|
||
Jadi Pertanyaan, apa sebenarnya
"nasionalisme" yang sering kita dengar atau mungkin sering kita
bicarakan dan bahkan sama sekali kita lupakan? Memang sudah kebiasaan
masyarakat kita untuk mengambil yang mudah-mudah: nasionalisme adalah rasa cinta
tanah air, atau sebentuk kebanggaan dengan menampilkan warna 'merah-putih' dan
lambang garuda di jaket. Bolehlah seperti itu, tapi apa harus berhenti disitu?
Apa makna 'nasionalisme' sesungguhnya? Tentunya harus melihat perwujudan dari
nasionalisme itu sendiri.
Perwujudan nasionalisme tidak harus
dengan "anti-antian' terhadap produk budaya asing, toh istilah
'nasionalisme' sendiri juga merupakan produk budaya asing. Nasionalisme: dari
kata 'nation' yang berarti bangsa/kebangsaan dan 'isme' yang selalu dipakai
untuk menunjuk paham/ajaran/aliran. Berarti nasionalisme disini adalah paham
kebangsaan atau ajaran kebangsaan.
Wujud nasionalisme Indonesia adalah
pancasila, falsafah atau ajaran bangsa yang tidak sedang dimonopoli oleh partai
politik yang sepertinya juga sedang lupa untuk terus mengkampanyekan
"ajaran bangsa" ini. Pun bukan warisan dari salah satu ajaran agama
yang ada, salah besar kalau ada anggapan seperti itu, pancasilanya Majapahit
dan pancasilanya Indonesia sudah berbeda. Tentang ini nanti kalau ada
kesempatan bisa kita bicarakan lebih lanjut, yang pasti sementara yang saya
ketahui ajaran pancasila yang masih digunakan dalam agama Budha adalah
pancasila yang berisi anjuran dalam 'samadiy'-sementara belum saya
mengerti tentang istilah 'samadiy' ini, apakah sama dengan 'semedi' atau
mengheningkan cipta dalam bahasa Indonesia. Cukuplah dulu diketahui bahwa
istilah pancasila adalah istilah yang diperkenalkan oleh Ir. Soekarno dalam
pidatonya tertanggal 1 Juni 1945 dan digunakan untuk menyebut lima dasar negara
Indonesia merdeka, yang pasti tidaklah sama antara keduanya yaitu antara
pancasilanya Indonesia
Kenapa harus pancasila? Sebab inilah
kesepakatannya, kesepakatan bahwa kita adalah bangsa yang berketuhanan Yang
Maha Esa, berperikemanusiaan, bersatu atas dasar musyawarah dan berkeadilan.
Lalu bagaimana 'nasionalisme ala pancasila' ini? Tentunya dapat kita kaji
intisari dari pancasila yang lima sila ini.
Berangkat dari pendapat Soekarno
tentang pancasila, bagi soekarno pancasila yang lima sila ini dapat diperas
menjadi trisila yaitu sosionasionalisme, sosiodemokrasi dan ketuhanan Yang Maha
Esa. Sosionasionalisme adalaha gagasan yang dirumuskan Soekarno tentang
nasionalisme yang layak diterapkan di Indonesia.
Dalam artikel yang ia tulis tahun 1932,
Demokrasi-Politik dan Demokrasi Ekonomi, Soekarno menyinggung inti dari
sosio-nasionalisme yang ia rumuskan;
“Nasionalisme kita haruslah
nasionalisme yang tidak mencari gebyarnya atau kilaunya negeri keluar saja,
tetapi haruslah mencari selamatnya manusia.. Nasionalisme kita haruslah lahir
daripada ‘menselijkheid’. Nasionalismeku adalah nasionalisme kemanusiaan,
begitulah Gandhi berkata,
Nasionalisme kita, oleh karenanya,
haruslah nasionalisme yang dengan perkataan baru yang kami sebut: sosio-nasionalisme.
Dan demokrasi yang harus kita cita-citakan haruslah demokrasi yang kami
sebutkan: sosio-demokrasi”.
Jelas sudah bahwa nasionalisme
Indonesia haruslah nasionalisme yang bertujuan mencapai kebahagiaan umat
manusia dan bukannya nasionalisme yang mengagung-agungkan negeri ini di kancah
internasional saja. Maka dari itu, Soekarno menginginkan yang menjadi landasan
nasionalisme Indonesia adalah kemanusiaan. Bukan pula nasionalisme yang
mengisolasi dirinya terhadap dunia luar. Sosionasionalisme secara singkat
adalah nasionalisme yang tidak hanya mencintai tanah airnya semata tapi lebih
mendasarkan diri pada kecintaan terhadap rakyat jelata dan nasionalisme yang
memperjuangkan nasib rakyat jelata, yang dengan demikian adalah nasionalisme
yang memperjuangkan perbaikan hidup sesama.
Sosiodemokrasi adalah demokrasi yang
tidak sama dengan demokrasinya liberal yang hanya mengurusi kehidupan politik,
tapi demokrasi yang mengurusi juga kehidupan ekonomi dan sosial budaya, yang
berarti segala urusan kemasyarakatan, bangsa dan negara adalah diatur secara
gotong royong baik kehidupan ekonominya, politiknya dan sosial budayanya, jadi
pada dasarnya tidak berlaku apa yang disebut individualistis di
Indonesia.
Ketuhanan Yang Maha Esa, sekiranya
sudah cukup jelas hal ini, bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang bertuhan,
bangsa yang beragama meskipun bukan merupakan negara agama. Sekiranya cukup
pulalah dengan bertuhan, tetap mengakui eksistensi Tuhan maka segala
masalah-persoalan terselesaikan, tapi sering kita temui masyarakat kita sering
lupa akan Tuhan, bahkan kita sendiri juga seringnya lupa kalau bertuhan,
banyaknya kasus korupsi yang terungkap bukannya mengeliminir tindakan korupsi
tersebut, yang terjadi adalah malah menghebatnya kasus-kasus korupsi yang
menunjukkan bahwa Tuhan serasa hilang dibenak kita. Saya katakan kita, sebab
diam-diam terkadang kita pun turut bermental maling, "mumpung ngg'ada yang
lihat nyuri dulu ah..." atau "... maksiat dulu lah..."
Lebih lanjut dari trisila ini menurut Soekarno juga
masih dapat diperas menjadi eka sila: gotong royong, inilah inti dari pancasila
yang telah disepakati lahir pada tanggal 1 Juni 1945. Sebagaimana semboyan yang
melekat pada lambang Negara garuda pancasila yaitu “bhineka tunggal ika” yang
lengkapnya “bhineka tunggal ika, tan hanna dharma mangrwa” yang berarti
“berbeda-beda tetapi tetap satu jua, tidak ada kebenaran yang mendua” atau
berbeda tapi tetap satu, gotong royong yang utama.
Demikian nasionalisme Indonesia yang seharusnya
berbeda dengan nasionalisme Eropa, nasionalime yang tidak hanya sekedar
kebanggan dan rasa cinta tanah air semata, tapi nasionalisme yang atas dasar
kegotong royongan, yaitu nasionalisme yang memperjuangkan perbaikan hidup sesama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar