperluan
hidup dalam satu organisasi pula, karena buat memperbaiki keperluan hidup
itulah manusia dari tiap-tiap Sejarah dan tiap-tiap bangsa bergerak dan
mengorbankan nyawanya. Oleh karena si Kapitalis bertentangan keperluannya
dengan si Buruh, baikpun mereka "Indier" cap N.I.P. ataupun
kaum-Islam cap S.I, seperti macan bertentangan keperluannya dengan sapi, oleh
karena itulah mereka dari dua Kasta itu tak boleh disusun dalam satu barisan.
Kalau mereka sementara bisa bekerja bersama-sama buat menendang musuh, seperti
di Indonesia, haruslah mereka disusun dalam berlain-lain barisan. Oleh karena
kita Marxis percaya, bahwa semua pertandingan di dunia terbawa oleh tindasan
dan kemelaratan, maka sebab itulah kita terutama bersandar atas Kaum Tertindas
dan Melarat.
Walaupun kita internasionalistis,
tiadalah bisa kita mengambil saja Organisasi Buruh di Eropa atau Amerika dan
tanpa kritik, menanam Organisasi itu di negeri kita. Organisasi-pindahan
semacam itu akan mati sendirinya saja, seperti gandum Eropa, kalau dipindahkan
ke Indonesia niscaya akan mati juga. Kita harus dengan semangat Marxisme,
memeriksa keadaan ekonomi, sosial dan kebudayaan di negeri kita, memeriksa
banyak, kuat dan kualitasnya kasta-kasta yang ada di Indonesia dan menyusun
tiap-tiap Kasta yang terhimpit pada masing-masing Barisan dan menyusun semuanya
Barisan dari semuanya Kasta itu pada Tentara Nasional, buat memecahkan musuh
dari dalam ataupun luar negeri.
1. Maksud dan Sifat-sifat Organisasi
Maksudnya Partai Revolusioner di
Indonesia ialah buat menendang Musuh dan mempraktikkan atau melakukan Programnya.
Jadi Cara dan Sifatnya bekerja haruslah sepadan dengan Maksudnya itu, dan
sepadan pula dengan Tempat dan Keadaannya bekerja. Artinya yang terus ialah
sepadan dengan tingkat dan tajamnya perkelahian dan sepadan dengan pulau, kota
atau desa tempat kita mengadakan aksi. Berhubung dengan itu, maka aksi kita
pada waktu reaksi belum kurang ajar dan Rakyat masih lembek berlainan den gan
aksi kita, kalau reaksi kurang ajar dan Rakyat bangun dan tetap hati. Dan lagi
aksi yakni cara dan sifatnya kerja kita itu di Jawa lain dari di Sumatera atau
Ternate, di Surabaya lain dari di Cicalengka atau Magelang, dimana industri
masih lemah.
Makin plastis atau liat seperti
rotan Cara dan Sifat kerja kita itu, makin besar pengaruh Partai kita di
seluruh Indonesia dan makin dekat Maksud kita. Supaya kita bisa memimpin
seluruh Rakyat Indonesia yang tertindas itu, haruslah kita lebih dahulu bisa
memimpin Partai kita sendiri yang sebagai Avant-Garde atau Pasukan Muka dari
Rakyat yang Revolusioner itu.
Sebab itulah maksudnya Organisasi
kita, terutama buat mengatur pimpinan yang sempurna, yakni menyusun dan
mendidik kekuatan yang bisa memberi pimpinan kepada seluruh Rakyat.
Pimpinan itu baru bisa sempurna,
kalau perhubungan atau kontak dengan Rakyat sempurna pula. Tanpa kontak satu
Partai tak bisa memberi pimpinan, karena ia terlampau maju di muka atau
terlampau tinggal di belakang Rakyat.
Supaya hubungan dengan Rakyat
Melarat rapi sekali, maka Organisasi kita memeluk dasar Demokratis Sentralisme.
Artinya ini Sentralisasi Pekerjaan yang dilakukan dengan semangat demokratis
atau sama rata. Jadi semua anggota Revolusioner dan semua anggota Revolusioner,
seperti P.K.I, S.R, Serikat Buruh, JOI, d.s.g, masing-masingnya harus bekerja
menurut kekuatan masing-masing, pekerjaan mana mesti teratur dan terkumpul.
Bedanya Partai kita dengan Partai Sosial Demokrat, yakni beda bekerja. Pada
Partai Sosial Demokrat yang bekerja itu cuma pemimpinnya, tetapi anggotanya
pasif saja. Sebab itulah Partai Sosial Demokrat sangat birokratis. Semua anggota
menurut saja apa perintah pemimpinnya, sama betul dengan demokratisnya
Parlamentarisme Kaum Hartawan, yang juga terbagi atas Menteri yang aktif dan
mengerjakan sekalian pekerjaan dan anggota Parlemen, yang kerjanya mengomong
saja. Pada Partai Komunis semuanya anggota harus bekerja, kecil atau besar
(propaganda, kursus, membagi surat kabar, buku, mengerjakan administrasi d.s.g
menurut kecakapan masing-masing), sehingga demokrasi atau sama rata kita
artinya "sama rata bekerja." Sifat Demokratis Sentralisme itulah yang
bisa menghilangkan birokratisme, dan ialah yang mendidik pimpinan sampai kuat
dan plastis.
Disiplin itu, ialah nyawanya suatu
pergerakan revolusioner. Dalam pergerakan S.I sudahlah cukup kalau seorang
bersumpah "demi Allah demi Qur'an," buat menjadi anggota. Dalam
pergerakan N.I.P sudahlah cukup kalau orang yang mau jadi anggota itu mengaku
azas N.I.P. Sesudahnya ia bersumpah, atau sesudah ia mengaku dasar itu ia boleh
tidur nyenyak, dengan tiada dapat gangguan apa-apa dari partainya. Tetapi buat
pergerakan kita "mengaku Program" itu belum lagi setengah kewajiban
seorang anggota.
Partai komunis tiadalah menghendaki
"pendeta Komunis" yang hapal programnya dari muka sampai ke belakang
dan dari belakang sampai ke muka. Partai kita mau aksi atau perbuatan, aksi
yang tetap dan benar yang berpadanan dengan azas dan maksud kita. Kalau pada
waktu sebelum revolusi seorang anggota tiada mengeluarkan aksi apa-apa, maka
tiadalah bisa kita harapkan yang dia pada waktu yang penting tiba tiba saja
akan mendapat semangat yang aktif, seolah-olah mendustakan dirinya sendiri pada
waktu biasa. Ringkasnya Partai kita menuntut aksi yang tetap dan benar, besar
atau kecil dari tiap-tiap anggota. Kalau seorang anggota tiada mencukupi
perintah Partai, mengerjakan pekerjaan yang dikira berpadanan dengan kekuatan
anggota itu, maka lebih baik ia keluar saja dari pada tinggal dalam Partai dan
memberi contoh yang buruk pada kawan‑ kawannya yang lain. Tetapi disiplin kerja
atau arbeiddisipline semacam itu, tentulah pula tidak dalam satu hari saja
bisa kita jatuhkan. Kita periksa dulu keadaan satu Seksi atau Lokal dan perkara
menjatuhkan "disiplin kerja" itu harus ditimbang betul-betul dengan
pemimpin-peminpin yang sudah lama kerja. Tetapi disiplin itu haruslah segera dijatuhkan
pada seorang anggota yang mengkhianati partai, juga pada seorang anggota yang
tiada mempertahankan.
Serdadu revolusioner itu ialah
serdadu yang mengerti dan mufakat dengan Program partainya, yang selalu bekerja
sepadan dengan kekuatannya dan selalu menjaga kesentosaan partainya terhadap
kepada musuh di dalam atau di luar partainya.
Agitasi. Seperti seorang Penambang
menceraikan emas itu dari tanah dan lumpur, maka kita mengeluarkan aksi Kaum
Tertindas itu dari peri kehidupan mereka itu juga. Perkakas kita buat
mengeluarkan aksi itu ialah Agitasi. Dari dalam, betul dan kuatnya Agitasi
itulah bergantung datangnya Aksi.
Membuat Agitasi itu tiadalah dengan
"Assalamualaikum atau dalil-dalil" cap Haji Agust de Groote ......
dengan tiada menyelesaikan persoalan hidup si Kromo hari-hari, atau kalau
menyelesaikan ia tiada berani menarik si Kromo kepada aksi. Juga tiada seperti N.I.P
yang agitasinya tiada pula lebih jauh welsprekendheid (lancar) atau mahirnya
bicara tentang darah Indier dan wataknya Indier. Kita Kaum Komunis tak pula
boleh berlaku seperti Kaum Syndicalist, yang menyangka, bahwa kalau kita campur
menuntut hak Kecil-kecil ada berlaku kompromistis, dan cuma berharap, seperti
kaum Utopis, bahwa Aksi Rakyat itu kelak datangnya akan sama sekali tiba-tiba
saja. Tidak pula seperti si Pengkhianat Kaum Sosial Demokrat yang campur
menyelesaikan persoalan si Kecil itu ialah buat menarik mereka, supaya ia
memilih Kaum Sosial Demokrat jadi anggota Parlamen, atau supaya Kaum Buruh
masuk jadi anggota Partai Sosial Demokrat. Kita Kaum Komunis menyelesaikan
persoalan si Kromo, supaya mendapat kepercayaan dari mereka, bahwa kita betul-betul
mau menolong mereka. Begitulah kita mendapat kontak dengan mereka dan bisa
menarik mereka kepada aksi yang teratur.
Agitasi itu haruslah konkrit atau
nyata sekali. Haruslah ia bersandar atas hisapan dan, tindasan si Kecil
hari-hari. Di antara Buruh, tentulah perkara gaji, lama kerja dan
penganggapan-lah perkara yang ter penting. Tiadalah perkara ini boleh kita
singkirkan, melainkan kita dengan segala kepintaran memberi jawab, yang bisa
memberi kepercayaan dan menimbulkan aksi kaum Buruh. Pada penduduk kota-kota,
dimana non-proletariers yang terbanyak itu, selalu diojak-ojak oleh Tuan Tanah,
Pemungut Pajak, Tuan Rumah, d.s.g. perkara pajak dan perkara sewa rumah itulah
perkara yang penting buat peri hidupnya Rakyat. Begitulah pula pada desa-desa,
baik di Jawa, Sumatera atau Celebes perkara tanah dan pajak itulah sangat
dirasa oleh penduduk negeri. Dalam hal ini tiadalah boleh kita memangku tangan
dan seperti seorang Pendeta menunjuk ke kitabnya, serta berkata: "Kalau
Komunisme datang semuanya itu akan hilang. Apalkanlah Komunisme supaya Zaman
Keselamatan itu lekas datang. Rajinlah saudara mengunjungi Kursus kami. Kami
tak suka main pakrol-pakrol, karena itu semua kompromis. Tahanlah lapar dan
sakit sampai Komunisme datang." Kita ulang lagi, apa saja tindasan Rakyat
kita mesti memperlihatkan kepintaran buat memberi oplossing atau jawab, mesti
mempunyai keberanian buat berdiri di muka, menuntut Haknya Rakyat, yang
tertindas. Seperti si Penambang akan mendapat emas dengan memasukan tangannya
kedalam lumpur begitulah pula kita harus bisa membawa Rakyat ke dalam Aksi,
kalau kita campuri kesakitan dan siksanya hari-hari.
Dari aksi kita hari-hari itulah kita
bisa memperoleh kepercayaan, pengaruh dan Contract yang kekal, dan dari aksi
kecil-kecil itulah bisa lahirnya aksi yang besar. Marxisme itu bukanlah ilmu
"hapalan" melainkan satu pedoman buat aksi, atau satu richtsnur tot
handelen (guide to action)
Legal atau Illegal yakni Terbuka
atau Tertutupnya, kita bekerja semuanya bergantung kepada keadaan bekerja. Kita
suka bekerja legal, karena dengan jalan umum itu Program dan Taktik kita lekas
diketahui oleh seluruh Rakyat. Tetapi kalau terpaksa, kita mesti teruskan
propaganda dan Agitasi kita dengan jalan tertutup. Walaupun kita dipaksa
berjalan tertutup, kita harus memakai dengan segala kekuatan dan kecakapan
segala jalan buat mendapat kontak dengan Rakyat. Tidak boleh kita geisoleerd
(terisolasi) atau terpisah dari Rakyat.
Di Eropa Barat kita melihat pada
waktu sebelum perang, Partai yang terbuka itu, tak bisa sama sekali bekerja
tertutup seperti Partai kita di Rusia. Sebabnya ialah karena di Barat sangat
tebal demokratisnya negeri, jadi orang bisa mendorong kiri kanan dengan mulut.
Tetapi di Rusia Partai revolusioner harus bekerja di bawah tanah. Sebab itulah kalau
Revolusi datang dan Partai revolusioner di Barat itu terpaksa bekerja tertutup
ia tidak bisa jalan seperti Partai kita di Rusia yang tahu kerja, baik terbuka
atau pun tertutup.
Partai yang selalu kerja tertutup
itu, ada mengandung bahaya, sama sekali akan kehilangan kontak dengan Rakyat
melarat. Sebab itu ia akan tidak tahu, bagaimana perasaan Rakyat, dan kalau ia
tiba-tiba keluar, Rakyat tidak mengikut, atau kalau Rakyat melarat tiba-tiba
memberontak, Partai yang tersembunyi dan kehilangan kontak tadi, belum lagi
siap.
Contoh Partai Konspirasi atau
Rahasia, yang tak mempunyai kontak itu banyak di negeri Timur, seperti.
Afdeeling B satu contoh yang baik. Sesudah anggotanya disumpahi setinggi
langit, maka ia boleh kelak menunggu "alamat" dari Alam dan menunggu
perintah dari pimpinan yang tertinggi, kapan mesti keluar. Alamat buat keluar
itu, tiadalah hal yang nyata yang beralasan ekonomi atau politik melainkan,
barang yang gaib-gaib yang kita kaum Komunis pada masa ini tak bisa mengerti
lagi. Anggotanya tak bekerja dengan sadar, memakai anggota ekonomi dan politik
Rakyat yang ada dan diaku sah oleh Pemerintah buat mendalamkan aksi, melainkan
bekerja menambah iman. Tiba-tiba ia ketahuan oleh pemerintah, dan kalau
pemimpinnya di hukum berat, Rakyat tercengang, karena ia memang tak tahu
apa-apa.
Kalau kita mengatakan kita mesti
kerja tertutup, maka maksud kita bukanlah mesti meninggalkan pekerjaan yang
praktis hari-hari dan kita lakukan kerja tertutup itu ialah karena terpaksa,
seperti sekarang kita sudah terpaksa menutup sebagian dari pekerjaan. Bukan
karena kita takut melainkan karena kita tidak bodoh dan mau diprovokasi, yakni
berkelahi sebelum siap betul. Pada masa Afdeeling B tak ada hal yang penting
yang menyebabkan anggotanya perlu bersumpah gelap-gelap, karena S.I mempunyai
pengaruh berjuta-juta. Kalau S.I mempunyai pimpinan yang pantas atau ditolak
maju berterang-terangan oleh Pasukan S.I. sendiri, dan dalam S.I. sendiri,
sebagai Linker-Vleugel atau Sayap Kiri, maka 2 atau 3 biji Belanda, yang
tersesak karena ada peperangan (1914-1918) itu gampang dikirim ke pulau Merak.
Kalau kita Kaum Komunis terpaksa
bekerja tertutup, maka kita mesti tetap tinggal bersambung dengan Rakyat.
Anggota kita mesti tinggal mengurus anggota-anggota yang masih diaku Sah oleh yang
berkuasa. Kalau Serikat Buruh umpamanya tak diaku, maka kita lari ke koperasi,
kalau inipun tak diakui kita lari lagi ke Serikat Kematian, dan seterusnya,
sampai "saat" kita datang, yakni kalau seluruh Rakyat keluar
bergerak. Bekerja dalam Organisasi yang di aku sah oleh pemerintah itu perlunya
bukan saja buat mengetahui stemming atau suaranya Rakyat, tetapi juga buat
mendidik pemimpin-pemimpin kita berbicara dan mengatur Organisasi. Sehingga
kalau Pemberontakan datang kita tidak kekurangan Orator, yakni tukang pidato,
Agitator dan Organisator yang cakap, pemuka-pemuka mana perlu sekali buat
merebut dan mempertahankan Kemerdekaan ke dalam dan ke luar Negeri.
Partai Komunis berdiri atas
Massa-Aksi, yakni Aksi beramai-ramai dan Massa-Aksi ini bersamping kepada
demonstrasi. Demonstrasi-politik, dijalankan dengan tuntutan politik. Kalau
yang menuntut cukup kuat dan gembira, maka hak-politik itu boleh direbut dengan
kekarasan.
Pada sesuatu demonstrasi, kontak
atau Perhubungan dengan Rakyat (Buruh, Tani, Tukang, Saudagar dan Student)
haruslah teguh betul. Perhubungan itu baru bisa teguh dan boleh dipercaya,
kalau Pimpinan demonstrasi itu ada mempunyai cukup wakil dari semua Kasta yang
tersebut diatas. Suara semua Wakil Kasta itu mesti didengar betul oleh urusan
demonstrasi, kalau tidak demonstrasi itu bisa terlandpur atau ketinggalan.
Sebab di Italia dan Inggris umpamanya pada waktu sesudah perang Partai kita,
yang dikhianati oleh Sosial Demokrat itu tak cukup mengadakan Wakil dari
Serikat Buruh, jadi tak cukup mengadakan kontak dengan Buruh, maka ia jadi
kalah, Di kedua negeri itu kita sudah bisa merebut politik negeri, sebab Buruh
sudah luar biasa kegembiraannya (di Inggris 1-2 juta Buruh Tambang 3 bulan
mogok). Tetapi Partai Politik Komunis disana tak cukup mendapat Suaranya Kaum
Buruh itu, sebab tak cukup Wakil di dalam Partai.
Supaya demonstrasi di Indonesia
berhasil, haruslah kelak di Sentral Pimpinan Revolusioner diadakan Wakil dari
semua Pulau dan semua Kasta di Indonesia. Begitulah suara dari segenap pihak
boleh di ukur dan kita tak mudah ketinggalan seperti di Italia atau Inggris
dulu itu dan tak pula mudah terlanjur seperti pada Aksi bulan Maret di Jerman
1921.
Demonstrasi itu menuntut Pimpinan
yang plastis dan Korban yang banyak. Pimpinan mesti selalu tahu, apa
demonstrasi mesti diperkencang lagi dengan Pemogokan atau Boikot. Dalam masa
itu Pimpinan, Surat Kabar, dan Perhubungan surat menyurat mesti ditempat yang
rahasia, yang tak bisa diketahui oleh musuh.
Sebelum demonstrasi keluar, haruslah
dibicarakan lebih dahulu tempat Demonstrator yang keluar dari semua penjuru
kota atau desa mesti bertemu, apa tuntutan yang penting buat masa itu, apa
perspektif atau Hasil demonstrasi kelak, kapan dan bagaimana mesti dibubarkan.
Bersama-sama dengan beriburibu dan berjuta-juta Demonstrator itu ada
tersembunyi Pimpinan, sebagai Staff umum atau Sidang Pimpinan, yang cukup
mendapat kabar dari manamana dan pada tiap-tiap saat bisa memberi perintah
kepada pemimpin-pemimpin yang ditaruh dipenjuru yang penting-penting, buat
memimpin sekalian pasukan demonstrasi tadi.
2.
Tentara Nasional.
Berapa susahnya mengadakan
Organisasi yang tetap pada suatu jajahan seperti Indonesia, sudahlah bisa
dibuktikan oleh sejarah pergerakan Indonesia, sendiri dalam kira-kira 17 tahun
yang terakhir ini, Organisasi B.O cuma tergantung diawang-awang saja, sama
sekali tak mempunyai pengaruh diantara Rakyat. N.I.P dan S.I yang diembus
dengan "kebangsaan" dan "Agama" sekarang sudah kosong
karena pompa angin tak bisa kerja begitu lama. Organisasi itu mesti berurat
pada ekonomi dan Kasta, baru ia bisa tumbuh dengan tetap. Tetapi kita mesti
bilang terus terang, bahwa sampai sekarang pada partai kita sendiripun belumlah
jelas dan konsekuen, bahwa "Keadaan ekonomi dan Keadaan Kasta di Indonesia"
itulah yang menjadi kriteria atau ukuran dalam pertimbangan kita buat
mengadakan Organisasi. Di jajahan lain-lain seperti Mesir, India d.s.g dimana
ada Nasional Kapital yang kuat dan pergerakan Nasionalisme yang revolusioner,
maka dalam golongan Kaum Komunis sendiri adalah timbul pertimbangan, apakah
tidak baik, jangan mendirikan Partai Komunis sendiri, melainkan memasuki Partai
Nationalis yang revolusioner yang ada, dan dari dalam, sebagai Linksche Vleogcl
atau Sayap Kiri, menumpu pergerakan Nasionalisme itu sampai ke Revolusi. Alasan
pihak ini, yakni, dimana Buruh diatur oleh Kaum Komunis berpisah dari Kaum
Nasionalis, seperti sudah dilakukan di Mesir dan India, disana pergerakan
Nasionalis jadi mundur. Jadi kata pihak ini, selama pergerakan Nasionalisme masih
revolusioner, biarlah Buruh Industri, yang menang pada tiap-tiap jajahan jadi
pasukan muka pergerakan revolusioner, diatur oleh Kaum Nasionalis, dan kita
Komunis cuma menolong saja dari dalam dan menjaga supaya pergerakan jangan jadi
lembek. Maksud yang pertama toh, kata pihak ini seterusnya melemparkan
"imperialisme."
Disini tak tempatnya buat memeriksa
pertimbangan ini lebih jauh. Tetapi kita boleh mengambil pengajaran dari
pertimbangan itu, bahwa pada satu jajahan pergerakan nasionalisme itu buat melemparkan
imperialisme satu faktor atau hal yang sangat penting, yang tiada boleh kita
putuskan dengan dogma atau "kajian hapalan" saja.
Sebaliknya pula kita tidak boleh
menunjuk ke bangkai S.I dan N.I.P dan berkata : "Nah, kan perlu lagi
dihidupkan bangkai bangkai ini."
N.I.P dan S.I mati karena ada
mempunyai sebab yang dalam sekali, ialah karena tak ada Nasional Kapital yang
kuat di Indonesia, yang bisa memberi inspirasi atau semangat buat mendirikan
Program yang kokoh, Organisasi yang teratur serta Taktik yang tetap, seperti di
Mesir dan India. Oleh karena pemimpin-pemimpin B.O, N.I.P, & S.I seperti
Dauwes Dekker, Tjipto, Tjokro Aminoto dan Salim terpaut oleh Kasta dan didikan
mereka, ia tak pernah sampai ke kasta Kaum Buruh. Mereka tak bisa mengerti, bahwa
di Indonesia Kasta inilah yang kuat karena geconcentreerd (terkonsentrasi) dan
dari Kasta inilah bisa datangnya inspirasi dan pimpinan buat merebut
kemerdekaan.
Sebaliknya pula kita Komunis tak
pula boleh memandang Indonesia sabagai Negeri industri, seperti Jerman atau
Inggris, dan memikir bahwa Kebangsaan dan Agama dalam pertarungan kemerdekaan
sama sekali tak ada artinya. Dan berhubungan dengan hal ini cukuplah kalau di
Indonesia kita adakan Satu Partai Komunis saja.
Sikap inilah kira-kira yang dipeluk
oleh pihak yang mau menghapuskan S.R pada Konferensi bulan November 1924 di
Yogya. Yang dijadikan alasan, ialah :
"Kaum borjuis kecil di
Indonesia selalu kalah, juga dalam perjuangan dengan imperialisme Belanda, yang
tergambar pada B.O, N.I.P & S.I. Sebab itu S.R yang juga kumpulan borjuis
kecil tak akan bisa menang."
Demikianlah kira-kira isinya
Referaat Hoofdbestir. Kalah atau menangnya borjuis kecil di Indonesia buat kita
pada masa ini perkara "puur philosophisch" (filosofi murni) artinya
perkara timbang menimbang dengan tiada akan mendapat keputusan. Tetapi bukanlah
kesimpulan atau putusan kalah menangnya itu sekarang yang terpenting buat kita,
melainkan akuan, yang tak dibantah, malah terbawa oleh Referaat tadi sendiri,
yakni Kaum borjuis kecil masih selalu berkelahi, jadi masih revolusioner.
Inilah yang terpenting buat kita,
dan hal ini memang apriori atau sudah termasuk ke dalam pikiran. Kaum Borjuis
Kecil, di mana-mana mau menjadi Borjuis Besar atau Hartawan-Besar. Pada Zaman
Bangsawan, Borjuis kecil Indonesia terhambat oleh Raja dan Bangsawan kita,
sebab itu ia acap berperang dengan Bangsawan itu. Pada Zaman kita mereka
terhambat oleh imperialisme Belanda, sebab itu ia sekarang melawan imperialisme
Belanda. Perlawanan ini sudah terbawa oleh alam dan tak akan habis, selama
keadaan kasta-kasta masih tetap. Ringkasnya sekarang dalam himpitan
imperialisme Belanda, borjuis kecil kita yang kira-kira 70% banyaknya dan tak
berapa bedanya tertindas dari Kaum Buruh Industri akan tinggal revolusioner.
Berhubung dengan akuan diatas ini
maka persoalan kita seharusnya, sebelum imperialisme Belanda belum kalah,
ialah:
Bagaimana kita mesti mengatur P.K.I.
yang kuat sebagai Avant-Garde atau Pasukan-Muka dari pergerakan revolusioner
Indonesia ?
Bagaimana kita mesti menyusun Kaum
Non-Proletar, sebagai Reserve atau Pasukan Pembantu pergerakan revolusioner ?
Bagaimana kita mesti menarik
Landstorm atau Laskar dalam waktu tersesak, dari seluruh Rakyat Melarat ?
Bagaimana kita mesti mengadakan
perhubungan antara P.K.I dan S. R. sebagai Partai Non-Proletar ?
Inilah persoalan kemerdekaan di
Indonesia. Kita mesti mengaku, bahwa Non-Proletar saja tanpa Kaum Buruh susah
mengalahkan Belanda. Sebaliknya pula Kaum Buruh tanpa pertolongan 70%
Non-Proletar tidak pula mudah akan menang. Sedangkan di Jerman, dimana 75% dari
penduduk negeri sama sekali buruh Industri model baru, pada tahun 1923, yakni
waktu yang terpenting sekali buat revolusi, kita dengan segala daya upaja
mendekati Kaum Borjuis Kecil. Juga di Rusia kemerdekaan kita peroleh dan kita
pertahankan dengan Kaum Tani besar kecil yang banyaknya 80% itu, jadi dengan
borjuis kecil juga.
Berhubungan dengan 4 persoalan yang
diatas, maka kita sangka pertimbangan buat mengadakan Satu Partai, yakni P.K.I
saja buat seluruh Indonesia ada salah. Kita pikir di kota besar-besar seperti
Betawi, Semarang dan Surabaya pun sekarang mesti dilakukan Partai Kembar, yakni
P.K.I dan S.R. Dengan politik Satu Partai, baik di seluruh Indonesia ataupun
buat kota-kota besar, kita pikir, pertama kita bisa tinggal kecil (sectarisme)
atau kedua besar, seperti perut kemasukan angin.
Kecil, karena sudah kita terangkan,
bahwa Indonesia tidak negeri industri betul melainkan landbouw-industri. Sudah
pula kita perlihatkan, bahwa kota-kota kita bukan pusatnya industri (kain,
besi, mesin, kapal d.s.g). Penduduknya kota-kota kita, terutama non-proletar,
seperti tukang-tukang, dobi, saudagar kecil-kecil seperti penjual cendol, satai
d.s.g. atau Buruh Halus, seperti guru-guru, jongos, clerk d.s.g. Yang buruh tulen
di kota-kota kita masih sangat sedikit, kalau diperbandingkan dengan jumlah
penduduk. Lagi pula mereka bukan buruh industri produktif yakni buruh yang
mengadakan hasil (kain, besi, dll), melainkan buruh pengangkut, seperti kereta,
kapal dan tram, yang kecakapannya juga kurang dari buruh industri betul.
Tiadalah seperti di Berlin, London atau New York, dimana, kalau tutup pabrik
pukul satu berbunyi kita melihat sampai 1.000.000 Buruh Pabrik, yang muka,
tangan dan pakaiannya berkilat-kilat dengan minyak mesin, berduyun-duyun
meninggalkan pabrik. Ini belum ada! Malah belum seperti Bombay, dimana buruh
kain saja terkumpul 150.000. Atau di Calcutta yang mempunyai 300.000 buruh
model baru, seperti buruh pelikan (tambang), kain, mesin, kereta, kapal dll.
Betul ada beratus ribu sudah terkumpul di perusahaan gula, tetapi mereka itu
buruh tani. Yang buruh pabriknya baru sedikit, dan sebab disini ada pabrik
gula, disana 50 KM lagi berdiri pabrik lagi, jadi sebab sangat
terpencar-pencar, maka kita susah pula mengatur mereka.
Ringkasnya betul buruh kita (kereta,
kapal, gula, minyak d.s.g.) lebih kuat dari non-proletar, karena mereka
menjalankan perusahan negeri, tetapi kita jangan overschatten (overestimate
atau melebih-lebihkan), melebihi perhitungan kekuatan kita. Kalau kita
bersandar semata-mata pada buruh tulen dengan mengadakan Satu Partai, serta
menghilangkan S. R. maka Partai kita akan sangat kecil.
Kalau ia dijadikan besar, maka
terpaksa ia menarik jadi anggotanya saudagar-saudagar cendol, nasi, rujak d. s.
g. Inilah namanya verwatering (mengencerkan), lebih santan dari pada air dan
seperti SI akan segera jatuh kegemukan saja. Tidak boleh tidak elemen borjuis
kecil itu, kalau masuk Partai Komunis, walaupun ia "menghapalkan"
program kita, akan membawa semangat dan wataknya borjuis kecil (adat, logika,
dan sifatnya). Betul kursus dan didikan bisa membangunkan semangat
revolusioner, tetapi sebagai Marxis kita mesti tahu "bahwa keadaan itulah
yang menentukan semangat" atau de materieele onderbouw bepaalt den
geestelyken bovenbouw. Cuma kaum Utopis dan Dogmatis yang percaya, bahwa dengan
"menghapalkan" saja satu ilmu bisa jadi orang bersifat baru. Betul
bisa satu atau dua orang yang bukan golongan buruh bisa menjadi Komunis, tetapi
sebagai kasta, Kaum borjuis kecil tak bisa dilompatkan menjadi Komunis
Revolusioner. Dan sebab di Indonesia borjuis kecil itu memang masih terpaut
oleh semangat revolusioner (sebab belum pernah menang) sebab itulah kita
gampang menyangka, bahwa sebab dia revolusioner itu ia Komunis. Inilah bahaya
yang ada kalanya kelak bisa masuk ke dalam badan PKI sendiri, yang bisa
memecahkan diri dari dalam.
Bagaimana, kalau kita dirikan Satu
Partai buat seluruh Indonesia dari kaum Buruh, dan non-proletar kita susun
dalam Serikat Buruh?
Serikat Buruh saja tak cukup buat
mereka, karena mereka borjuis kecil di negeri kita juga mempunyai cita-cita
politik. Siapapun di kota-kota atau desa-desa, apapun juga pekerjaannya ia mau
merdeka sebagai bangsa. Jadi kita harus mengadakan politik yang sepadan dengan
kehendak mereka itu. Koperasi, Serikat Buruh atau Serikat Tani tak mencukupi
cita-cita politik, lebih-lebih dari penduduk kota dan setengah kota.
Lagi pula, kalau kita mau mengadakan
Serikat Buruh buat borjuis kecil di kota besar-besar seperti Betawi, Semarang,
Surabaya d.s.g. di kota-kota klas dua seperti Sumedang, Pekalongan, Palembang,
Banjarmasin d.s.g, berapa ribu Serikat Buruh mesti kita bikin, buat mengikat
saudagar kecil-kecil, jongos, tukang penatu d.s.g, Ini dalam praktiknya
mustahil!
Kita tidak saja di desa-desa dan
kota-kota klas dua mesti mengadakan Organisasi politik yang memenuhi cita-cita
70% dari penduduk kita, tetapi juga di kotakota besar seperti Betawi dan
Surabaya, dimana borjusi kecilah yang terbanyak dan industri produktif sama
sekali belum ada. Baru kalau Partai Komunis bersamping dengan Organisasi, yang
memeluk beribu-ribu anggota, yang pada segenap waktu bisa dijalankan
bersama-sama, baru kita bisa mengadakan aksi politik umpamanya demonstrasi yang
berarti. Walaupun kita cuma dua atau tiga ribu, tetapi kalau kita dalam Aksi
politik sebagai Avant-Garde dikelilingi oleh beribu-ribu Proletar &
Non-proletar sebagai reserve, dan disukai oleh seluruh Rakyat yang tertindas
sebagai Landstorm, kita bisa menang.
Berhubung dengan pertimbangan kita
diatas, maka buat menjawab 4 pertanyaan tadi buat Indonesia Organisasi yang
berikutlah yang sepadan dengan keadaan kita
1. Diadakan
Partai-Kembar (PKI & S. R.), pada pusat ekonomi, politik dan Pergerakan,
seperti di Betawi, Semarang, Surabaya, Bandung, Padang dan Medan, pada pusat
ekonomi (industri) seperti Cepu, Kediri, Pelaju, Belitung, Pangkalan Brandan,
Sawah-Lunto, Balik Papan d.s.g, pada pusat politik, seperti Palembang,
Kota-Raja d.s.g., pada pusat pergerakan, baik kereta atau kapal, seperti lain
yang sudah tersebut diatas juga Banjarmasin, Makasar, Cilacap, Cirebon d.s.g.
yakni menurut pertimbangan yang lain-lain (seperti di Balik Papan sudah cukup
PKI saja).
Anggota PKI terutama mesti dari
Buruh industri, seperti dari bengkel, baik kereta ataupun pelabuhan, Buruh
Cetak, Pabrik gula, minyaktanah, tambang arang, minyak d.s.g. Golongan inilah
yang mesti jadi ruggegraat atau tulang punggungnya P.K.I.
Kursus mesti dikencangkan, tetapi
isinya mesti praktis dan berpadan dengan keadaan dan aksi di Indonesia. Program
dan Agitasi, dikencangkan betul, ialah yang berhubungan dengan industri dan
negeri. (Lihat Program Nasional!).
Kontribusi dipertinggi dan disiplin
diperkeras. Dalam semua Aksi seperti Pertemuan, Mogok dan demonstrasi anggota
P.K.I mesti dimuka.
2. Diadakan S.R.
saja, selainnya dari tempat yang tersebut diatas (1) di seluruh Indonesia, di
kota-kota klas dua, seperti Sumedang, Magelang, Paja Kumbuh, Pontianak, di
pelabuhan klas dua, di desa-desa dan gunung-gunung sampai masuk ke dalam hutan
seperti Puruk Tjau di Borneo. Tak ada tempat yang boleh di lupakan.
Anggota S.R boleh dari sembarang
kasta, asal mengakui dasar revolusioner, yakni mau mengusir imperialisme
Belanda (jadi berbeda dengan N.I.P, B.O & S.I ). Student, saudagar, tukang,
tani dan penjual ini atau itu, beragama Islam, Kong Hu Tju atau Kristen; yang
suka sama kebangsaan, agama atau anarkisme, pendeknya semua yang benci kepada
Tindasan Imperialisme bolehlah berdiri di bawah bendera S. R.
Kursus haruslah berhubungan betul
dengan "keadaan dan cita-cita mereka. Perkara kemerdekaan sebagai Bangsa
Nasional yang merdeka, perkara sewa rumah, Pajak, pendidikan dan perkara yang
lain, yang terasa betul oleh penduduk kota tak boleh dilupakan. Dalam kesusahan
hari-hari, baikpun dengan pakrol-pakrol si Kecil di kota atau desa yang tak
berhak apa-apa itu mesti ditolong oleh S. R.
Kontribusi mesti serendah-rendahnya,
karena maksud kita yang terutama, supaya menarik mereka ke bawah pengaruh dan
ke dalam aksi kita. Juga disiplin tidak bisa begitu keras, karena hal ini sudah
terbawa oleh watak mereka. Jadi maksud kita yang terutama ialah mengumpulkan
semua golongan yang tak senang hati di bawah Imperialisme Belanda dan memimpin
mereka dalam segala aksi.
3. Dengan
Perantaraan P.K.I, kalau krisis ekonomi dan politik datang kita bisa menarik
terutama, segala Buruh industri yang ada, baik yang sudah diatur dalam Serikat
Buruh ataupun yang belum di atur. Dalam Pemogokan atau demonstrasi PKI. akan
memberi pimpinan yang langsung atas semua golongan Kaum Buruh di Indonesia.
Dengan perantaraan S.R, semua
penduduk kota, seperti klerk, tukang, penjual ini atau itu, student d.s.g dan
semua penduduk desa dan gunung akan menarik dengan Tuntutan yang pantas ke
dalam Aksi, seperti Boikot dan demonstrasi buat melawan Krisis ekonomi atau
politik dan merebut Kemerdekaan. Jadi P. K. I. & S. R. keduanya mesti
menjadi Organ atau Anggota buat seluruh Rakyat Indonesia merebut Kemerdekaan.
Teranglah sudah maksud kita bahwa
kedudukan P.K.I dan S.R bukan kedudukan Bovenbouw (atas) dan Onderbouw (bawah),
yang di kursus atau tak di kursus atau tinggi berendah (memang kita dengan
semua Rakyat melarat mau ke zaman persamaan, bukan?), melainkan kedudukan dua
kasta tertindas, tetapi berlainan keperluan dan sifatnya, oleh sebab mana mereka
harus di atur dalam dua pasukan. Sebab Buruhlah yang terkumpul dan memegang
perusahaan negeri yang terutama serta non-proletar terpencar-pencar, maka dari
buruhlah bisa datang Aksi yang tetap, Ideal atau cita-cita yang tetap, Program
yang tetap dan Senjata yang tetap (Mogok). Berhubung dengan itulah ia di
Indonesia bisa memberi Pimpinan yang tetap revolusioner. S.R berdirinya
bukanlah karena internasional (memang ini dulu pelawan semangat N.I.P) atau
karena tak beragama (memang ini mengandung dan melawan semangat S.I) melainkan
karena ia berdiri atas kasta non-proletar yang bersifat revolusioner. Kasta dan
semangat revolusioner itulah yang menjadi kriteria atau ukuran di S.R, dengan
tiada melanggar Agama atau Kebangsaan, malah mufakat, kalau Agama dan Kebangsaan
itu ada memperkuat keyakinan dan semangat Revolusioner.
4. Karena Buruhlah
kasta yang terkumpul, dan ialah yang mempunyai senjata yang tertajam, yakni
mogok, maka ialah pula yang mesti memberi pimpinan politik buat merebut
kemerdekaan Indonesia.
Walaupun Seksi atau Lokal diatur
dengan Partai Kembar, tetapi Sentral tentu mesti satu, supaya urusan, agitasi
dan aksi bisa satu pula. Supaya semua golongan di Indonesia bisa diperhatikan
keperluannya, maka pada Sentral Pimpinan Revolusioner di Betawi, seberapa boleh
kelak mesti diadakan wakil dari semua pulau, dan semua kasta yang terutama
seperti Buruh, Student, Tani dan Penduduk kota. Buat memperhatikan kepulauan
Indonesia yang begitu besar tentulah belum cukup 5 atau 6 orang duduk di
Sentral Pimpinan.
Supaya agitasi buat seluruh
Indonesia dirasa betul oleh semua golongan haruslah Sentral Pimpinan
Revolusioner, membedakan agitasi buat satu negeri dengan yang lain (Jawa dengan
Sumatera atau Celebes, Padang dengan Jambi); dan satu golongan dengan golongan lain
(Buruh dan Tani atau Student dengan Penduduk kota). Berhubung dengan hal ini
pekerjaan di Sentral pimpinan haruslah dibagi-bagi (verdeling en specialiseeren
van arbeid) (partisi dan spesialisi kerja).
Supaya pimpinan tinggal
revolusioner, jangan seperti S.I atau N.I.P, haruslah baik di Sentral Pimpinan
ataupun di Seksi atau Lokal, S.R yang mayoritas atau terbanyak ialah pemimpin
Komunis. Dengan jalan begitu, kita menjaga supaya pergerakan Indonesia tinggal
proletaris dan tak menjadi oportunistis atau reformistis, yakni lembek seperti
S. I. dan N. I. P.
Demikianlah Sentral Pimpinan
Revolusioner di Indonesia, yang mengikat semua Seksi P.K.I & S. R, semua
Serikat Buruh, Koperasi, dan mengikat JOI dan Rakyat-Scholen, yang menaruh
semangat proletaris dan revolusioner, menunggu datangnya saat, dimana ia dengan
Massa-Aksi kelak akan merebut hak ekonomi dan politik.
Oleh karena Massa-Aksi itu cuma bisa
dijalankan dengan Massa, yakni beramai-ramai, maka haruslah P.K.I yakni pemuka
Kaum Buruh dan S.R yakni pasukan Muka Kaum Non-Proletar menambah anggotanya
dengan berlipat ganda. Kalau S.I pada waktu baiknya bisa mengumpulkan sampai 1
atau 2 juta anggota (betul belum seperti anggota sekarang), dan menurut laporan
pemerintah sendiri sampai 5 atau 6 juta simpatisan, yakni yang mufakat dengan
S.I, maka kalau Taktik, Program dan Agitasi kita benar dalam waktu di muka ini
sekurangnya kita mesti dapat laskar buat PKI 10.000 dan buat S.R 500.000. Juga
anggota dari Serikat Buruh yang terutama seperti V.S.T.P, S.P.P.L, S.P.L.I dan
S.G.B haruslah berlipat ganda banyaknya. Di Jambi, Palembang, Banjarmasin, Aceh
d.s.g mesti ada koperasi-koperasi yang kuat. Demikianlah pula JOI harus
memperbanyak anggota dan Seksinya. Di Betawi, Semarang dan Surabaya bersamping
dengan P.K.I yang bisa mempunyai 1000-2000 anggota S.R bisa mendapat 10-20.000
anggota. Kalau sudah bisa kita mengadakan Tentara Nasional sebesar ini tidak
saja Imperialisme Belanda segenap waktu bisa hancur, tetapi juga imperialisme
Asing tak akan gampang menentang Tentara yang sebesar itu.
V.
REVOLUSI.
1. Peperangan dan Revolusi.
Sebermula maka kemajuan Pergaulan
itu diatur oleh hukum yang juga menguasai seluruh alam (hewan dan
tumbuh-tumbuhan), yang dinamai Hukum Evolusi dan Revolusi. Kedua hukum ini
sebetulnya satu, karena tak ada bedanya dalam sifat, melainkan berbeda cepatnya
bekerja.
Seperti suatu sungai harus mengalir
ke lautan, demikianlah juga pergaulan hidup kita ini menuju ke zaman persamaan,
kesentosaan dan peradaban. Seperti sungai itu mengalirnya di tempat yang datar
dengan tenang, demikianlah pergaulan hidup kita, kalau tak kuat kasta yang
menghambat maju dengan sentosa. Berhubung dengan itu, maka kekayaan, kepandaian
dan peradaban maju dengan tiada di rasa.
Tetapi seperti sungai yang terhambat
majunya oleh gunung akan menebus gunung itu, demikianlah pula Pergaulan Hidup,
yang terhambat majunya oleh satu Kasta atau Bangsa yang menindas, akan
memecahkan Kasta dan Bangsa itu.
Baik dengan damai atau perkosa,
Evolusi atau Revolusi Pergaulan Hidup kita tetap maju.
Sebagian dari kemajuan itu terjadi
dengan peperangan. Satu Bangsa memerangi yang lain, dan menghimpit bangsa yang
lain itu dengan alat senjata peperangan. Kemudian, maka bangsa yang menang itu
bertambah kaya, bertambah kuasa dan bertambah pandai, sedangkan yang kalah
bertambah miskin, serta bertambah bodoh. Nietsche, seorang filsuf atau Pemikir
Jerman, menjunjung tinggi Uebermensch, atau Dewa dalam bukunya "Also
Sprach Zarathustra" (Begitulah sabdanya Nabi Zoroaster) dan dalam
"Die Willie Zur Macht (Nafsu merebut Kekuasaan), dimana ia menggambarkan
dengan giat sifat-sifat yang perlu dipakai oleh seorang panglima perang dan
pembesar negeri. Buku-buku itu dibaca oleh Kasta Opsir di Jerman di medan
peperangan yang baru lalu ini dalam asap meriam dan hujan pelor dengan segala
keyakinan.
Nietsche, ialah Nabi-Imperialisme,
yang menyangka, bahwa peradaban itu mesti terbawa oleh kemenangan suatu bangsa
atas bangsa yang lain. Inilah filosofi imperialisme, yakni Kultur Paksaan,
Peradaban Militerisme & Peperangan, serta Peradaban bunuh membunuh sesama
manusia dengan maksud hendak menindas dan memeras bangsa yang lemah. Nietsche
ialah Zenith atau puncak Peradaban, yang tergambar oleh Arjuno, Iskandar
Zulkarnain, Napoleon dan Wilhem II.
Selamanya ada tindasan, selamanya itulah
pula ada rasa kemerdekaan. Cacingpun, yang diinjak bergerak kiri kanan,
lebih-lebih manusia yang terinjak itu akan berusaha melepaskan dirinya dari
injakan itu. Si Bengis Nero, menguatkan majunya Kaum Kristen. George III
mengadakan Washington, yang melepaskan Amerika dari tindasan Inggris. Tsarisme
di Rusia mengadakan Bolshevisme. Inggris di India melahirkan Pergerakan Boikot
dan Swaray, demikianlah tak akan putus putusnya.
Peperangan buat Kemerdekaan tiadalah
untuk menindas bangsa lain, melainkan buat melepaskan tindasan. Satria
Kemerdekaan-Bangsa, tiadalah seorang Penindas, seperti Caesar, Napoleon dan
Wilhem II, melainkan manusia yang berhati suci, berfikiran jernih dan yang
setia kepada yang tertindas. Phoseon di Griek L'Ouverture pemimpin budak
Negro, Garibaldi di Italia dan Rizal di Filipina, semuanya Satria, laksana
gambaran Kemerdekan, Kesucian, Keberanian serta Kecintaan hati. Laskar
Kemerdekaan, walaupun biasanya miskin dan tiada bersenjata, lebih kuat dari
pada Laskar Imperialisme, karena dasar dan makudnya lebih tinggi. Disiplin
laskar Kemerdekaan tiadalah pula perbudakan, seperti pada Laskar Imperialisme,
melainkan kegiatan yang suci.
Tindasan feodalisme di Prancis,
melahirkan pemikir baru, yang wujudnya mau melepaskan tindisan satu kasta dari
kasta yang lain.
Voltaire dan Rousseau, dengan pena
yang maha tajam memecahkan Feodalisme itu dan melahirkan fikiran baru, buat
zaman yang baru pula, yakni: "Kemerdekaan, Persamaan dan
Persaudaraan."
Kaum Satria baru lahir pula, yakni
buat menjalankan buah pena pemikir tadi. Mirabeau, Madame Roland, Danton,
Robespierre dan Marat, ialah satria zaman baru, zaman mana kita masuki dengan
banyak darah dan air mata mengalir. Satria Prancis tadi belumlah insaf, bahwa
Kemerdekaan, Persamaan dan Persaudaraan itu sekarang diperkosa oleh
Kapitalisme.
Pemikir baru mesti berdiri pula.
Marx dan Engels, melahirkan pikiran dan pertandingan baru: "Kaum Proletar
seluruh dunia bersatulah" Tidak lagi satu kasta dalam satu negeri,
melainkan Kasta Hartawan diseluruh dunia haruslah dihancurkan oleh Kasta
Proletar seluruh dunia, supaya datang Kemerdekaan dan Komunisme.
Lenin, Trotsky, dll sejawatnya di
Rusia sudah memperlihatkan, bagaimana besar kekuatan Kaum Proletar itu.
Sekarang di seluruh dunia Kaum Proletar sedang mengatur kekuatan buat
perkelahian yang lama, sukar dan bengis itu.
Imperialisme boleh bersiap
mengadakan kapal perang, meriam, kapal terbang, kapal selam, bom dan gas
beracun. Bangsa jajahan di Timur dan Kasta Buruh di dunia boleh sementara
dihisap dan ditindas, dan tiada apa kalau miskin dan tak bersenjata. Bangsa
jajahan dan kasta Proletar ada mempunyai senjata yang lebih tajam dari pada
peluru dan bom, yakni kerukunan.
Kalau Bangsa di jajahan dan Kaum
Proletar mengerti, serukun dan mau, maka tentara imperialisme itu akan pecah
dari dalam sendirinya karena yang memegang sekalian senjata itu ialah Kaum
Proletar juga.
Inilah senjata kita Kaum
Revolusioner yang terutama sekali: Otak, Pena dan Mulut.
Serdadu Revolusi, ialah serdadu yang
mengerti serta yakin, dan kalau saatnya sudah sampai, maka dengan perkataan dan
tangan saja ia bisa menjatuhkan musuh berapapun besarnya.
Revolusi bukanlah peperangan
imperialisme, yang dilakukan buat bunuh membunuh dan rampas merampas. Revolusi
ialah satu pertarungan lahir dan batin, dimana satu Bangsa Tertindas atau Kasta
Tertindas, melahirkan dan mengumpulkan sifat-sifat manusia yang termulia untuk
maksud yang tersuci.
2. Revolusi di Indonesia.
Objektifnya, yakni hal keadaan
negeri di Indonesia sudahlah lama masak buat Revolusi. Lepasan-Kerja (pemecatan
- catatan editor) terjadi hari-hari, dan tentara Kaum Buruh yang tak kerja
(werkeloozen) belum pernah sebesar sekarang. Gaji Kaum Buruh banyak
dikurangkan, walaupun harga barang-barang masih tetap tinggi. Pajak sudah lama
melewati kekuatan Rakyat kita.
Walaupun ekonomi dan politik dalam
krisis, tetapi Rakyat belum lagi matang revolusioner, artinya itu belum
sempurna siap dan bergerak sendirinya merebut dan memegang urusan ekonomi dan
politik Negeri. Kesadaran Rakyat kita dalam hal politik, sungguhpun sangat
cepat majunya, baru dalam permulaan, sebab itu masih satu persoalan besar,
apakah ia cukup kuat dan giat buat menentang musuh di dalam dan di luar negeri
(Inggris, Amerika dan Jepang) pada pertarungan yang tentu hebat dan lama sekali.
Rakyat Indonesia, yang belum pernah sedikitpun mempunyai hak politik, karena,
dari dulunya terhimpit oleh despotisme dan imperialisme, tentulah tiada bisa
dibangun kan dalam dua tiga tahun saja. Perkumpulan politik kita mesti dilipat
ganda banyak dan kualitas anggotanya pada masa ini juga. Berhubung dengan itu
agitasi mesti lebih dalam dari pada yang sudah-sudah. Pun Serikat Buruh belum
lagi cukup mempunyai banyak dan kualitasnya anggota, buat merebut ekonomi dan
politik Negeri dan kelak menguruskan hasil dan pembagian hasil itu (produksi
dan distribusi) serta mempertahankan negeri terhadap musuh di dalam dan di luar
negeri.
Wataknya kelak Revolusi di Indonesia
bolehlah sekarang kira-kira kita gambarkan. Tiadalah akan seperti di Marokko
umpamanya, dimana ekonomi masih sangat mundur sekali. Oleh sebab disana
pencarian hidup teutama pertanian kecil (bukanondernimingen) dan bergembala,
maka tiadalah ada keberatan Abdul Karim buat menarik Tani dan Gembala itu lari
ke gununggunung, buat meneruskan peperangan dengan Prancis dan Spanyol. Sebab
negeri sangat besar dan penduduk sangat sedikit (luas Marokko saja, yang
terletak ditepi gurun Pasir itu ada 4 1/2 Jawa, tetapi penduduk cuma 1/6 dari
Jawa, sehingga Jawa ada 27 kali serapat Marokko dan kalau Jawa sekarang
penduduknya serapat Marokko isinya tidak 36 juta melainkan 1 1/3 juta) dan
pencarian hidup gampang sekali, maka perang gerilya, yakni perang lari-larian
bisa diteruskan bertahun-tahun. Tetapi Jawa yang mempunyai isi negeri yang
nomor satu rapatnya di dunia itu, dimana tak ada tempat lagi buat berlindung
seperti Abdul Karim, dimana industri sudah sampai ke Trust dan Syndikaat,
dimana hasil sama sekali tergantung pada pasar di luar negeri, dimana tiap-tiap
tahun mesti masuk beras seharga F.75.000.000, jadi dimana ekonomi negeri sudah
sama sekali berdasar kapitalistis dan internasional, tentulah tak setahun bisa
menjalankan Karim-isme atau Dipo Negoro-isme. (Pada masa DipoNegoro penduduk
Jawa baru 5 juta).
Oleh karena di India ada Kasta
Hartawan bumi putera yang kuat, maka juga pergerakan politik selamanya
ini bisa nasionalistis tulen. Artinya itu, cuma buat mengusir pemerintah
Inggris dan mengisi pemerintah itu dengan Wakil dari Hartawan bumi putera. hak
Milik akan tinggal tetap, dan berhubung dengan itu perusahaan yang besar-besar
tiada akan jatuh di tangan Buruh industri. Buat Rakyat Kemerdekaan di India itu
tak akan berapa menambah hak ekonomi dan politik. Dalam perkelahian menentang
Imperialisme Inggris, politiknya Kaum Nasionalis India semata-mata buat memakai
Rakyat dan Buruh sabagai serdadu buat maksud Kaum Hartawan. Oleh karena senjata
mogok, buat dilawankan kepada Inggris, juga berbahaya buat kapital nasional
sendiri, maka Ghandi melarang Kaum Buruh mogok. Senjata yang bisa dipakai oleh
Kaum Nasionalis di India ialah Boikot saja, karena boikot itu mengenai
perusahaan dan perniagaan Inggris dan membesarkan perusahaan dan oerniagaan
Hartawan Bumi Putera.
Tetapi di Indonesia senjata mogok
itu bisa dipakai seluas-lusnya, karena tak ada kapital nasional yang bisa
dikenai. Mogok umum di Indonesia bisa dan mesti disertai oleh demonstrasi umum,
karena pergerakan politik kita bukan untuk satu golongan kecil, yakni dari
hartawan saja, melainkan untuk rakyat melarat yang terbanyak itu. Rakyat
Indonesia, kalau sudah merebut kekuasaan politik, bisa mengubah nasibnya dengan
lekas dan bisa menasionalisi sekalian perusahaan yang besar-besar (kebon,
pabrik, tambang, kereta, kapal, dan bank) yang sekarang di tangan hartawan
Belanda. Bersama dengan ini, maka kelak nasib buruh dan Rakyat akan segera bisa
menjadi baik.
Berhubung dengan hal diatas, maka
Revolusi Indonesia kelak akan berbeda betul dengan pemberontakan Marokko dan
pergerakan di India (Non-Cooperation clan Swaray). Revolusi Indonesia tiadalah
akan semata-mata untuk menukar kekuasaan Belanda dengan kuasaan bumi putera
(Peperangan Kemerdekaan bangsa), tetapi juga untuk menukar kekusaan hartawan
Belanda dengan Buruh Indonesia (putaran-sosial).
Jadi pergerakan kita sekarang, ialah
nasionalis sosial, dan berpadanan dengan itu perkakas bertarung ialah perkakas
militer (Karim-isme) bercampur dengan perkakas ekonomi dan politik, yakni
mogok, boikot dan demonstrasi.
Mana kelak yang lebih kuat diantara
perkakas militer dan perkakas ekonomi dan politik itu, buat seluruh Indonesia,
yang mempunyai pulau-pulau yang tiada sama kemajuannya, tiadalah bisa kita
putuskan dengan sepatah perkataan saja.
Di Jawa, sebagai sentral ekonomi
Indonesia tentulah Karim-isme cuma sebagian bisa dilakukan, yakni kalau
perkakas mogok, boikot dan demonstrasi sudah segenap waktu bisa dipakai.
Artinya itu, kalau perkumpulan politik (P.K.I & S.R) dan Serikat Buruh
sudah siap betul. Sungguhpun begitu, Kaum Serdadu tak sekejap boleh dilupakan.
Karena, kalau kelak buruh dan Rakyat bisa merebut semua kota-kota di pesisir,
tetapi benteng-benteng Bandung, Ambarawa dan Malang masih setia pada
pemerintah, maka Belanda bisa lekas mendatangkan pertolongan dari luar
Indonesia (Negeri Belanda, Inggris dan Amerika). Seperti dulu Spanyol, sesudah
3/4 di usir oleh Filipina, tiba-tiba menjual Filipina kepada Amerika, begitu
juga kelak Belanda, kalau sudah 3/4 terusir, akan mencari akal busuk. Sebab itu
benteng-benteng di Jawa, dimana kelak Belanda lari berlindung, mesti kita
persatukan dengan Rakyat merah. Dan kelak kita tak boleh menjatuhkan palu
terakhir dan menjalankan Karim-isme (kekuatan militer) sebelum kumpulan politik
dan buruh matang betul dan kaum serdadu mengerti betul akan maksud kita.
Di luar Jawa, dimana industri masih
mundur Karim-isme bisa dilakukan. Tetapi kita mesti jaga lebih dahulu supaya
Jawa sudah siap dengan senjatanya, yakni mogok, boikot dan demonstrasi. Kalau
belum siap dan Karim-isme diluar Jawa dijalankan, maka pergerakan kita semacan
itu akan sia-sia dan bisa lama memundurkan aksi.
Meskipun begitu, kalau sekiranya
Karim-isme itu di Sumatra, Borneo, Celebes atau Ternate bisa dijalankan dengan
lama dan kuat sekali, maka Belanda mesti akan dapat kesusahan besar. Tentu ia
segera akan memukul pergerakan politik dan Serikat Buruh di Jawa, tetapi sebab
ia terpaksa menaikkan pajak, semangat revolusioner akan tetap naik di seluruh
Indonesia.
Kita tahu, bahwa Anarkisme di
mana-mana, sebab kapitalisme sudah sangat teratur, tak bisa menang. Anarkisme
di India sudah masyur bertahun-tahun, tetapi tetap tinggal kalah. Di Mesir
sangat memukul pergerakan yakni sebagai provokasi, yang memberi senjata pada
Inggris buat melarang sama sekail pergerakan politik (sesudah pembunuhan Sir
Lee Stac). Pergerakan Anarkisme malah sangat mengacaukan dan melemahkan pergerakan
Buruh di Jepang. Tetapi walaupun kita sama sekali tak mempunyai pengharapan
akan mendapat Kemerdekaan Indonesia dengan jalan Anarkisme, berhubung dengan
sikap pemerintah, Anarkisme di Indonesia bisa timbul. Selama Rakyat masih bisa
mendengar pembicaraan nasibnya, protes dan maksud kita, selamanya itu mereka
bisa ditahan sampai ke Aksi Teratur. Tetapi kalau pemerintah menutup Kawah
Pergerakan, maka api revolusioner itu akan meletus di lain tempat:
"Umpamanya gula akan habis terbakar. jembatan akan runtuh, Lokomotif
terguling dan Belanda terbunuh dimana-mana." Bukan karena kemauan P.K.I,
melainkan kemauan Rakyat yang sudah putus asa, dan lari dari organisasi kita.
Walaupun pemberontakan Indonesia ada
mengandung watak kebangsaan, tetapi, sebab ekonominya Jawa dan sebagian dari
Sumatra sudah sangat maju kapitalistis dan internasional, maka Revolusi kita
akan berwatak nasionalis-sosial, yakni campuran pergerakan kebangsaan dan
kekastaan.
Berhubung dengan wataknya Revolusi
di Indonesia itu, maka walaupun Karim-isme atau perang gerilya dan Anarkisme
(sebab kapitalisme masih muda) kelak menjadi "aanvulling" (tambahan -
catatan editor) atau tempelan dari pergerakan revolusioner, tetapi kemerdekaan
Indonesia terletak terutama pada massa aksi yang teratur: "mogok, boikot
dan demonstrasi."
Walaupun berapa juga verleidelijk
atau menggodanya Karim-isme dan Anarchisme (lebih-lebih kalau reaksi mengamuk!)
kita tidak boleh diprovokasi dan menyimpang dari jalan yang betul, melainkan
tetap mendidik sampai Rakyat bisa memegang senjata Massa aksi yang maha tajam
itu.
3. Taktik di Indonesia.
Dalam daya upaja memecahkan
imperialisme Belanda ini tak perlu kita berpusing kepada memikirkan Sosial
Demokrasi, seperti Partai kita di Eropa dan Amerika. Stokvis c.s di negeri kita
tak berani berhubung dengan rakyat, seperti juga di lain-lain negeri jajahan
Kaum Sosial Democrat sama sekali jadi ekornya imperialisme.
Cuma kita mesti menjaga, supaya di
dalam partai kita, semangat kelembekan Sosial Demokrat tak bisa masuk.
Taktik kita terhadap kepada
revolusioner kebangsaan dan agama ialah menarik mereka kedalam S.R Tiadalah ada
salahnya, kalau kita kelak mengadaan Nasional-Platform, yakni Barisan
Revolusioner yang memeluk sekalian Partai revolusioner besar kecil yang ada
sekarang ini dan memimpin Barisan itu menjatuhkan imperialisme Belanda.
Taktik kita ke dalam negeri,
terutama menarik sekalian golongan yang tiada bersenang hati di bawah Belanda.
Kita mesti berusaha keras mengatur buruh dan tani gula yang banyaknya
barangkali lebih dari 1.000.000 itu. Buruh Kereta yang 80.000, buruh dan tani
teh, kopi, coklat, jati, getah yang tentu tak kurang dari 1.000.000 pula, buruh
minyak tanah yang kira-kira 40.000, tambang arang, emas, timah yang lebih dari
50.000 itu, buruh pelabuhan yang kira-kira 100.000 dan kuli kontrak yang
300.000 itu. Juga tiada boleh dilupakan Kaum Student yang di sekalian jajahan
jadi pasukan-muka pergerakan. Di Jambi, Palembang, Padang, Banjarmasin bumi
putera yang berada itu, perlu koperasi buat mempertahankan diri terhadap kepada
kapitalis besar. Penduduk kota nomor satu dan kota nomor dua dan desa-desa
harus semua ditarik ke dalam S.R. atau P.K.I. Disebabkan oleh bermacam-macam
hal, maka masih sangat sedikit dari semua golongan yang di atas terikat oleh
organisasi kita. Kita percaya, berapa pun besarnya reaksi dengan segala
kecakapan pada waktu di muka ini kita akan bisa melipat ganda anggota P.K.I
& S.R, Serikat Buruh, JOI d.s.g. Sedangkan Ternate suatu pulau kecil saja
ada kalanya bisa menarik anggota 13.000 dan berkontribusi beratus rupiah. Kita
sama sekali tak akan heran, kalau dijalankan betul, Jawa, Sumatra, Borneo,
Celebes, Ambon dan Bali besok atau lusa akan memeluk beratus ribu anggota, yang
bisa membayar cukup dan tetap.
Kalau kita tidak bisa mengadakan
organisasi yang bisa memeluk sekalian Kasta dan sekalian pulau terberai-berai
itu, maka pekerjaan melemparkan Imperialisme itu adalah satu percobaan yang
sangat sia-sia. Belanda bisa lari dari satu tempat ke tempat yang lain buat
berlindung dan mencari kawan. Jawa akan bisa di adu dengan Sumatra, Menado dan
Ambon sama Rakyat Islam d.s.g. Sebab itu taktik kita yang terpenting sekali
ialah mempersatukan semua pulau dan Kasta dengan Program Minimum, yang dirasa
oleh semua penduduk Indonesia.
Kalau kita bisa mempersatukan
seluruh Indonesia dan mengadakan disiplin yang keras, barulah kita bisa
memikirkan merebut kemerdekaan dan barulah bisa mempertahankan kemerdekaan itu
terhadap kepada Inggeris dan Amerika.
Inggris tentu tak suka Indonesia
akan menang. Pusat armada di Singapura (satu negeri di Indonesia juga), gunanya
buat mempertahankan dan melebarkan jajahan Inggris di Asia. Dalam waktu
peperangan, maka Singapura mudah diperhubungkan dengan Australia, India dan
HongKong. Kalau di Indonesia pecah revolusi, maka perhubungan dengan Australia
akan terancam. Inilah hal yang bisa dijadikan alasan oleh Inggris buat menolong
Belanda dan memakai Volkenbond buat membetulkan politik Inggris. Lagi pula
berjuta-juta ada Kapital Inggris di kebon getah, teh dan terutama di Minyak
Tanah, sehingga Koninkelijke Petroleum Maatschappij itu bolehlah dikatakan
perusahaan Inggris. Akhirnya kemerdekaan Indonesia akan sangat disukai oleh
Tanah Malakka dan India dan dengan lekas akan menggoncangkan seluruh jajahan
Inggris, lebih berbahaya dari segala macam pergerakan revolusioner di Eropa.
Kita tahu bahwa ketika Amerika
memikir-mikir mau memberikan kemerdekaan pada Filipina, yang sudah lama matang
buat Zelfbestuur (managemen swadaya - catatan editor) itu ia dapat tegoran dari
Prancis, Inggris, Jepang dan Belanda. Alasan negeri-negeri imperialis, itu akan
menyebabkan semua jajahan akan lebih keras menuntut kemerdekaannya dan akhirnya
kekuasaan bangsa putih di Asia akan jatuh. Sebab itu terhadap kepada
kemerdekaan Indonesia semua Imperialis mesti akan bersatu.
Walaupun Amerika menamai dirinya
demokratis, buat kita tak kurang bahayanya. Pada tahun yang sudah dia terpaksa
membeli getah dari luar negeri F.1.500.000.000. Harga ini F.1000.000.000 lebih
mahal dari 2 tahun terlampau. Sebabnya ialah karena Inggris yang menguasai 70%.
dari semua getah di dunia bisa dengan sekehendak hatinya menaikan harga itu,
sehingga Amerika mesti membayar berlipat ganda. Supaya ia lepas dari monopoli
Inggris, maka Amerika berdamai dengan Belanda. Boleh jadi pada waktu paling di
muka ini berjuta-juta modal Amerika akan masuk ke Indonesia buat menambah kebun
getah.
Jadi ringkasnya Inggris dan Amerika
(juga Jepang) semuanya cinta pada Indonesia dan semuanya mau menduduki. Kalau
kita merdeka, tetapi tak cukup bersatu, maka seperti Tiongkok, kaum perampok
itu akan mudah adu-mengadu kita sama kita. Negeri kita akan cerai-berai,
diperintahi atau dipengaruhi oleh beberapa imperialis. Dengan segera kita yang
tiada mempunyai armada ini, kalau pikiran dan maksud tak satu akan hancur.
Sebaliknya kita tak boleh ngeri,
asal mengerti, bahwa diantara satu imperialis dan yang lainnya, yang semuanya
mengancam kita itu ada pertentangan keperluan. Politik kita kelak haruslah arif
bijaksana mengenal pertentangan itu sewaktu-waktu dan memperdalam pertentangan
itu supaya satu sama lainnya si perampok itu berkelahi dan kita terpelihara.
Kalau saatnya itu kelak sudah
sampai, dan kita betul bersatu, maka nakoda kapal kemerdekaan itu, wajiblah
dengan segala keyakinan, keberanian, ketetapan hati dan kepintaran menentang
ribut topan di dalam dan di luar negeri, serta awas akan batu karang yang
tersembunyi yang setiap waktu bisa menghancurkan kapal kemerdekaan itu.
4. Massa Aksi di Indonesia..
Apabila kira-kira 30 tahun yang lalu
Bonifacio mendapat jawab dari Rizal, bahwa Filipina tak bisa membuat Revolusi,
karena tak mempunyai kapal dan bedil, maka Bonifacio dengan marah berkata:
"Bliksem (petus!). Dimana dia baca?"
Dr. Jose Rizal, ialah seorang
intelektual, yang dibuang oleh Spanyol ke sebuah pulau kecil. Ketika Dr. Rizal
akan ditembak, sesudah diadakan tuduhan yang palsu, maka Bonifacio, yang
memimpin Katipunan, yakni satu perkumpulan rahasia, mengirim wakil dengan
rahasia sekali menemui Dr. Rizal, meminta, apakah ia mau lari dari penjara dan
apakah ia mau memimpin Katipunan dalam revolusi kepada Spanyol. Dr. Rizal
menjawab seperti diatas. Mendengar jawab itu Bonifacio menyindir dengan marah,
bahwa tak ada buku sejarah, yang mengatakan, bahwa bangsa yang miskin dan
tertindas itu mesti lebih dahulu menyiapkan kapal dan bedil buat revolusi.
Bonifacio ialah seorang Proletar
tulen. Tetapi sebab sangat rajin belajar sendiri, ia cukup mengetahui revolusi
di Eropa dan Amerika. Oleh sebab keberanian, kesucian serta ketetapan hati ia
mendapat pengaruh dalam rahasia di seluruh Filipina luar biasa sekali. Sudah
lama ia bercerai dari La Liga Filipina (Persatuan Filipina) yang didirikan oleh
Dr. Rizal, karena perkumpulan ini sudah terang kompromis dan lembek sekali.
Tetapi sebab Rizal guru dari Bonifacio dan tinggal diseganinya sebagai pemikir
dan satria yang luar biasa, ia sudi menyerahkan pimpinan Katipunan yang
dibikinnya itu kepada Dr. Rizal.
Apabila akhirnya Dr. Rizal dengan
tuduhan palsu ditembak, maka seluruh rakyat Filipina meratap dan berniat
membalas dendam. "Kalau Rizal seorang yang begitu besar, sehingga sangat
disegani oleh Profesor di Eropa, yang tiada bersalah apa-apa ditembak lagi, siapakah
yang bisa bekerja buat kemerdekaan Filipina?" Inilah pertanyaan yang lahir
dalam pikiran Bumi Putera lelaki dan perempuan.
Sekaranglah datangnya saat buat
Bonifacio akan memperlihatkan kepercayaannya atas massa atau Rakyat Filipina.
Di Balintawak dekat dalam rahasia sekali Bonifacio mengumpulkan anggotanya dan
dengan "bolo" (pedang) sekerat saja mereka menyerang tentara Spanyol
yang teratur dan kuat itu. Beribu-ribu Rakyat mengikut panggilan Katipunan
dengan bolo atau tanpa bolo. Dalam beberapa pertemuan dengan serdadu Spanyol,
Rakyat Filipina, yang tak bersenjata itu merebut dengan tangan saja senapan
serdadu Spanyol. Pada tiap-tiap medan peperangan berpuluh dan beratus senapan
direbut, sehingga akhirnya cukup Rakyat mempunyai senjata api buat melawan
Spanyol.
Tiada lama antaranya, maka bendera
Rakyat yang karena miskinnya dibuat dari kain robek-robek saja terkibar di
sebagian besar dari kepulauan Filipina. Hanyalah benteng Manila saja yang belum
jatuh.
Banyak lagi contohnya massa aksi,
yakni aksi Rakyat, kalau betul sudah matang revolusioner, baik di Eropa ataupun
Asia, walaupun tiada bersenjata apa-apa bisa menundukan laskar yang teratur.
Umpamanya L'Ouverture, seorang budak
Negro di Haiti (Amerika Tengah), yang memimpin budak miskin pula, bisa
menaklukan Inggris, Spanyol dan serdadu Napoleon berikut-ikut. Di Revolusi
Besar Prancis (1789) Rakyat yang paling miskin dan kurus kelaparan itu, sesudah
kena propaganda revolusioner bertahun-tahun, akhirnya dengan tangan dan batu
juga mengalahkan Laskar Raja dan Bangsawannya. Juga buruh di Rusia, yang miskin
itu, baik pada revolusi 1905 ataupun 1917, tiada lebih dahulu memesan
"kapal terbang" sebelum ia menyerang tentara Kaum Hartawan dan
bangsawan di Rusia.
Senjatanya Rakyat yang betul
revolusioner itu, hanyalah pena, mulut dan tangan saja. Kalau semangat
revolusioner sudah betul menjadi darah daging Rakyat melarat, maka semua
kepandaian dan senjata itu akan timbul sendirinya. Senapan bisa direbut dengan
tangan dan juga seperti di Filipina tukang rumput bisa jadi jenderal. Inilah
kemuliaan Revolusi dan kesucian si Revolusioner. Kita diatas mengambil contoh
terutama dari Filipina, sebab penduduknya lebih dekat kepada kita dari penduduk
negeri lain.
Orang tak bisa bantah, "O, ya,
mereka tinggal di negeri sejuk sebab itu kuat." Atau "mereka berkulit
putih atau berasal ini atau itu." Rakyat Filipina juga bangsa Melayu dan
diamnya juga di Khatulistiwa.
Sebaliknya, walaupun sifat dan asal
kita bersamaan, dalam hal lain-lain Rakyat Filipina lebih dalam kecelakaan dari
pada kita.
Ketika mereka memberontak kepada
Spanyol dan kemudian kepada Amerika, serta 3 tahun mendirikan Republik, jumlah
jiwa cuma 8 juta. Spanyol kira kira 25 juta, dan satu imperialisme terbesar di
dunia seperti Inggris. Amerika yang 50.000 terbunuh oleh bolo itu terkaya, dan
mempunyai 100.000.000 jiwa. Sedangkan Indonesia sekarang mempunyai 55.000.000
jiwa, dan menentang Belanda yang cuma 6 1/2 juta saja.
Kita sekarang ada mempunyai perkakas
mogok, tetapi Rakyat Filipina, sebab waktu revolusi industri belum maju,
terpaksa langsung bertanding di medan peperangan, yang menuntut korban 100.000
jiwa mereka.
Kita lebih besar membayar pajak dari
Filipina di bawah Spanyol, yang sekarang lebih besar dari bangsa apapun juga
di dunia.
Kita masih bisa dan tetap akan bisa
menaburkan benih revolusi, karena kita cukup mempunyai propagandisten dan surat
kabar yang dibantu oleh kereta dan kapal. Sedangkan di Filipina Rizal yang
memimpin La Liga Filipina yang sejinak B.O itu ditembak, dan propaganda terutama
harus dijalankan dari luar negeri, Banifacio harus menjalankan propagandanya di
Filipina dengan sangat rahasia sekali serta dengan kaki atau sampan kecil saja.
Buku-buku dan surat kabar revolusioner, karangan Rizal, Del Pilar, d.s.g. yang
dimasukan dengan rahasia sekali dari Spanyol, Hong-Kong dan Singapore,
dibacakan oleh pasukan bacaan, yang membacakan pada Rakyat yang tak pandai
membaca itu dalam rahasia sekali, karena pemerintah menghukum dan menyiksa
keras si pembaca atau si punya buku dan surat kabar itu.
Walaupun Rakyat Filipina lebih dalam
kecelakaan dari pada kita, ia toh bisa dan berani menentang Spanyol dan Amerika
lamanya 3 tahun dan acap kali mengalahkan tentara kedua negeri yang sangat
teratur itu.
Kita satu menitpun tak ada syak
(keraguan) dan waham (ketidakpercayaan), bahwa kalau Rakyat Indonesia cukup
sadar dalam hal politik (politik bewust) dan sudah tunggang mau merebut haknya
baik ekonomi ataupun politik, juga dengan tangan dan batu saja bisa mengusir
Belanda yang dua tiga biji itu dan menolak semua musuh dari luar negeri.
Disini tiada tempatnya buat
membicarakan perkakas kita yang baik kita pakai, kalau Mogok dan demonstrasi
kelak sudah melewati batas perdamaian dan sampai sendirinya ke tingkat
perkelahian senjata. Memang kita di negeri semacam Indonesia cukup menyimpan
senjata, yang segera akan kelihatan, apabila Rakyat yang 55.000.000 juta itu
betul-betul sadar politik dan sama sekali keputusan jalan damai. Ringkasnya,
kalau semuanya Buruh, Tani, Saudagar, Student, Penduduk kota, Jongos,
Shauffeur, Serdadu, Matros, Tukang Cukur, Koki d.s.g mau merebut
kemerdekaan dan rela mengorbankan jiwa seperti Rakyat Filipina tempo hari, maka
kemerdekaan kita letaknya di ujung pena saja: "Besok Republik Indonesia
bisa ditabalkan (diproklamasikan)."
5. Rapat Rakyat Indonesia.
Saat kita buat Massa Aksi itu
sewaktu-waktu bisa datang. Krisis ekonomi dan politik yang sekarang sudah
begitu dalam akan bertambah dalam lagi, kalau umpamanya datang bahaya kelaparan
dan bahaya penyakit. Juga sikap reaksioner dari pemerintah sekarang ini sangat
memperdalam permusuhan antara Belanda dan Rakyat.
Kalau Rakyat sempurna sadar akan
haknya sebagai manusia, maka semua pembuangan dan tutupan yang sewenang-wenang
itu kelak segera akan dibalas oleh Rakyat sendirinya. Kalau umpamanya Pimpinan
melarang perbuatan semacam itu, maka Pimpinan itu sendiri akan dilemparkan oleh
Rakyat dan akan diganti oleh Rakyat sendiri dengan pimpinan baru.
Kalau pemerintah melarang membuat
pertemuan, demonstrasi & mogok, maka ia tiada akan memperdulikan perintah
itu lagi, melainkan terus keluar memperlihatkan tiada senangnya dengan
peraturan yang ada.
Kalau pemerintah mengirim Polisi dan
Serdadu, maka Rakyat yang betul betul sadar itu sendirinya akan mendekati
Serdadu dan Polisi itu. Kalau mereka itu tak mau memihak kepada Rakyat, maka
Rakyat akan mengadakan Pasukan-Merah sendiri, mencari senjata sendiri dan
bekerja sendiri buat mempertahankan Mogok, Pertemuan, dan demonstrasi.
Kalau Pemerintah terus memakai
"Tangan Besi" dan tiada menimbang permintaan Rakyat (yang mengisi
perutnya hamba-hamba Pemerintah itu), tetapi Rakyat belum berani melawan
berterang-terangan, maka ia akan sendirinya berjalan gelap-gelap. Seperti di
Mesir, India dan Irlandia juga di Indonesia akan kejadian sabotase, racun-meracun
dan bunuh-membunuh dengan rahasia sekali.
Semangat revolusi itu, kalau sudah
menjadi darah daging Rakyat melarat tiadalah bisa dibunuh dengan hukum atau
peluru lagi. Kalau semangat revolusi itu sudah masuk di semua kasta dan
sekalian pulau, maka datanglah saatnya buat memanggil Rapat Rakyat Indonesia.
Proletar, Tani, Student, Saudagar
dan Serdadu haruslah dengan atau tanpa izin Pemerintah, memilih dan mengirimkan
Wakil ke suatu tempat di Indonesia buat Rapat atau Pertemuan.
Rapat Rakyat ini akan membuat Hukum
untuk Rakyat Indonesia, dan kalau pemerintah Belanda tak suka menjalankan atau
mengaku hukum itu dan tak suka pergi (sudah tentu is tak suka!!), maka Rapat
Rakyat itu mesti sendirinya menjalankan. Kalau Pemerintah mengirim laskarnya,
maka Rakyat mesti sudah bisa menjawab kiriman pemerintah itu dengan sepatutnya
(baik dengan propaganda dalam laskar itu sendiri, baikpun dengan Tentara
Merah).
Memanggil Rapat Rakyat itu artinya
mengirim ultimatum atau menentang Pemerintah sekarang, yang kita sudah yakin
tak bisa mengurus terus ekonomi dan politik negeri dan tak disukai lagi oleh
Rakyat. Panggilan kita itu haruslah dikeraskan oleh kemauan dan perbuatan
Rakyat, yang sudah terbukti pada Mogok Umum dan demonstrasi, yang tak
memperdulikan korban lagi dan dimana seluruh Rakyat melarat memperlihatkan
ketetapan hati dan kegiatan. Dalam hal ini Rapat Rakyat itu, seolah-olah
mahkotanya aksi kita dalam politik.
Tentulah Rapat Rakyat itu baru bisa
dipanggil kalau sudah lahir alamat dan tanda-tanda, bahwa Rakyat melarat sudah
matang revolusioner::
"Umpamanya kalau mogok,
pertemuan dan demonstrasi, walaupun dilarang bisa diteruskan (tentulah kalau
pimpinan merasa perlu...). Kalau tuntutan ekonomi dan politik dalam mogok dan
demonstrasi sudah kelihatan terasa dan termakan betul oleh seluruh Rakyat.
Misalnya buruh tetap menuntut tambah gaji, sebagian dari untung, merdeka
bergerak, dan disana sini sudah mendirikan dewan buruh atau rapat buruh buat
menguruskan hasil serta sudah merebut pabrik atau kebun terutama di SOLO-VALLEY,
atau Daerah Kali Solo, yakni pusatnya ekonomi Indonesia. Kalau berhari dan
berbulan (seperti di Mesir, India, Tiongkok, Jerman dan Rusia) Rakyat Indonesia
berdemonstrasi menuntut di hapuskan pajak, menuntut Algemeen Kiesrech (hak umum
untuk memilih - catatan editor), Rapat-Rakyat, Kemerdekaan dan tuntutan politik
dll. Kalau Rakyat yang 55 juta itu, lebih suka mati dari pada hidup seperti
budak dan ketawa melihat kuda dan karet polisi. Kalau bui dibongkar dan
pemimpin dikeluarkan. Kalau buruh kereta dan kapal mungkir membawa pemimpinnya
ke tempat buangan. Kalau kaum serdadu mungkir menindas pergerakan dan mungkir
menembak Rakyat yang tak bersenjata dan tak bersalah itu. Kalau Belanda tidur
dengan pistol di tangannya, dan tak berani makan, kalau makanannya tidak
diperiksa oleh dokter lebih dahulu..."
Inilah semuanya tanda dan alamat,
bahwa semangat revolusi itu sudah berurat dalam dan menjalar kemana-mana, serta
tiada bisa diobat lagi, kecuali dengan kemerdekaan.
Barulah datang saatnya buat pimpinan
revolusioner itu menimbang kekuatan kawan dan lawan, mengumpulkan Tentara
Nasional dan mengerahkan tentara itu terhadap kepada musuh di dalam dan di luar
negeri.
Sebelumnya saat buat bertanding
habis-habisan itu datang, maka pekerjaan kita yang terutama terus:
"Pertama Agitasi, kedua Agitasi dan ketiga Agitasi."
Kalau Bonifacio, seorang proletar
tulen, dengan jiwa selalu terancam dan dimana perkakas buat propaganda dan
agitasi belum secukup di Indonesia bisa mengadakan Nasional Organisasi pada
beratus-ratus kepulauan Filipina, maka kita di Indonesia Selatan dengan jiwa 55
juta dan perkakas lahir batin lebih dari cukup, tak boleh lekas putus asa dan
tak boleh lekas menyimpang dari jalan yang betul.
Kita, sebagai Kaum Marxis, mesti
tinggal bersandar pada keperluan, kemauan dan kekuatan massa, yakni Rakyat
melarat dan kalau mereka belum masak-revolusioner dan belum siap menentang
musuh dalam dan luar negeri yang sangat teratur itu, maka kita tak boleh
diprovokasi oleh musuh, yakni tertipu bertarung pada tempat dan saat yang tidak
kita kehendaki.
Semua pemberontakan Indonesia, kalau
Rakyat belum matang revolusioner akan sia-sia belaka. Semua macam
"putch" (pemberontakan tiba-tiba dari satu golongan kecil) harus kita
singkiri dan musuhi. Kalau pemberontakan semacam itu sekiranya menang, maka
Indonesia merdeka itu akan segera jatuh di tangan seorang militer. Dalam hal
ini tiadalah politik dan rakyat yang berkuasa melainkan tangan besi seorang
Militer. Hal ini terjadi di Tiongkok pada tahun 1911, dimana kekuasaan politik
segera lepas dari Dr. Sun Yat Sen dan jatuh di tangan Yuan Shi Kai & Co.
Aksi ekonomi dan politik yang
menempuh Rapat Rakyat itulah buat kita jalan yang tentu dan sentosa buat
merebut kemerdekaan, menjatuhkan segala kekuasaan negeri pada Kaum politik, dan
menghindarkan diktaturnya dan tindasan Kaum Militer dari bangsa Indonesia
sendiri.
6. Revolusioner Komunis.
Pada suatu negeri yang banyak
mengandung sisa feodalisme, serta bibit kapitalisme, seperti Indonesia,
sangatlah susah sekali buat menjadi komunis. Sisa feodalisme membawa agama dan
politik, yang walaupun bisa revolusioner (seperti Dipo Negoro) tetapi sifatnya
feodalistis. Demikianlah B.O & N.I.P yang percaya, bahwa Kerajaan cara
Majapahit bisa dibangunkan lagi atau S.I yang dulunya percaya, bahwa Kerajaan
Islam dan Kalifatullah yakni peraturan feodalisme akan bisa dibangunkan lagi.
Kapitalisme jajahan yang masih muda
di negeri kita itu, mengandung bermacam-macam bibit pula. Ada yang bersifat
kapitalistis, seperti juga terbawa oleh 3 partai yang tersebut diatas tadi,
yang menghendaki modal Indonesia. Buruhnya yang masih muda itu ada pula
mengandung anarkisme, yakni paham borjuis kecil yang dikalahkan oleh
Modal-Besar. Demikianlah Anarkis di Eropa, yang hidup pada zaman yang lalu
seperti Waffling, Proudon, Bakunin d.s.g mewakili kasta borjuis kecil atau
kasta buruh yang kemarinnya borjuis kecil. Sebab borjuis kecil itu individualis
(berdiri sendiri), karena ia si berpunya kecil, maka perkakasnya bertarung juga
individualistis (memakai bom) dan tak tahu bersama-sama.
Tetapi buruh industri model baru,
yang selalu kerja bersama-sama dan berdisiplin (karena kapitalisme memaksa
begitu), membawa wataknya bersama itu menentang kapitalisme. Sebab itulah pada
buruh industri, dan cuma pada buruh industri saja terbawa "kerja
bersama" dan "bertarung bersama" dan dengan didikan lekas bisa
hilang individualisme. Makin maju kapitalisme makin hilang anakisme (seperti
Inggris dan Jerman) dan makin maju "kerja bersama" dan "aksi
Bersama."
Jadi revolusioner agama, feodalistis,
revolusioner hartawan dan anarkistis cuma perkara yang lalu, yang besok kalau
industri maju, akan hilang seperti abu ditiup angin, dan berganti dengan
revolusioner komunis.
Dasarnya revolusioner komunis,
tiadalah perasaan, seperti pada revolusioner yang lain-lain tadi, melainkan
pengetahuan. Adanya revolusi kita percaya, karena perbantahan kasta. Di
Indonesia karena kasta modal Belanda tak bisa kompromi dengan Rakyat Indonesia.
Datangnya revolusi tidak tiba-tiba jatuh dari langit, melainkan kalau Krisis
ekonomi dan politik sudah cukup dalam dan Rakyat sudah cukup sadar. Revolusi
itu bisa berhasil, kalau banyak dan kualitas anggota, dan pengaruhnya partai
kita sudah mencukupi.
Kalau keadaan ekonomi dan politik
sudah cukup matang-revolusioner, tetapi Rakyat dan Partai kita belum siap, maka
kita komunis mesti bisa menahan perasaan kita sebagai individu, menyingkiri
segala percobaan avonturisme atau sia-sia dan menunggu bertarung sampai Rakyat
dan Partai kita siap. Tiadalah sekejap kita boleh ditarik perasaan, melainkan
tetap berdiri atas pengetahuan. Tentu kita menjunjung tinggi keberanian Partai
kita, kalau disana atau sini didorong oleh musuh.
Imperialis putih ialah, politik
Amerika semacam itu akan atau Bangsawan yang berarti banyaknya dan kekayaannya
tetapi tidak seperti individu, melainkan bersama dengan Massa dan buat Rakyat
Melarat itu pula. Aksi dan keberanian individual buat kita sangat sedikit
harganya.
Kalau keadaan ekonomi & politik
umpamanya sementara berubah baik, dan Rakyat jadi sementara lembek, maka kita
tak boleh jadi refomis, seperti Sosial Demokrat atau jadi mata gelap seperti
anarkis, melainkan tetap meneruskan Aksi revolusioner yang sepadan dengan
keadaan. Kita tahu, bahwa Kapitalisme tak bisa mengatur negeri dan besoknya
krisis mesti datang lagi.
Strategi kita tiadalah bersandar
atas perasaan, seperti kebangsaan atau keberanian sebagai individu (melemparkan
bom), melainkan bersandar pada pengetahuan tentangan ekonomi & politik
Negeri dan pengetahuan yang dalam sekali atas psikologi atau tabiat Rakyat
kita, tabiat mana turun naik sepadan dengan keadaan ekonomi. Bagaimana keadaan
industri, pertanian dan perniagaan serta sikapnya imperialisme Belanda haruslah
kita ketahui betul, karena keadaan inilah yang menurun naikkan semangat
revolusionernya seluruh Rakyat melarat.
Kalau krisis dalam, rakyat melarat
matang revolusioner. Partai kita sempurna mempunyai kekuatan, disiplin dan
pengaruh, serta musuh di dalam dan di luar negeri kebingungan, maka barulah
General Staff kita mengumpulkan segala kekuatan yang ada dan mengorbankan
tenaga dan jiwa buat kemerdekaan sebagai bangsa dan sebagai kasta..
Hai Rakyat Melarat !!
Berapa lamakah lagi kamu mau
menderita injakan dan tindasan semacam ini? Tiadakah kamu tahu bahwa sangat
besar kekuatan mu yang tersembunyi? Tiadakah kamu insaf, bahwa kerukunanmu
artinya kemerdekaan buat kamu dan keturunanmu? Beranikah kamu terus hidup dalam
perbudakan dan menyarankan anak cucumu juga jadi budak ?
Hai Kawan-Kawan Separtai !!
Ketahuilah, bahwa Rakyat kita, yang
beribu tahun diajar jongkok, yang belum pernah mempunyai hak sebagai manusia
itu tak mudah dididik. Janganlah kamu putus asa, kalau daya upayamu tidak lekas
memperlihatkan hasil yang nyata. Teruskan pekerjaanmu yang maha-mulia itu, di
tengah-tengah ratap tangis Rakyat melarat. Teruskan pekerjaanmu, walaupun bui,
buangan, tonggak gantungan selalu mengancam. Ketahuilah, bahwa didikan itulah
yang sangat ditakuti oleh musuh kita. Karena tak ada bangsa atau kasta yang
mengerti di dunia ini yang rela ditindas dan dihisap...
Kawan-Kawan !!!
Janganlah segan belajar dan membaca!
Pengetahuan itulah perkakasnya Kaum Hartawan menindas kamu. Dengan pengetahuan
itulah kelak kamu bisa merebut hakmu dan hak Rakyat. Tuntutlah pelajaran dan
asahlah otakmu dimana juga, dalam pekerjaanmu, dalam bui ataupun buangan!
Janganlah kamu sangka, bahwa kamu sudah cukup pandai dan takabur mengira sudah
kelebihan kepandaian buat memimpin dan menyelamatkan 55 juta manusia, yang
beribu-ribu tahun terhimpit itu. Insaflah bahwa pengetahuan itu kekuasaan. Ada
kalanya kelak dari kamu, Rakyat melarat itu akan menuntut segala macam
pengetahuan, seperti dari satu perigi yang tak boleh kering. Bersiaplah !!
Kalau saatnya datang, berdirilah
tegak di tengah-tengah Rakyat, menentang peluru dan bayonetnya musuh. Jangan
dilupakan ideal kita komunis: "Menang atau mati dalam Massa Aksi."
Di tanganmu tergenggam
Kemerdekaan-Indonesia, yakni Kekapaan, Keselamatan, Kepandaian dan Peradaban...
Kamu Kaum Revolusioner !!
Kelak Rakyat keturunanmu dan Angin
Kemerdekaan akan berbisik-bisik dengan bunga-bungaan di atas kuburanmu:
"Disini bersemayam Semangat Revolusioner"
Tokyo, Januari 1926.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar