Seabad yang lampau berkumpulah para pemuda senusantara membahas
arti penting kebersamaan dalam perjuangan. Mengingat perjuangan
bersifat kedaerahan dengan mudah dipatahkan dan dininabobokan oleh
penguasa kolonial Belanda. Kesadaran sebagai sebuah bangsa yang satu
adalah modal yang penting menuju cita cita Indonesia merdeka. Para
pemuda sepakat untuk saling menegasikan segala perbedaan demi cita cita
yang mulia menuju sebuah bangsa yang bermartabat, berdaulat dan
berkeadilan sosial bagi warga negara kelak .
Gagasan yang kemudian dikenal sebagai sumpah pemuda menjadi tonggak
perjuangan bahgsa. Kesadaran neuron dalam berjejaring tumbuh seiring
kesadaran kolektifisme. Mengingat kaum menengah terpelajar yang dikirim
ke Eropa juga misi haji yang muatannya berdimensi sosial politik,
pentingnya negara merdeka dan berdaulat. Diikuti pendirian organisasi
kepemudaan dan partai politik baik moderat maupun garis keras. Momentum
kesadaran sebagai sebuah bangsa yang senasib sepenanggungan melahirkan
perasaan dan pendirian arti penting persamaan. Terlibatlah di dalamnya
ahli hukum, anggota volksraad, para dokter pribumi dan sekiranya para
pemuda yang memandang penting sebuah persatuan menuju negara merdeka.
(5 Sept 2012)
Ternyata nasionalisme kita jauh melampaui seperti yang tertulis
dalam sejarah resmi sekolahan. Nasionalisme kita berkumandang sejak
Sriwijaya dan semakin gilang gemilang ketika Majapahit berhasil dengan
ekspedisi nusantara. Sebagian besar wilayah asia tenggara saat sekarang
takluk dibawah panji Majapahit. Artinya sebagai bawahan maka kerajaan
se nusantara wajib membayar upeti sebagai bentuk kesetiaan kepada
Majapahit. Begitu juga para wanita cantik sebagai persembahan kepada
raja-raja Majapahit. Lantas apa yang tertinggal tidak lain dan tidak
bukan cerita panji dan keris.
Lho kok cerita panji dan keris so what
gitu loh "apa kaitan antara hal tersebut di atas dengan nasionalisme?"
Penulis terkesan seolah-olah mencari alasan pembenaran atau sedang
berdemagogy, Padahal sebagai bagian budaya nusantara kita wajib dan
berusaha sungguh-sungguh melestarikan warisan tradisi leluhur budaya
bangsa. Ini seolah-olah reasonable dan acceptable, silahkan bagi yang
bergeming dan menolak mentah-mentah. Tengoklah jiran kita sebelah,
sebagai negara yang gemah ripah loh jinawi okelah kita angkat
topi.
Namun untuk menjadi sebuah bangsa yang besar seperti Indonesia,
eiiiitssss tunggu dulu masbro, mbaksis dan saudara sebangsa setanah air.
Ini bukan sulap bukan sihir, ini bukan simsalabim abrakadabra, ini
bukan hasil peradaban bangsa yang haram jadah. Ini peradaban adalah
hasil proses berbangsa yang berbudaya luhur sejak berabad-abad silam
lamanya. Cobalah tengok warisan tradisi nusantara mulai dari tarian,
puisi dan karya satra lain, waow kita akan menemukan berjuta tradisi
nusantara yang kaya raya.
Ini pula yang menjadi landasan bangsa kita
indonesia merdeka dan berdaulat berbudaya adiluhung, krisis identitas
itulah the symbol of excelent jiran kita yang tercinta (maaf saudaraku
di Malaysia). Sebagai sebuah bangsa yang besar maka nasionalisme kita
adalah upaya yang sungguh-sungguh dan berkelanjutan melestarikan
tradisi. Maka nasionalisme tidak selalu identik dengan angkat senjata,
ganyang Malaysia, atau wajib militer. Nasionalisme Indonesia adalah
pengayom bagi segala peradaban umat manusia. Inilah mengapa kiranya
semboyan Bhineka Tunggal Ika kita pertahankan mati-matian lantaran
menjadi bangsa majemuk bukanlah aib atau kutukan. Melainkan kita saling
belajar dan saling, memperkaya satu sama lain.
Kiranya demikian adanya
bahwa nasionalisme adalah penghargaan yang setulusnya kepada
kemanusiaan yang adil beradab dan berketuhanan. Semoga kita tidak bosan
bosan menitipkan pesan bahwa nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme
berbudaya. Didalamnya mengandung penghargaan martabat, harga diri
sebagai sebuah bangsa. Lantas apa implementasi atau wujud nyata
nasionalisme kita. Kiranya perlu kita bangun lagi kita pupuk lagi
kesadaran dan kedaulatan sebagai sebuah bangsa, bukan dengan revolusi
fisik namun penataan ulang sendi-sendi fundamental dalam berbangsa.
Marilah kita satukan tekad kita bulatkan niat, berbaris beriring
menuju Indonesia yang lebih baik. Seruan-seruan moral haruslah terus
diteriakkan sekalipun serak dan bernada sumbang.
(19 Sept 2012)
Tony Herdianto
Warung kopi, tempat paling nyaman untuk berekspresi, wilayah kedaulatan dari bangsa yang bermartabat dalam alam demokrasi
Rabu, 19 September 2012
Minggu, 02 September 2012
Pancasila sebagai wajah 'nasionalisme' Indonesia
|
||
Jadi Pertanyaan, apa sebenarnya
"nasionalisme" yang sering kita dengar atau mungkin sering kita
bicarakan dan bahkan sama sekali kita lupakan? Memang sudah kebiasaan
masyarakat kita untuk mengambil yang mudah-mudah: nasionalisme adalah rasa cinta
tanah air, atau sebentuk kebanggaan dengan menampilkan warna 'merah-putih' dan
lambang garuda di jaket. Bolehlah seperti itu, tapi apa harus berhenti disitu?
Apa makna 'nasionalisme' sesungguhnya? Tentunya harus melihat perwujudan dari
nasionalisme itu sendiri.
Perwujudan nasionalisme tidak harus
dengan "anti-antian' terhadap produk budaya asing, toh istilah
'nasionalisme' sendiri juga merupakan produk budaya asing. Nasionalisme: dari
kata 'nation' yang berarti bangsa/kebangsaan dan 'isme' yang selalu dipakai
untuk menunjuk paham/ajaran/aliran. Berarti nasionalisme disini adalah paham
kebangsaan atau ajaran kebangsaan.
Wujud nasionalisme Indonesia adalah
pancasila, falsafah atau ajaran bangsa yang tidak sedang dimonopoli oleh partai
politik yang sepertinya juga sedang lupa untuk terus mengkampanyekan
"ajaran bangsa" ini. Pun bukan warisan dari salah satu ajaran agama
yang ada, salah besar kalau ada anggapan seperti itu, pancasilanya Majapahit
dan pancasilanya Indonesia sudah berbeda. Tentang ini nanti kalau ada
kesempatan bisa kita bicarakan lebih lanjut, yang pasti sementara yang saya
ketahui ajaran pancasila yang masih digunakan dalam agama Budha adalah
pancasila yang berisi anjuran dalam 'samadiy'-sementara belum saya
mengerti tentang istilah 'samadiy' ini, apakah sama dengan 'semedi' atau
mengheningkan cipta dalam bahasa Indonesia. Cukuplah dulu diketahui bahwa
istilah pancasila adalah istilah yang diperkenalkan oleh Ir. Soekarno dalam
pidatonya tertanggal 1 Juni 1945 dan digunakan untuk menyebut lima dasar negara
Indonesia merdeka, yang pasti tidaklah sama antara keduanya yaitu antara
pancasilanya Indonesia
Kenapa harus pancasila? Sebab inilah
kesepakatannya, kesepakatan bahwa kita adalah bangsa yang berketuhanan Yang
Maha Esa, berperikemanusiaan, bersatu atas dasar musyawarah dan berkeadilan.
Lalu bagaimana 'nasionalisme ala pancasila' ini? Tentunya dapat kita kaji
intisari dari pancasila yang lima sila ini.
Berangkat dari pendapat Soekarno
tentang pancasila, bagi soekarno pancasila yang lima sila ini dapat diperas
menjadi trisila yaitu sosionasionalisme, sosiodemokrasi dan ketuhanan Yang Maha
Esa. Sosionasionalisme adalaha gagasan yang dirumuskan Soekarno tentang
nasionalisme yang layak diterapkan di Indonesia.
Dalam artikel yang ia tulis tahun 1932,
Demokrasi-Politik dan Demokrasi Ekonomi, Soekarno menyinggung inti dari
sosio-nasionalisme yang ia rumuskan;
“Nasionalisme kita haruslah
nasionalisme yang tidak mencari gebyarnya atau kilaunya negeri keluar saja,
tetapi haruslah mencari selamatnya manusia.. Nasionalisme kita haruslah lahir
daripada ‘menselijkheid’. Nasionalismeku adalah nasionalisme kemanusiaan,
begitulah Gandhi berkata,
Nasionalisme kita, oleh karenanya,
haruslah nasionalisme yang dengan perkataan baru yang kami sebut: sosio-nasionalisme.
Dan demokrasi yang harus kita cita-citakan haruslah demokrasi yang kami
sebutkan: sosio-demokrasi”.
Jelas sudah bahwa nasionalisme
Indonesia haruslah nasionalisme yang bertujuan mencapai kebahagiaan umat
manusia dan bukannya nasionalisme yang mengagung-agungkan negeri ini di kancah
internasional saja. Maka dari itu, Soekarno menginginkan yang menjadi landasan
nasionalisme Indonesia adalah kemanusiaan. Bukan pula nasionalisme yang
mengisolasi dirinya terhadap dunia luar. Sosionasionalisme secara singkat
adalah nasionalisme yang tidak hanya mencintai tanah airnya semata tapi lebih
mendasarkan diri pada kecintaan terhadap rakyat jelata dan nasionalisme yang
memperjuangkan nasib rakyat jelata, yang dengan demikian adalah nasionalisme
yang memperjuangkan perbaikan hidup sesama.
Sosiodemokrasi adalah demokrasi yang
tidak sama dengan demokrasinya liberal yang hanya mengurusi kehidupan politik,
tapi demokrasi yang mengurusi juga kehidupan ekonomi dan sosial budaya, yang
berarti segala urusan kemasyarakatan, bangsa dan negara adalah diatur secara
gotong royong baik kehidupan ekonominya, politiknya dan sosial budayanya, jadi
pada dasarnya tidak berlaku apa yang disebut individualistis di
Indonesia.
Ketuhanan Yang Maha Esa, sekiranya
sudah cukup jelas hal ini, bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang bertuhan,
bangsa yang beragama meskipun bukan merupakan negara agama. Sekiranya cukup
pulalah dengan bertuhan, tetap mengakui eksistensi Tuhan maka segala
masalah-persoalan terselesaikan, tapi sering kita temui masyarakat kita sering
lupa akan Tuhan, bahkan kita sendiri juga seringnya lupa kalau bertuhan,
banyaknya kasus korupsi yang terungkap bukannya mengeliminir tindakan korupsi
tersebut, yang terjadi adalah malah menghebatnya kasus-kasus korupsi yang
menunjukkan bahwa Tuhan serasa hilang dibenak kita. Saya katakan kita, sebab
diam-diam terkadang kita pun turut bermental maling, "mumpung ngg'ada yang
lihat nyuri dulu ah..." atau "... maksiat dulu lah..."
Lebih lanjut dari trisila ini menurut Soekarno juga
masih dapat diperas menjadi eka sila: gotong royong, inilah inti dari pancasila
yang telah disepakati lahir pada tanggal 1 Juni 1945. Sebagaimana semboyan yang
melekat pada lambang Negara garuda pancasila yaitu “bhineka tunggal ika” yang
lengkapnya “bhineka tunggal ika, tan hanna dharma mangrwa” yang berarti
“berbeda-beda tetapi tetap satu jua, tidak ada kebenaran yang mendua” atau
berbeda tapi tetap satu, gotong royong yang utama.
Demikian nasionalisme Indonesia yang seharusnya
berbeda dengan nasionalisme Eropa, nasionalime yang tidak hanya sekedar
kebanggan dan rasa cinta tanah air semata, tapi nasionalisme yang atas dasar
kegotong royongan, yaitu nasionalisme yang memperjuangkan perbaikan hidup sesama.
Jumat, 20 Juli 2012
Kiri Islam, Islam dan sosialisme
Sosialisme, muncul sebagai reaksi terhadap kondisi buruk yang dialami rakyat di bawah sistem kapitalisme-liberal yang tamak dan murtad. Kondisi buruk terutama dialami kaum pekerja atau buruh yang bekerja di pabrik-pabrik dan pusat-pusat sarana produksi dan transportasi. Sejumlah kaum cendekiawan muncul untuk membela hak-hak kaum buruh dan menyerukan persamaan hak bagi semua lapisan, golongan dan kelas masyarakat dalam menikmati kesejahteraan, kekayaan dan kemakmuran. Mereka menginginkan pembagian keadilan dalam ekonomi Di antara tokoh-tokoh awal penganjur sosialisme dapat disebut antara lain: St. Simon (1769-1873), Fourisee (1770-1837), Robert Owen (1771-1858) dan Louise Blane (1813-1882). Setelah itu baru muncul tokoh-tokoh seperti Proudhon, Marx, Engels, Bakunin dan lain sebagainya.
Pada akhir abad ke-19 sosialisme dan berbagai alirannya mulai mendapat penerimaan luas di Eropa. Ini disebabkan karena mereka tidak hanya melontarkan ide-ide dan mengembangkan wacana di kalangan intelektual dan kelas menengah, tetapi juga terutama karena mengorganisir gerakan-gerakan bawah tanah yang radikal dan bahkan revolusioner.
Walaupun faham sosialisme atheis ditolak oleh para cendikiawan dan ulama, sejumlah cendekiawan Muslim sendiri memandang bahwa dalam Islam sebenarnya terkandung ajaran ‘semacam sosialisme’. Ajaran ini tidak hanya terpendam sebagai cita-cita, tetapi malah telah dipraktekkan pada masa hidup Nabi dan khalifah al-rasyidin. Di antara cendikiawan Muslim abad ke-20 yang mengemukakan hal ini ialah Mohamad Hatta dan Muhammad Husein Heikal.
Bung Hatta menyatakan “Jiwa Islam berontak terhadap kapitalisme yang menghisap dan menindas, yang menurunkan derajat manusia, yang membawa sistem yang lebih jahat daripada perbudakan, daripada feodalisme. Dunia ini kepunyaan Allah semata-mata yang disediakan untuk tempat kediaman manusia sementara, dalam perjalanannya menuju dunia baka. Kewajiban manusia tidaklah memiliki dunia, yang kepunyaan Allah, melainkan memeliharanya sebaik-baiknya dan meninggalkannya (mewariskan) kepada angkatan kemudian dalam keadaan yang lebih baik dari yang diterimanya dari angkatan terdahulu.”
Sebelumnya dalam risalahnya “Persoalan Ekonomi Sosialis Indonesia” (1963) Bung Hatta menulis: “Sekarang, bagaimana duduknya sosialisme Indonesia? Cita-cita sosialisme lahir dalam pangkuan pergerakan kebangsaan Indonesia. Dalam pergerakan yang menuju kebebasan dari penghinaan diri dan penjajahan, dengan sendirinya orang terpikat oleh tuntutan sosial dan humanisme – perikemanusiaan – yang disebarkan oleh pergerakan sosialisme di benua Barat… Tuntutan sosial dan humanisme itu tertangkap pula oleh jiwa Islam, yang memang menghendaki pelaksanaan … perintah Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang serta Adil, supaya manusia hidup dalam sayang menyayangi dan dalam suasana persaudaraan dengan tolong-menolong”.
Adapun Kiri Islam dari Hassan hanafi yang pada dasarnya merupakan kritik terhadap borjuasi yang diterapkan pangeran-pangeran Arab. Hassan Hanafi meluncurkan jurnal berkalanya: Al-Yasar al Islami: Kitabat fi an Nahdhah al Islamiyyah (Kiri Islam: Beberapa esai tentang kebangkitan Islam) pada tahun 1981 setelah kemenangan revolusi Islam di Iran. Hassan Hanafi menggambarkan adanya kecenderungan kooptasi agama oleh kekuasaan, dan praktik keagamaan diubah menjadi semata-mata ritus. Hassan Hanafi melihat kecenderungan ini terjadi hanyalah sebagai topeng untuk menyembunyikan feodalisme kesukuan dan kapitalisme kesukuan. Liberalisme pun tidak luput dari sasaran kritik kiri Islam, meskipun secara teori, liberalisme adalah anti kolonial, tapi liberalisme sendiri merupakan produk kolonialisme Barat. Faktanya liberalisme sendiri hingga kini didukung oleh suatu kelas yang mengendalikan kesejahteraan nasional.
Kiri Islam bukanlah muslim berbaju marxis, sebab ia juga hadir sebagai kritik terhadap marxisme, dalam pembelaannya yang memperjelas kehadiran kiri Islam adalah sebagai bentuk perjuangan yang mengusik kemapanan politik dan agama. Isu utamanya adalah kolonialisme, kapitalisme dan zionisme yang telah mengkotakkan Islam dalam permasalahan-permasalahan akut seperti kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan. Jadi jelas bahwa Kiri Islam tidak memncapur adukkan perjuangannya dengan pandangan sosialis meskipun dapat dikatakan memiliki permasalahan yang sama.
Memang kecenderungan atheisme yang terdapat dalam faham sosialisme modern dengan sendirinya akan ditolak oleh masyarakat beragama. Akan tetapi beberapa aspek dari pemikiran kaum sosialis seperti keadilan sosial itu tidak ditolak. Di kalangan cendekiawan Muslim tidak sedikit pula yang berpendapat bahwa dalam Islam sebenarnya terdapat pula ajaran yang sejalan dengan pokok-pokok pemikiran yang dikemukakan oleh sosialisme modern. Di antara tokoh-tokoh Islam yang berpendapat demikian antara lain ialah Muhammad Iqbal dan Muhammad Husein Heikal. Di Indonesia, sosialisme religius telah dianjurkan sejak awal abad ke-20 oleh tokoh-tokoh seperti Cokroaminoto pada tahun 1905 (bukunya Islam dan Sosialisme) dan K. H. Agus Salim. Cokroaminoto memandang sistem kapitalisme yang dibawa oleh pemerintah Hindia Belanda di Indonesia merupakan bentuk dari “Kapitalisme Murtad”. Adapun Haji Misbach yang sering disebut Haji Merah lebih memilih komunisme dalam perjuangannya, disamping ia juga berpendapat bahwa slam dan komunisme tidak selalu harus dipertentangkan, Islam seharusnya menjadi agama yang bergerak untuk melawan penindasan dan ketidakadilan.
Kiri Islam dan Sosialisme dalam kehadirannya menyerukan tentang keadilan sosial, ia tidak muncul dari keadaan hampa yang mengada-ada, ia mencoba menjawab setiap ketimpangan hasil kapitalisme-liberalistis lewat kritik sekaligus menyerang praktek borjuasi. Borjuasi meskipun memberi kesan tudingan terhadap suatu kelas tertentu dalam masyarakat, tapi juga adalah gaya hidup yang pada dasarnya dalam ajaran Islam mendapat tentangan dan merupakan hal yang patut dijauhi, sebagaimana yang disebutkan dalam Surat At Takatsur (saya tidak memiliki kewenangan dalam membahas terjemahannya) yang kurang lebih memuat larangan untuk hidup bermegah-megahan.
Begitupun dengan jargon "rahmatan lil'alamin" yang menyatakan kehadiran Islam sebagai "rahmat sekalian alam" yang bagi saya sendiri juga membawa semangat egalitarian yang menentang bentuk kelas sosial, dimana tidak terdapat penghisapan manusia oleh manusia. Hanyalah fatamorgana duniawi yang menghasut orang untuk terlena dalam kekuasaan dan kemegahan. Tentang agama sebagai ujung tombak politik, bolehlah kita buka suatu diskusi untuk mencari jalan kesepakatan menuju suatu tatanan kemasyarakatan yang adil dan sejahtera yang benar-benar mempraktekkan jargon "rahmatan lil'alamin" bukan "kapitalisme lil'alamin" apalagi "syahwatan lil'alamin". salam.
Jumat, 29 Juni 2012
motivasi dari tembang "lir-ilir"
Dapatlah saya bayangkan bagaimana situasi saat pertama sekali lagu ini diperkenalkan kepada masyarakat yang masih memegang teguh adat-tradisinya. Sejenak memang seperti sebuah ajakan untuk berkumpul dalam suatu pertemuan-lebih dari itu saya membayangkan adanya sekumpulan masyarakat dengan diskusi-diskusi yang tidak dibatasi oleh status sosial (bolehlah saya mereka-reka gambaran sejarahnya). Seperti dialog punakawan dalam memecahkan persoalan yang dihadapi oleh petinggi-petinggi wayang. Sangat proletar kalau boleh saya bilang meskipun saya tidak pernah tahu menahu soal seni dan sejarah.
Tentu sebagai orang yang awam saya juga mengerti tentang adanya "isi sampaian" dalam suatu karya, termasuk juga dalam lagu "Lir-ilir" ini. Selain gambaran yang tiba-tiba memenuhi isi kepala, juga tentang misi motivasi yang saya tangkap dalam lagu tersebut. Berikut syair lagunya:
Lir ilir lir ilir tandure wis sumilir
Tak ijo royo royo
Tak sengguh panganten anyar
Cah angon cah angon penekna blimbing kuwi
Lunyu lunyu penekna kanggo mbasuh dodotira
Dodotira dodotira kumintir bedah ing pinggir
Dondomana jrumatana kanggo seba mengko sore
Mumpung padang rembulane
Mumpung jembar kalangane
Sun suraka surak hiyo
Berikut (kurang-lebih) dalam bahasa Indonesia:
Sayup-sayup bangun (dari tidur)
Pohon sudah mulai bersemi,
Demikian menghijau bagaikan gairah pengantin baru
Anak penggembala, tolong panjatkan pohon blimbing itu
walaupun licin(susah) tetap panjatlah untuk mencuci pakaian
Pakaian-pakaian yang koyak(buruk) disisihkan
Jahitlah, benahilah untuk menghadap nanti sore
Mumpung terang rembulannya
Mumpung banyak waktu luang
Mari bersorak-sorak ayo…
"Lir-ilir" memberi motivasi untuk segera bangkit, yang berilmu jangan hanya jadi "petapa", jadilah teladan bagi yang lain. Yang muda bangkit mencari ilmu, kebodohan tidak akan dapat lenyap tanpa adanya aksi. Bangkit membangun diri, bangkit membenahi diri untuk membenahi bangsa. bangkit bekerja, mengabdi di jalan Allah."Lir-ilir, tandure wis sumilir" yang berarti bangkitlah, waktunya telah tiba, inilah, kinilah saatnya bangkit dan berbenah. "Tak ijo royo royo", segar menghijau seperti tanaman muda yang bersemi, diliputi semangat untuk bekerja-membangun dan berbenah. "Tak sengguh panganten anyar" seperti menyambut kehadiran pengatin baru, membangun satu keluarga/kekeluargaan (gotong royong).
"Cah angon cah angon penekno blimbing kuwi, Lunyu lunyu penekna kanggo mbasuh dodotira." Dimaksud disini adalah pemimpin. Orang yang mampu menjadi imam yang baik yang mengajarkan syari’at Islam. Dan belimbing adalah buah bersegi lima, yang merupakan simbol dari lima rukun Islam. Disamping itu, tiap-tiap orang adalah pemimpin, pemimpin bagi diri sendiri dan pemimpin bagi yang lain (terkait dengan keteladanan). "lunyu-lunyu penekna, kanggo mbasuh dodotiro", susah-sulit tuntunlah, beri keteladanan untuk senantiasa berbenah.
"Dodotira dodotira kumintir bedah ing pinggir", sisihkan sifat / tradisi / kebiasaan yang sudah tidak lagi bermanfaat, yang buruk, yang merugikan hendaklah dihilangkan, jangan terus dipelihara dan bahkan dilestarikan. "Dondomana jrumatana kanggo seba mengko sore" benahi yang sudah ada, lengkapi yang kurang, sepertinya berkaitan dengan pembenahan/pembangunan akhlak-moralitas dari tiap-tiap generasi, yang sudah ada (ditemukan) dan dianggap baik dan bermanfaat dipertahankan dan lengkapi lagi ilmu agar sempurna yang telah ada.
"Mumpung padang rembulane, Mumpung jembar kalangane, Sun suraka surak hiyo" mumpung masih ada kesempatan untuk berbenah, setiap waktu adalah saat untuk berbenah dengan senantiasa menyambut pengetahuan dengan bersuka/ hati terbuka.
Demikian yang ada dalam otak saya ketika mendengar lagu "lir-ilir", yang mungkin belum sepenuhnya sempurna, saya anggap "belum sempurna" sebab apa yang saya pikirkan ini masih juga perlu dibenahi (dilengkapi) dengan sudut pandang lain. Semoga bermanfaat. salam.
Senin, 07 Mei 2012
Islam dan Demokrasi (1)
Tulisan ini tidak mempunyai kehendak semacam gendang yang dipukul
bertalu-talu. Juga tidak membuat suasana hingar bingar yang sudah
diwakili masyarakat Indonesia kontemporer. Juga tidak hendak
memprovokasi agar perjuangan haruslah melalui jalan kekerasan melainkan
mari kita saling lempar wacana , bukan lempar handuk sembunyi badan
.Hanya saja kemudian mencoba menyambung sebuah diskusi informal dengan
seorang kawan tentang relevansi demokrasi dan Islam. Pertanyaan mendasar
adalah kompatibelkah antara dua arus besar untuk bersatu jika keduanya
mengusung kecurigaan. Bahwa dibutuhkan penerimaan yang tulus dan sungguh
sungguh para pihak agar terbangun jembatan penghubung antar peradaban.
Jika peradaban dinasti yang berkuasa pasca khalifah disebut model ideal tentang negara. Maka kita akan mundur ke belakang sejak sebelum Islam diajarkan Oleh nabi Muhammad. Bahwa budaya patriarki adalah sebelum kedatangan nabi sudah ada maka peradaban yang hendak dibangun oleh kalangan pengusung daulah kedinastian bisa saja mendekati abad kegelapan. Maka ada namanya jalan tengah, mungkin model ini diterapkan oleh negara Turki saat sekarang. Sekalipun ide tentang sekularisasi meluluhlantakkan peradaban Turki pasca perang dunia kedua , saat sekarang pelan tapi pasti meminjam istilah Peter L Berger bahwa peran agama diterima selaku benar adanya.
Maka runtuhlah ide sekularisasi yang diusung oleh peradaban Eropa berikut sistem jelmaan manusia yang rakus. Imperialisme,kapitalisme,liberalisme dan matinya komunis seiring dengan semakin seksinya sosialis bertabur kue kapitalisme model Cina. Maka demokrasi tidak menyingkirkan peranan agama sama sekali bahkan berkolaborasi membangun sebuah negara bangsa semacam Indonesia. Kita temukan dalam mukadimah undang undang dasar 1945. Ideologi bangsa juga bersumber atas kehendak atau campur tangan Tuhan yang maha esa.
Dari sini kita akan temukan bahwa model negara bangsa menemukan jalannya ketika kita melihat diri sendiri sebagai sebuah bangsa Indonesia yang utuh. Kita berdiri di atas berbagai kemajemukan , bhineka tungga ika. Dan para pendiri bangsa paham betul bahwa peranan agama sangat relevan dan kompatibel dengan negara bangsa. Maka demokrasi Pancasila mengelaborasi peranan agama dalam sebuah negara bangsa Indonesia.
Tony Herdianto
Jika peradaban dinasti yang berkuasa pasca khalifah disebut model ideal tentang negara. Maka kita akan mundur ke belakang sejak sebelum Islam diajarkan Oleh nabi Muhammad. Bahwa budaya patriarki adalah sebelum kedatangan nabi sudah ada maka peradaban yang hendak dibangun oleh kalangan pengusung daulah kedinastian bisa saja mendekati abad kegelapan. Maka ada namanya jalan tengah, mungkin model ini diterapkan oleh negara Turki saat sekarang. Sekalipun ide tentang sekularisasi meluluhlantakkan peradaban Turki pasca perang dunia kedua , saat sekarang pelan tapi pasti meminjam istilah Peter L Berger bahwa peran agama diterima selaku benar adanya.
Maka runtuhlah ide sekularisasi yang diusung oleh peradaban Eropa berikut sistem jelmaan manusia yang rakus. Imperialisme,kapitalisme,liberalisme dan matinya komunis seiring dengan semakin seksinya sosialis bertabur kue kapitalisme model Cina. Maka demokrasi tidak menyingkirkan peranan agama sama sekali bahkan berkolaborasi membangun sebuah negara bangsa semacam Indonesia. Kita temukan dalam mukadimah undang undang dasar 1945. Ideologi bangsa juga bersumber atas kehendak atau campur tangan Tuhan yang maha esa.
Dari sini kita akan temukan bahwa model negara bangsa menemukan jalannya ketika kita melihat diri sendiri sebagai sebuah bangsa Indonesia yang utuh. Kita berdiri di atas berbagai kemajemukan , bhineka tungga ika. Dan para pendiri bangsa paham betul bahwa peranan agama sangat relevan dan kompatibel dengan negara bangsa. Maka demokrasi Pancasila mengelaborasi peranan agama dalam sebuah negara bangsa Indonesia.
Tony Herdianto
Pemimpin belajar memimpin
Kecenderungan yang terjadi adalah pengabaian kepemimpinan diri sendiri dan berusaha memimpin dan mempengaruhi orang lain, hasilnya bukan memimpin tetapi memerintah bahkan memaksa orang lain (dengan beragam cara dan sifat orang lain untuk mengikuti kehendak).
Pada dasarnya setiap orang adalah pemimpin, namun tiap orang tidak akan lepas dari orang lain, maka tiap orang juga membutuhkan kepemimpinan orang lain. Dari sini terdapat juga proses belajar, secara sederhana proses belajar adalah juga suatu proses berubah; dari tidak tahu menjadi tahu, atau dari tidak mengerti menjadi mengerti, berubah bukan? Terutama dalam hal perilaku, belajar tanpa ada perubahan tingkah laku ibarat pohon yang tiada berbuah. Percuma.
Dalam belajar seseorang juga turut mempelajari aturan, misalnya ketika belajar mengendarai sepeda motor yang tidak hanya mempelajari cara mengendalikan mesin yang mengefektifkan transportasi kita tersebut, tapi aturan berkendaranya juga. Kalau hanya sekedar mempelajari cara mengendalikan mesinnya saja, hasilnya ya babak belur di jalan raya.
Mempelajari lalu mengetahui aturan adalah kewajiban, sebagaimana yang pernah ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer "Semakin tinggi sekolah bukan berarti semakin menghabiskan makanan orang lain. Harus semakin mengenal batas" yang dapat dipahami dalam hal ini adalah semakin dalam pengetahuan seseorang maka semakin banyak pula aturan yang dia pahami, kecenderungan dalam realitas memang sering terbalik dimana semakin tinggi pendidikan seseorang malah semakin tidak mengenal batas, sebaliknya malah tambah rakus.
Demikian pentingnya proses belajar, tentunya sangat penting bagi seorang pemimpin yang sekaligus berperan sebagai panutan (teladan), akan jadi pertanyaan ketika seorang pemimpin tidak mau belajar, apa yang dapat di'panut' dari seorang pemimpin yang enggan belajar? Sebagaimana juga guru, yang katanya 'digugu dan ditiru' yang harus memiliki semangat belajar tinggi yang tidak kalah dengan anak didiknya, apa yang dapat dipelajari dari guru yang enggan belajar, bukan?
Perlu mendapat perhatian disini adalah juga tentang tiga kecerdasan yang harus dimiliki seorang pemimpin, antara lain:
Kecerdasan spiritual/ spiritual quotient (SQ), terkait kesadaran akan siapa diri. Menurut Nabi Muhammad, siapa yang mengenali dirinya maka ia pun mengenal Tuhannya. Lebih dari itu, pengetahuan keagamaan adalah sangat penting terkait pemimpin juga adalah seorang teladan bagi yang dipimpin.
kedua adalah emosional/Emotional quotient (EQ), terkait dengan perasaan memang dan penataan emosi yang nantinya diharapkan juga terdapat penguasaan dan pengendalian diri, secara sederhananya adalah kedisiplinan yang terkait dengan penempatan segala sesuatu dengan tepat dan benar, termasuk menempatkan diri dengan tepat dan benar. Benar harus digaris bawahi sebab menyangkut perilaku yang sesuai dengan aturan. Bagaimana jadinya jika kita dipimpin oleh seorang yang tidak terkendali?
Selanjutnya adalah kecerdasan intelektual (IQ), seseorang yang terasah kecerdasan intelektualnya adalah seseorang yang mampu membedakan antara yang salah dan yang benar. sekali lagi'yang benar'. Kecerdasan intelektual akan memberikan banyak pilihan bagi seseorang untuk merumuskan kebijakan (keputusan). Dan yang patut diingat, dalam kecerdasan ini, peran hati nurani sungguh cukup besar. Seorang pemimpin yang terasah kecerdasan intelektualnya juga merupakan seorang kreator bagi yang dipimpinnya, dengan begitu ia tidak akan mudah dihasut dan dijilat.
Memang tidak terdapat ciri-ciri yang dapat menunjukkan sosok pemimpin yang ideal, kembali lagi, proses belajar menjadi hal utama disini, pemimpin yang memiliki semangat belajar yang tinggi bisa jadi merupakan sosok ideal sebab pemimpin yang seperti ini akan senantiasa berbenah. Pemimpin yang senantiasa berbenah tentunya adalah sosok yang lebih mengutamakan orang-orang yang dipimpinnya; terbuka dan tidak segan mengajak orang lain untuk selalu bersiap dengan perubahan. Lebih dari itu, dalam hal pembangunan bangsa hingga saat ini adalah munculnya sosok-sosok yang mampu menjadi teladan, tentunya untuk membentuk suatu tatanan masyarakat yang baik, bukankah dari masyarakat yang baik akan muncul pemimpin yang baik? Tentu pula pembangunan semacam ini berangkat dari lingkup terkecil dalam masyarakat: keluarga, dan belajar adalah proses tanpa akhir sebagaimana sering kita dengar "menuntut ilmu adalah jihad." Salam.
Rabu, 18 April 2012
Nation Character Building
Di mata Sukarno, sebuah bangsa yang telah dijajah 3,5 abad lamanya, tentunya meninggalkan banyak sekali kerusakan, ubtuk itu (bagi Soekarno) perlu ditekankan pembangunan mental dan karakter kebangsaan untuk membenahi setiap sendi kehidupan bangsa~terutama sekali disini adalah mentalitasnya.
Selama berabad-abad bangsa ini menjadi budak bangsa lain, bahkan ada sebagian yang harus rela jadi pengkhianat semacam centeng ataupun mata-mata sekedar untuk bertahan hidup. Ketertundukkan, ketergantungan, ketakutan dan jilat-menjilat malah jadi tradisi hingga saat ini, bahkan memperbudak bangsa sendiri jika perlu, padahal perbudakan adalah hal yang tidak manusiawi dan sudah seharusnya kita memerangi segala yang tidak manusiawi.
Demikian, bagi Soekarno adalah sangat penting untuk membenahi mentalitas bangsa Indonesia.
Sedikitnya ada empat gagasan Soekarno dalam hal ini, yang pertama adalah kemandirian yang oleh Soekarno dikenalkan dengan istilah "Berdikari"- berdiri diatas kaki sendiri, logika sederhananya adalah ketika seseorang memiliki ketergantungan yang besar terhadap orang lain, maka ia semakin terasing dalam kehidupannya; tidak mengenal kehidupannya, begitupun suatu bangsa yang memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap bangsa lain, (dan) sedang Indonesia memiliki potensi alam yang melimpah.
Kedua, kedaulatan rakyat untuk mengganti sistem-sistem sebelumnya seperti feodalisme dan kolonialisme.Sampai ketika artikel ini ditulis, sistem-sistem tersebut masih juga berlaku-baik secara sadar maupun tidak sadar, dilakukan oleh pejabat; aparat maupun masyarakat. Kedaulatan rakyat, dimana rakyatlah yang memegang kekuasaan tertinggi, bukan para raja atau pemilik modal. Untuk itu, perlunya penegakkan hukum untuk menjamin keadilan sosial, bukan hukum atau peraturan yang memiliki 'standar ganda' dalam pelaksanaannya, tidak hanya efektif untuk rakyat kecil tapi bisa toleran bagi orang-orang dalam lingkar kekuasaan dan para pemodal.
Ketiga, persatuan, ini yang maha penting, terkait pula disini adalah nasionalisme yang ditekankan oleh Soekarno yaitu sosionasionalisme, dimana nasionalisme yang tidak hanya sekedar mencintai tanah air dan bangsanya saja, tapi lebih mendasarkan diri kepada kecintaannya untuk memperjuangkan rakyat kecil. Indonesia adalah negara kepulauan yang dihuni oleh beragam suku, ethnik yang harus dipersatukan dalam satu kesadaran berbangsa. Lebih lanjut, pernah juga Soekarno mengungkapkan "nasionalismeku adalah perikemanusiaanku" yang juga memberi perbedaan secara tegas antara nasionalisme yang harus ada di Indonesia dengan nasionalisme bangsa Eropa, menurut Soekarno nasionalisme Eropa telah memunculkan kolonialisme dan imperialisme yang menghisap, sedang nasionalisme Indonesia itu harus berdasarkan kegotong royongan dan kesetaraan (egalitarian).
Keempat bargaining position, katakan saja kewibawaan bangsa dan negara, terkait dengan alasan terbentuknya bangsa dan negara Indonesia sebagaimana terbentuknya negara pada umumnya negara-negara didunia yaitu mewujudkan keamanan dan ketertiban untuk mencapai kesejahteraan nasional. Hal ini tidak akan mungkin terjadi tanpa adanya kewibawaan negara, kewibawaan negara meredup tatkala hukum peraturan perundang-undangan mulai dapat dinegosiasi, yang terjadi adalah berlakunya hukum rimba: yang kuat yang menang. Sebagaimana juga semboyan sekaligus prasyarat kapitalisme-liberalistis "peran negara sekecil-kecilnya, pasar sebesar-besarnya." Dengan begitu, jangankan bangsa, negara saja akan kehilangan kewibawaannya bukan?.
Patut diingat pula, manusia memiliki kecenderungan untuk berubah, maka nation character building adalah suatu proses yang tidak berhenti, sebab karakter akan selalu mengikuti perubahan manusia itu sendiri, dan karakter adalah suatu moral atau akhlak yang berada diatas suatu bangunan watak, tabiat atau kepribadian yang juga menjaga sekaligus membentuk watak kepribadian tersebut.
Kecenderungan manusia untuk berubah adalah untuk menyempurnakan kepribadiannya- menyesuaikan dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Manusia dianugerahi dua jalan, manusia berjalan dalam hidupnya berbuat salah lalu bertobat dan berbenah agar tidak melakukan kesalahan yang sama. Begitupun moralitas selalu menuju universalitas sebab dia memiliki dasar adalah kemanusiaan, dan kemanusiaan adalah sama dimanapun dan kapanpun.
Dan dialog terbuka antar generasi adalah suatu harapan untuk mencapai kesempurnaan itu, disamping harus berpedoman dan kembali pada perintah Tuhan, sebagai seorang muslim saya katakan bahwa manusia itu harus selalu kembali kepada Al-Qur'an sebagai petunjuk dalam menjalani kehidupan, dan bukankah Islam adalah "rahmatan lil'alamin" bagaimana mungkin dapat mewujudkannya jika perilaku tidak "rahmatan"? Sebagaimana sering saya berdo'a "Robbana atinnafidunya khasanah, wa fil akhiroti khasanah..." yang berarti saya harus menjadi "khasan" itu dulu untuk mencapai "khasanah" dunia dan akhirat.
Selama berabad-abad bangsa ini menjadi budak bangsa lain, bahkan ada sebagian yang harus rela jadi pengkhianat semacam centeng ataupun mata-mata sekedar untuk bertahan hidup. Ketertundukkan, ketergantungan, ketakutan dan jilat-menjilat malah jadi tradisi hingga saat ini, bahkan memperbudak bangsa sendiri jika perlu, padahal perbudakan adalah hal yang tidak manusiawi dan sudah seharusnya kita memerangi segala yang tidak manusiawi.
Demikian, bagi Soekarno adalah sangat penting untuk membenahi mentalitas bangsa Indonesia.
Sedikitnya ada empat gagasan Soekarno dalam hal ini, yang pertama adalah kemandirian yang oleh Soekarno dikenalkan dengan istilah "Berdikari"- berdiri diatas kaki sendiri, logika sederhananya adalah ketika seseorang memiliki ketergantungan yang besar terhadap orang lain, maka ia semakin terasing dalam kehidupannya; tidak mengenal kehidupannya, begitupun suatu bangsa yang memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap bangsa lain, (dan) sedang Indonesia memiliki potensi alam yang melimpah.
Kedua, kedaulatan rakyat untuk mengganti sistem-sistem sebelumnya seperti feodalisme dan kolonialisme.Sampai ketika artikel ini ditulis, sistem-sistem tersebut masih juga berlaku-baik secara sadar maupun tidak sadar, dilakukan oleh pejabat; aparat maupun masyarakat. Kedaulatan rakyat, dimana rakyatlah yang memegang kekuasaan tertinggi, bukan para raja atau pemilik modal. Untuk itu, perlunya penegakkan hukum untuk menjamin keadilan sosial, bukan hukum atau peraturan yang memiliki 'standar ganda' dalam pelaksanaannya, tidak hanya efektif untuk rakyat kecil tapi bisa toleran bagi orang-orang dalam lingkar kekuasaan dan para pemodal.
Ketiga, persatuan, ini yang maha penting, terkait pula disini adalah nasionalisme yang ditekankan oleh Soekarno yaitu sosionasionalisme, dimana nasionalisme yang tidak hanya sekedar mencintai tanah air dan bangsanya saja, tapi lebih mendasarkan diri kepada kecintaannya untuk memperjuangkan rakyat kecil. Indonesia adalah negara kepulauan yang dihuni oleh beragam suku, ethnik yang harus dipersatukan dalam satu kesadaran berbangsa. Lebih lanjut, pernah juga Soekarno mengungkapkan "nasionalismeku adalah perikemanusiaanku" yang juga memberi perbedaan secara tegas antara nasionalisme yang harus ada di Indonesia dengan nasionalisme bangsa Eropa, menurut Soekarno nasionalisme Eropa telah memunculkan kolonialisme dan imperialisme yang menghisap, sedang nasionalisme Indonesia itu harus berdasarkan kegotong royongan dan kesetaraan (egalitarian).
Keempat bargaining position, katakan saja kewibawaan bangsa dan negara, terkait dengan alasan terbentuknya bangsa dan negara Indonesia sebagaimana terbentuknya negara pada umumnya negara-negara didunia yaitu mewujudkan keamanan dan ketertiban untuk mencapai kesejahteraan nasional. Hal ini tidak akan mungkin terjadi tanpa adanya kewibawaan negara, kewibawaan negara meredup tatkala hukum peraturan perundang-undangan mulai dapat dinegosiasi, yang terjadi adalah berlakunya hukum rimba: yang kuat yang menang. Sebagaimana juga semboyan sekaligus prasyarat kapitalisme-liberalistis "peran negara sekecil-kecilnya, pasar sebesar-besarnya." Dengan begitu, jangankan bangsa, negara saja akan kehilangan kewibawaannya bukan?.
Patut diingat pula, manusia memiliki kecenderungan untuk berubah, maka nation character building adalah suatu proses yang tidak berhenti, sebab karakter akan selalu mengikuti perubahan manusia itu sendiri, dan karakter adalah suatu moral atau akhlak yang berada diatas suatu bangunan watak, tabiat atau kepribadian yang juga menjaga sekaligus membentuk watak kepribadian tersebut.
Kecenderungan manusia untuk berubah adalah untuk menyempurnakan kepribadiannya- menyesuaikan dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Manusia dianugerahi dua jalan, manusia berjalan dalam hidupnya berbuat salah lalu bertobat dan berbenah agar tidak melakukan kesalahan yang sama. Begitupun moralitas selalu menuju universalitas sebab dia memiliki dasar adalah kemanusiaan, dan kemanusiaan adalah sama dimanapun dan kapanpun.
Dan dialog terbuka antar generasi adalah suatu harapan untuk mencapai kesempurnaan itu, disamping harus berpedoman dan kembali pada perintah Tuhan, sebagai seorang muslim saya katakan bahwa manusia itu harus selalu kembali kepada Al-Qur'an sebagai petunjuk dalam menjalani kehidupan, dan bukankah Islam adalah "rahmatan lil'alamin" bagaimana mungkin dapat mewujudkannya jika perilaku tidak "rahmatan"? Sebagaimana sering saya berdo'a "Robbana atinnafidunya khasanah, wa fil akhiroti khasanah..." yang berarti saya harus menjadi "khasan" itu dulu untuk mencapai "khasanah" dunia dan akhirat.
Label:
artikel
Lokasi:
Jalan Plaosan, Malang, Indonesia
Minggu, 11 Maret 2012
Sebuah Gagasan Tentang Kuasa
Kelak pada saatnya kita dihadapkan pada sebuah pilihan dikuasai atau
menguasai. Kedua term sebenarnya saling bergantung dan saling
berinteraksi. Keduanya bermain dalam oposisi biner, yang mana saling
mempengaruhi dan dipengaruhi. Dalam kehidupan ini kita mengenal ilmu dan
teknologi, keduanya ternyata sangat berguna sekali. Hebatnya lagi
sejak menjadi bahan kajian maka tumbuh seiring pula sebuah institusi
untuk mencetak kelas penguasa.
Maka terciptalah sekolah , apapun namanya kurikulum dan sistemnya sama. Program pendisiplinan individu dengan sistem sel. Dari sini pengetahuan tentang kuasa diproduksi,direpetisi dan digunakan sebagai alat dan komoditas oleh kelas penguasa. Maka barang siapa ingin lebur dalam kelas penguasa maka haruslah masuk sekolah.
Dalam alam pengetahuan orang awam,bahwa gagasan sekolah adalah sebagai pengentas kebodohan kemiskinan keterbelakangan keterisolasian dan ketertindasan. Maka muncul kalimat "ora tau mangan sekolah", menunjukkan bahwa sekolah adalah sesuatu yang ajaib yang bisa mengubah nasib manusia. Bagi yang pernah mengalami masa sekolah mungkin juga berkata lain, bahwa selain mendidik maka sekolah juga gemar menghukum. Setidaknya menawarkan hal yang demikian bagi pelaku keonaran atau tidak patuh pada sistem.
Dari sini pengetahuan diolah dan dijadikan baku,bahwa di sekolah antara kelas penguasa dan yang dikuasai terjadi interaksi atau spionase. Masing-masing pihak belajar dengan strategi dan pendekatan yang berbeda guna mencapai tujuan. Terjadi sistem kompromi, maka para pihak di sekolah kemungkinan akan saling melengkapi atau menutupi suatu realita bahwa sekolah bukan lembaga yang semata memberikan pengajaran dan pendidikan melainkan juga ajang mencari bakat untuk regenerasi kelas penguasa baru.
Transformasi pengetahuan bisa berjalan searah juga spiral mengingat pengetahuan tidak hanya diolah di sekolah melainkan juga dari jejaring, baik di dunia nyata maupun maya (internet). Maka kuasa pengetahuan nampak bersifat demokratis dipermukaan. Namun apakah benar hal tersebut? apa tidak ada hidden agenda dari kelas penguasa? Jika tujuan mulia pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan masyarakat dan bangsa lantas mengapa secara global yang marak tampil adalah wajah garang korupsi dan kolusi.
Bisa jadi anggapan masyarakat selain beroleh pengetahuan maka sekolah juga menawarkan kecurangan. Manipulasi besaran angka dan nilai dianggap wajar agar tetap dalam lingkaran sistem yang sesat. Inilah yang kemudian menjadikan pengetahuan tentang kuasa hanya dimaknai sebatas manipulasi kolusi kecurangan dan korupsi. Sebab pengetahuan awal diproduksi di sebuah lembaga bernama sekolah.
Perlu dikaji ulang tentang gerakan wajib belajar 12 tahun yang sampai hari ini hanya dimaknai sebatas sekolah dari jenjang SD-SMA. Mengingat kuasa pengetahuan juga berlaku diluar tembok sekolah yang angkuh dan angker dengan segala dominasi kelas penguasa.
Tony Herdianto
Maka terciptalah sekolah , apapun namanya kurikulum dan sistemnya sama. Program pendisiplinan individu dengan sistem sel. Dari sini pengetahuan tentang kuasa diproduksi,direpetisi dan digunakan sebagai alat dan komoditas oleh kelas penguasa. Maka barang siapa ingin lebur dalam kelas penguasa maka haruslah masuk sekolah.
Dalam alam pengetahuan orang awam,bahwa gagasan sekolah adalah sebagai pengentas kebodohan kemiskinan keterbelakangan keterisolasian dan ketertindasan. Maka muncul kalimat "ora tau mangan sekolah", menunjukkan bahwa sekolah adalah sesuatu yang ajaib yang bisa mengubah nasib manusia. Bagi yang pernah mengalami masa sekolah mungkin juga berkata lain, bahwa selain mendidik maka sekolah juga gemar menghukum. Setidaknya menawarkan hal yang demikian bagi pelaku keonaran atau tidak patuh pada sistem.
Dari sini pengetahuan diolah dan dijadikan baku,bahwa di sekolah antara kelas penguasa dan yang dikuasai terjadi interaksi atau spionase. Masing-masing pihak belajar dengan strategi dan pendekatan yang berbeda guna mencapai tujuan. Terjadi sistem kompromi, maka para pihak di sekolah kemungkinan akan saling melengkapi atau menutupi suatu realita bahwa sekolah bukan lembaga yang semata memberikan pengajaran dan pendidikan melainkan juga ajang mencari bakat untuk regenerasi kelas penguasa baru.
Transformasi pengetahuan bisa berjalan searah juga spiral mengingat pengetahuan tidak hanya diolah di sekolah melainkan juga dari jejaring, baik di dunia nyata maupun maya (internet). Maka kuasa pengetahuan nampak bersifat demokratis dipermukaan. Namun apakah benar hal tersebut? apa tidak ada hidden agenda dari kelas penguasa? Jika tujuan mulia pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan masyarakat dan bangsa lantas mengapa secara global yang marak tampil adalah wajah garang korupsi dan kolusi.
Bisa jadi anggapan masyarakat selain beroleh pengetahuan maka sekolah juga menawarkan kecurangan. Manipulasi besaran angka dan nilai dianggap wajar agar tetap dalam lingkaran sistem yang sesat. Inilah yang kemudian menjadikan pengetahuan tentang kuasa hanya dimaknai sebatas manipulasi kolusi kecurangan dan korupsi. Sebab pengetahuan awal diproduksi di sebuah lembaga bernama sekolah.
Perlu dikaji ulang tentang gerakan wajib belajar 12 tahun yang sampai hari ini hanya dimaknai sebatas sekolah dari jenjang SD-SMA. Mengingat kuasa pengetahuan juga berlaku diluar tembok sekolah yang angkuh dan angker dengan segala dominasi kelas penguasa.
Tony Herdianto
Bukan Kompetisi Melainkan Kerjasama ( Jember Exegese )
Bu Budi dan Bu Joko dua entitas seragam kaya warna. Bersebelahan
mereka sama-sama membuka usaha warung kopi yang hari ini ribut sejak ada
proses paten. Keduanya memasok minuman dan makanan bagi para pelajar
dan umum di sebuah komplek kantin perguruan tinggi di kota Jember.
Sebagai makhluk ekonomi keduanya terpanggil untuk mengabdikan diri
melayani segolongan pelajar yang kelihatannya " pemikir serius ", saya
kadang tertawa sendiri mengingat masa silam. Akankah pemikiran itu tetap
berlanjut di kantin-kantin.
Masa yang telah lampu membuat saya juga getol untuk sekedar bergiat dari satu warung kopi ke warung kopi lainnya. Membahas tema yang hampir seragam tentang lingkaran kemelaratan yang hampir selalu hinggap pada diri ataupun lingkungan. Tak ubahnya pemikir sosialis lainnya dari dimensi makro ke mikro juga sebaliknya.
Namun kita patut bersyukur di ruang publik bernama warung inilah kita bebas mendirikan suatu mimbar dengan audiens terbatas sekaligus menghujat sebuah kebijakan. Barangkali dari sinilah kemudian timbul suatu ide tentang penjajahan. Kita mungkin pernah menjadi pelajar dan memiliki ide atau pandangan menggusur sebuah kemapanan. Akan tetapi sebuah pengetahuan tadi akan berubah melawan segala hal yang berbau gangguan dan disiden.
Sebagai contoh para birokrat pejabat atau siapa saja dilingkaran kekuasaan. Mungkin dulu mereka kritis namun setelah berkuasa? Inilah kemudian apa yang disebut dengan kuasa pengetahuan oleh foucoult, bisa juga knowledge is power oleh entah siapa yang mengatakan pertama kali. Dari dimensi ini kemudian kekuasaan dibangun. Entah berdasarkan asas kebaikan bersama atau kebaikan suatu kelompok.
Kembali lagi ke sebuah ruang publik bernama kantin atau kerennya warung. Dari sini proses klasifikasi terbentuk kita mengkotak-kotak diri kita sesuai dengan minat bakat dan kemampuan ( mirip ujian saringan masuk perguruan tinggi ). Bergerombol sekedar membahas sebuah tema atau lebih mulai dari yang hangat sanpai yang basi.
Maka sampailah ke depan pintu gerbang perpisahan karena jam diatur demikian. Ada saat bersua ada saat berpisah. Kembali ke ruang masing-masing sesuai dengan jadwal yang disepakati. Penulis beranjak pergi membayar kopi sembari mengumpat "dasar", kepala pusing kok yo sempat-sempatnya kumpul karo cah cah yang masih nggak jelas masa depannya. Maksudnya mau dibawa kemana langkah kita. Sambil bersungut-sungut memegang kepala karena sedikit cenat-cenut mikirin sukses nggak ya? Salam.
Masa yang telah lampu membuat saya juga getol untuk sekedar bergiat dari satu warung kopi ke warung kopi lainnya. Membahas tema yang hampir seragam tentang lingkaran kemelaratan yang hampir selalu hinggap pada diri ataupun lingkungan. Tak ubahnya pemikir sosialis lainnya dari dimensi makro ke mikro juga sebaliknya.
Namun kita patut bersyukur di ruang publik bernama warung inilah kita bebas mendirikan suatu mimbar dengan audiens terbatas sekaligus menghujat sebuah kebijakan. Barangkali dari sinilah kemudian timbul suatu ide tentang penjajahan. Kita mungkin pernah menjadi pelajar dan memiliki ide atau pandangan menggusur sebuah kemapanan. Akan tetapi sebuah pengetahuan tadi akan berubah melawan segala hal yang berbau gangguan dan disiden.
Sebagai contoh para birokrat pejabat atau siapa saja dilingkaran kekuasaan. Mungkin dulu mereka kritis namun setelah berkuasa? Inilah kemudian apa yang disebut dengan kuasa pengetahuan oleh foucoult, bisa juga knowledge is power oleh entah siapa yang mengatakan pertama kali. Dari dimensi ini kemudian kekuasaan dibangun. Entah berdasarkan asas kebaikan bersama atau kebaikan suatu kelompok.
Kembali lagi ke sebuah ruang publik bernama kantin atau kerennya warung. Dari sini proses klasifikasi terbentuk kita mengkotak-kotak diri kita sesuai dengan minat bakat dan kemampuan ( mirip ujian saringan masuk perguruan tinggi ). Bergerombol sekedar membahas sebuah tema atau lebih mulai dari yang hangat sanpai yang basi.
Maka sampailah ke depan pintu gerbang perpisahan karena jam diatur demikian. Ada saat bersua ada saat berpisah. Kembali ke ruang masing-masing sesuai dengan jadwal yang disepakati. Penulis beranjak pergi membayar kopi sembari mengumpat "dasar", kepala pusing kok yo sempat-sempatnya kumpul karo cah cah yang masih nggak jelas masa depannya. Maksudnya mau dibawa kemana langkah kita. Sambil bersungut-sungut memegang kepala karena sedikit cenat-cenut mikirin sukses nggak ya? Salam.
The passion
Entah apa yang sebenarnya terlintas dalam benak saya , namun yang
pasti ada sebuah asa untuk kita semua bangkit dari keterpurukan. Berawal
dari menonton suatu peristiwa atau kejadian dari televisi maupun
pengamatan langsung di lapangan. Tentang suatu gairah yang timbul ketika
saya menyaksikan liga Inggris ,fil Hollywood maupun film India. Disana
telah direproduksi secara massal suatu budaya populer dan masyarakatnya
bernikmat diri dengannya bahkan tercipta simbiosis mutualisme. Ada
kehausan tersendiri terhadap budaya tontonan massa . Mungkin kita di
indonesia jaman orang tua kita dulu jaman baheula adalah kegemaran
menonton wayang atau kesenian ludruk maupun ketoprak.
Secara pastinya kapan budaya tontonan menjadi santapan wajib dan bersifat masal saya kurang mengetahui. Namun kegairahan itu sendiri adalah suatu panggilan , semacam kutukan agar budaya tontonan masal terus direproduksi tanpa henti. Akhirnya semua tergantung juga dengan semangat jaman juga semacam seleksi alam. Terjadi pertukaran di ruang-ruang publik , kita bangsa asia yang makanan pokok beras ternyata juga doyan menyantap hamburger pizza dan juga makanan impor lainnya. Sementara kita juga tahu bahwa sebagian dari kita juga kesulitan untuk sekedar mengganjal perut.
Mungkin juga karena dari kegairahan itu sendiri terdapat sistem otomatis untuk memproduksi suatu budaya tontonan masal. Mungkin jika sehari saja tidak diproduksi maka akan timbul gudik. Semacam penyakit yang bisa menular dan memalukan. Maka bisa siapa saja terkena semacam virus yang dinamakan kegairahan ini. Bisa juga dimaknai lain bahwa karena gairah manusia bertahan untuk terus hidup dan berkarya.
Tony Herdianto
Secara pastinya kapan budaya tontonan menjadi santapan wajib dan bersifat masal saya kurang mengetahui. Namun kegairahan itu sendiri adalah suatu panggilan , semacam kutukan agar budaya tontonan masal terus direproduksi tanpa henti. Akhirnya semua tergantung juga dengan semangat jaman juga semacam seleksi alam. Terjadi pertukaran di ruang-ruang publik , kita bangsa asia yang makanan pokok beras ternyata juga doyan menyantap hamburger pizza dan juga makanan impor lainnya. Sementara kita juga tahu bahwa sebagian dari kita juga kesulitan untuk sekedar mengganjal perut.
Mungkin juga karena dari kegairahan itu sendiri terdapat sistem otomatis untuk memproduksi suatu budaya tontonan masal. Mungkin jika sehari saja tidak diproduksi maka akan timbul gudik. Semacam penyakit yang bisa menular dan memalukan. Maka bisa siapa saja terkena semacam virus yang dinamakan kegairahan ini. Bisa juga dimaknai lain bahwa karena gairah manusia bertahan untuk terus hidup dan berkarya.
Tony Herdianto
Menikmati Kota Jogja ( Exegese )
Minggu yang lalu tepatnya tanggal 5 februari kami bersama rombongan
berangkat menuju kota gudeg, kami berangkat dalam satu rombongan bus
besar berkapasitas 60 penumpang, perjalanan awal berjalan sangat lancar
meskipun hujan rintik menyertai.
Jalanan dari Kota Jember tempat kami start dalam kondisi baik, kami break di Tanggul untuk melaksanakan shalat maghrib berjamaah, sepanjang jalan melalui kota mulai Lumajang Probolinggo semua berjalan dengan baik dan kami berhenti sejenak di Kota Nguling Kab. Pasuruan untuk mengangkut kawan kita asisten tour leader kami. perjalanan terhambat di km 2 Jalan Raya Sedarum, setelah sebelumnya bus berhenti di SPBU Sedarums perjalanan kembali tersendat di jalan raya Ngopak karena dua hari sebelumnya banjir merendam kota kecil Ngopak. Lanjut di jalan raya Pos Daendels wilayah Kota Pasuruan air tampak menggenang disisi jalan akibat hujan deras intensitas tinggi.
Sampai Kota Bangil cuaca sedikit membaik ketika hujan reda namun hujan turun lagi selepas km 5 dari Kota Bangil mengguyur seras sampai jalan raya Kejapanan, hujan reda sampai Kota Mojosari lanjut ke Mojokerto. Jombang diliputi awan kegelapan namun hujan tidak sampai turun. Berturut Kertosono-Nganjuk-Caruban-Ngawi-Sragen-Solo dan berhenti sewaktu adzan subuh berkumandang, kami istirahat shalat dan makan di rumah makan Grafika Kalasan Jogyakarta. Setelah peserta rombongan dalam keadaan segar bugar karena mandi dan perut terisi kami langsung menuju sasaran utama P4TK matematika Jogyakarta, disini sebenarnya secara fisik peserta pelatihan sudah teramat lelah, namun mereka memaksakan untuk terus ikut pelatihan. appreciate to them.
Selama kurang lebih 8 jam pelatihan plus satu jam istirahat shalat makan di tempat pelatihan. saya pribadi mencari suasana lain, seperti biasa kopi pengganti susu kemasan yang susah carinya disekitar lokasi pelatihan, setelah berputar putar mampirlah saya di warung pojok penjual mie rebus dan mie goreng, dari logatnya baru saya ketahui bahwa mereka berasal dari Jawa Barat yang khas logat Sundanya. Saya kemudian menikmati suguhan susu coklat dan secara tiba-tiba dihampiri seorang pemuda dengan logat khas Madura bertanya saya dari mana.
Terjalin komunikasi yang akrab antara saya pemuda yang menghampiri saya dan pemilik warung, sekalipun baru ketemu dan tidak saling mengenal. Sejurus kemudian datang tour leader berdasar informasi yang saya berikan dan nimbrung ikut bercengkrama juga secara hangat, mungkin inilah dimensi yang subtil dan hangat bahwa warung adalah tempat mengekpresikan diri yang demokratis dan berdaulat.
Setelah puas maka saya meneruskan keluar dari sekat-sekat kegiatan peserta rombongan, saya berjalan kaki kurang lebih satu kilo untuk sekedar mencari obat di apotik untuk tour leader yang sedang cantengen jempol kaki kanannya. Saya nikmati betul suasana itu meskipun matahari bersinar terang dan tak kalah teriknya, hingga tiba jadwal makan siang kami kembali lagi ke warung pojok dan lagi komunikasi terjalin akrab meskipun menu yang tersedia adalah sangat sederhana namun pengunjung bejibun, mungkin hemat penulis bahwa penjualnya sedikit bisa dipandang atau manis pisan euy, tapi itu motif pengunjung pada umumnya sedang penulis hanya mencoba menikmati apa yang ada. kembali ke peserta tour yang ternyata dengan wajah sumringah keluar dari kelas pelatihan.
Nampak wajah bahagia mereka merayakan dengan berfoto di lokasi sembari senyam senyum dengan simpul yang penulis sebenarnya meraba-raba ini sedang stres atau entah apa yang terpikirkan oleh peserta.
Perjalanan selanjutnya menuju Hotel Prayogo lama di Prawiorotaman yang menurut juru tulisnya hanya berjarak 1 kilometer dari ikon Jogja Malioboro, yang bermasalah adalah parkir bus dilahan yang sempit, keputusannya adalah jalan kaki secara bersama dari hotel ke Malioboro yang jaraknya sekitar 3 kilometer wouw keren. Penulis sekali lagi mencoba menikmati tiduran di hotel sekedar meluruskan badan karena selama perjalanan tidak tidur.
Prawirotaman identik dengan turis berkantung cekak alias backpacker hotel bertarif murah tersedia sepanjang Jalan Prawirotaman, selanjutnya penulis kelenger dan tertidur pulas di kasur hotel yang empuk. keesokan hari setelah breakfast nasi goreng telur plus sambal dan juga krupuk, kami check out dan lanjut menuju the biggest budhist temple near from Jogja. Candi Borobudur semakin baik saja pelayanannya. Toiletnya bersih dan ada juga pengeringnya seperti hair dryer otomatis menyala, tiket untuk kami yang dalam rangka studi wisata berbeda dengan pengunjung biasa secara signifikan. Para pedagang menghampiri kami dengan semangat juang agar laku dagangannya. Demikian juga para pemilik warung mirip bakul pasar menawarkan makanan dan minuman.
Kami berada di Borobudur selama kuarang lebih dua setengah jam, lanjut makan siang di sebuah restoran dekat Borobudur dengan menu utama ayam bakar. Perjalanan lanjut ke pusat oleh-oleh dekat Bandara Adi Sucipto, peserta rombongan antusias sekali memborong oleh-oleh. ada bakpia geplak dan aneka makanan ringan lainnya, 30 menit alokasi waktu.
Perjalanan lanjut ke Pusat Grosir Solo yang mana peserta mbecak secara kolektif menuju pasar Klewer, mereka getol memborong batik dan jajan khas Solo karena jatah makan sudah habis maka peserta dihimbau oleh tour leader agar makan di parkiran depan pusat grosir. Berbagai panganan dijajakan mulai dari sate, bakso, pangsit mie, es degan, es dawet dan aneka makanan lainnya. selanjutnya kami pulang menuju Jember setelah kumandang adzan maghrib namun ada episode mencengangkan ketika melintas antara Ngawi-Caruban, salah seorang peserta mengalami gangguan sesak napas. penulis kebetulan berada di dekat peserta yang sesak napas kemudian mengarahkan agar panitia perempuan segera memberikan bantuan . keadaan semakin tegang karena peserta yang sesak nafas meminta agar bus berhenti beruntung tempat pemberhentian adalah SPBU yang berdekatan dengan apotik. Terjadi debat kusir selama proses pertolongan korban antara kami peserta rombongan panitia sopir bus dan hampir melibatkan amuk masa seandainya para pihak berdiri pada argumen masing masing, namun badai pasti berlalu peserta yang mengalami sesak nafas pulih setelah membuat tensi tinggi diantara kami dan diakhiri kata maaf karena membuat panik suasana.
Akhirnya sayonara perjalanan semakin singkat, sampai berjumpa pula di lain kesempatan, kami senang bertemu dengan anda. Belanjalah dan kuras kantongmu sampai habis.
Jalanan dari Kota Jember tempat kami start dalam kondisi baik, kami break di Tanggul untuk melaksanakan shalat maghrib berjamaah, sepanjang jalan melalui kota mulai Lumajang Probolinggo semua berjalan dengan baik dan kami berhenti sejenak di Kota Nguling Kab. Pasuruan untuk mengangkut kawan kita asisten tour leader kami. perjalanan terhambat di km 2 Jalan Raya Sedarum, setelah sebelumnya bus berhenti di SPBU Sedarums perjalanan kembali tersendat di jalan raya Ngopak karena dua hari sebelumnya banjir merendam kota kecil Ngopak. Lanjut di jalan raya Pos Daendels wilayah Kota Pasuruan air tampak menggenang disisi jalan akibat hujan deras intensitas tinggi.
Sampai Kota Bangil cuaca sedikit membaik ketika hujan reda namun hujan turun lagi selepas km 5 dari Kota Bangil mengguyur seras sampai jalan raya Kejapanan, hujan reda sampai Kota Mojosari lanjut ke Mojokerto. Jombang diliputi awan kegelapan namun hujan tidak sampai turun. Berturut Kertosono-Nganjuk-Caruban-Ngawi-Sragen-Solo dan berhenti sewaktu adzan subuh berkumandang, kami istirahat shalat dan makan di rumah makan Grafika Kalasan Jogyakarta. Setelah peserta rombongan dalam keadaan segar bugar karena mandi dan perut terisi kami langsung menuju sasaran utama P4TK matematika Jogyakarta, disini sebenarnya secara fisik peserta pelatihan sudah teramat lelah, namun mereka memaksakan untuk terus ikut pelatihan. appreciate to them.
Selama kurang lebih 8 jam pelatihan plus satu jam istirahat shalat makan di tempat pelatihan. saya pribadi mencari suasana lain, seperti biasa kopi pengganti susu kemasan yang susah carinya disekitar lokasi pelatihan, setelah berputar putar mampirlah saya di warung pojok penjual mie rebus dan mie goreng, dari logatnya baru saya ketahui bahwa mereka berasal dari Jawa Barat yang khas logat Sundanya. Saya kemudian menikmati suguhan susu coklat dan secara tiba-tiba dihampiri seorang pemuda dengan logat khas Madura bertanya saya dari mana.
Terjalin komunikasi yang akrab antara saya pemuda yang menghampiri saya dan pemilik warung, sekalipun baru ketemu dan tidak saling mengenal. Sejurus kemudian datang tour leader berdasar informasi yang saya berikan dan nimbrung ikut bercengkrama juga secara hangat, mungkin inilah dimensi yang subtil dan hangat bahwa warung adalah tempat mengekpresikan diri yang demokratis dan berdaulat.
Setelah puas maka saya meneruskan keluar dari sekat-sekat kegiatan peserta rombongan, saya berjalan kaki kurang lebih satu kilo untuk sekedar mencari obat di apotik untuk tour leader yang sedang cantengen jempol kaki kanannya. Saya nikmati betul suasana itu meskipun matahari bersinar terang dan tak kalah teriknya, hingga tiba jadwal makan siang kami kembali lagi ke warung pojok dan lagi komunikasi terjalin akrab meskipun menu yang tersedia adalah sangat sederhana namun pengunjung bejibun, mungkin hemat penulis bahwa penjualnya sedikit bisa dipandang atau manis pisan euy, tapi itu motif pengunjung pada umumnya sedang penulis hanya mencoba menikmati apa yang ada. kembali ke peserta tour yang ternyata dengan wajah sumringah keluar dari kelas pelatihan.
Nampak wajah bahagia mereka merayakan dengan berfoto di lokasi sembari senyam senyum dengan simpul yang penulis sebenarnya meraba-raba ini sedang stres atau entah apa yang terpikirkan oleh peserta.
Perjalanan selanjutnya menuju Hotel Prayogo lama di Prawiorotaman yang menurut juru tulisnya hanya berjarak 1 kilometer dari ikon Jogja Malioboro, yang bermasalah adalah parkir bus dilahan yang sempit, keputusannya adalah jalan kaki secara bersama dari hotel ke Malioboro yang jaraknya sekitar 3 kilometer wouw keren. Penulis sekali lagi mencoba menikmati tiduran di hotel sekedar meluruskan badan karena selama perjalanan tidak tidur.
Prawirotaman identik dengan turis berkantung cekak alias backpacker hotel bertarif murah tersedia sepanjang Jalan Prawirotaman, selanjutnya penulis kelenger dan tertidur pulas di kasur hotel yang empuk. keesokan hari setelah breakfast nasi goreng telur plus sambal dan juga krupuk, kami check out dan lanjut menuju the biggest budhist temple near from Jogja. Candi Borobudur semakin baik saja pelayanannya. Toiletnya bersih dan ada juga pengeringnya seperti hair dryer otomatis menyala, tiket untuk kami yang dalam rangka studi wisata berbeda dengan pengunjung biasa secara signifikan. Para pedagang menghampiri kami dengan semangat juang agar laku dagangannya. Demikian juga para pemilik warung mirip bakul pasar menawarkan makanan dan minuman.
Kami berada di Borobudur selama kuarang lebih dua setengah jam, lanjut makan siang di sebuah restoran dekat Borobudur dengan menu utama ayam bakar. Perjalanan lanjut ke pusat oleh-oleh dekat Bandara Adi Sucipto, peserta rombongan antusias sekali memborong oleh-oleh. ada bakpia geplak dan aneka makanan ringan lainnya, 30 menit alokasi waktu.
Perjalanan lanjut ke Pusat Grosir Solo yang mana peserta mbecak secara kolektif menuju pasar Klewer, mereka getol memborong batik dan jajan khas Solo karena jatah makan sudah habis maka peserta dihimbau oleh tour leader agar makan di parkiran depan pusat grosir. Berbagai panganan dijajakan mulai dari sate, bakso, pangsit mie, es degan, es dawet dan aneka makanan lainnya. selanjutnya kami pulang menuju Jember setelah kumandang adzan maghrib namun ada episode mencengangkan ketika melintas antara Ngawi-Caruban, salah seorang peserta mengalami gangguan sesak napas. penulis kebetulan berada di dekat peserta yang sesak napas kemudian mengarahkan agar panitia perempuan segera memberikan bantuan . keadaan semakin tegang karena peserta yang sesak nafas meminta agar bus berhenti beruntung tempat pemberhentian adalah SPBU yang berdekatan dengan apotik. Terjadi debat kusir selama proses pertolongan korban antara kami peserta rombongan panitia sopir bus dan hampir melibatkan amuk masa seandainya para pihak berdiri pada argumen masing masing, namun badai pasti berlalu peserta yang mengalami sesak nafas pulih setelah membuat tensi tinggi diantara kami dan diakhiri kata maaf karena membuat panik suasana.
Akhirnya sayonara perjalanan semakin singkat, sampai berjumpa pula di lain kesempatan, kami senang bertemu dengan anda. Belanjalah dan kuras kantongmu sampai habis.
Label:
Reportase
Rabu, 07 Maret 2012
Mewah belum tentu istimewa
Memang bukan semangat saya untuk selalu berfoya-foya, tapi terkadang
ada juga keinginan untuk mencoba, minimal menikmati beberapa hal mewah,
semisal rokok Dji Sam Soe premium yang lebih dikenal dengan istilah
'reffil' atau 'nyruput' kopi luwak yang konon katanya punya kelas
tersendiri di Eropa sana~jangankan di Eropa, di tanah air saja seakan
jadi minuman khas para raja dengan harga yang seperti itu.
Meskipun pikiran saya memberontak dengan gagasan "tidak hanya para raja saja yang dapat menikmati keistimewaan dalam alam demokrasi" tapi kenyataan toh punya cerita lain, dan saya harus bersepakat dengan kenyataan. Jelata dalam sejarahnya selalu saja berada dalam bentuknya yang susah tanpa keistimewaan.
Kopi luwak per 100 gramnya bisa didapat dengan ongkos dua ratus ribu, sedang untuk Dji Sam Soe 'reffil' dengan harga sekitaran tiga belas ribu perbungkus, hal semacam ini sudah terlanjur mewah buat orang seperti saya yang biasanya juga menikmati segalanya dengan 'ala kadarnya'. Toh saya pun harus selalu berusaha menjadi orang yang beriman, saya dapati dari buku "Ikhlas Tanpa Batas" terbitan Zaman bahwasannya iman itu terdiri dari "separonya itu sabar dan separo yang lain adalah syukur".
Beruntung atau mungkin kebetulan saya dapat menikmati keduanya secara bersamaan, jadi semacam obat rindu untuk menikmati kemewahan ditengah kesempatan yang semakin sempit ini. Bahagia juga rasanya, sembari berharap dalam hati semoga kelak dapat terulang kembali hal yang sedemikian.
Ceritanya begini, karena kadung pinginnya menikmati hidup saya beli saja rokok Dji Sam Soe premium dengan sedikit uang honor bulan ketiga ditahun 2012 ini, ya sepulang kerja saya langsung menuju kios rokok dengan harapan yang berlebih untuk segera menikmati, setelah itu saya langsung pulang, waktu itu lagi "nggak pingin yang lain" hanya ingin bersantai di rumah dengan menghisap 'reffil'.
Belum sempat membuka bungkusnya sudah ditawari satu sasetan kopi bubuk oleh adik saya, bungkusnya dari kertas karton bergambar biji kopi dan seekor "luwak!", terkejut juga hati ini mendapatinya, terbayang pula sedap aromanya.
Sambil nunggu air mendidih saya sulut sebatang sam soe reffil, khas sensasinya meruang dalam sanubari para penikmat kretek seperti saya. Berselang kemudian setelah saya racik kopi luwak, saya duduk menyendiri di kamar, sedikit mencicipi kopi luwak yang sebelumnya 'menggeber' aroma khas dari cangkir saya. Nikmat, serasa menghadirkan surga kedalam kamar saya, inilah raja sehari pikir saya.
Ada keinginan untuk coba menikmati secara bersamaan, tidak akan saya sia-siakan hak istimewa yang kali ini saya dapatkan, hisap sam soe reffilnya bersambung dengan 'nyruput' kopi luwak. Rusak, sensasi kretek sekaligus aroma kopi hilang, tidak ada yang istimewa jadinya. Lewat begitu saja.
Saya coba lagi, tetap saja tidak ada yang istimewa. Selanjutnya saya pikir lebih baik dilakukan dengan cara bergantian, sensasi kenikmatan juga belum kembali, tetap sama, tidak ada yang istimewa.
Sadar saya seketika, percobaan pesta demokrasi telah menemui kegagalan dalam diri saya, sensasi kenikmatan kretek yang diwakili sam soe reffil dengan sensasi kenikmatan kopi luwak saling bertabrakan, tidak ada kesepakatan, masing-masing pihak berusaha untuk mendominasi tanpa ada rasa gotong royong dan asas musyawarah mufakat. Pun saya pikir memang~jika kembali pada keseharusan, demokrasi itu dibangun dengan kegotong royongan, bukan dengan upaya saling mendominasi dan saling jegal, jika itu terjadi maka rusaklah bangunan demokrasi itu.
Demikian dari pengalaman menikmati sensasi rokok kretek dan kopi luwak saya temukan bahwasannya segala yang mewah itu belum tentu istimewa, bisa jadi malah merusak nikmat keistimewaan itu sendiri. Salam.
Meskipun pikiran saya memberontak dengan gagasan "tidak hanya para raja saja yang dapat menikmati keistimewaan dalam alam demokrasi" tapi kenyataan toh punya cerita lain, dan saya harus bersepakat dengan kenyataan. Jelata dalam sejarahnya selalu saja berada dalam bentuknya yang susah tanpa keistimewaan.
Kopi luwak per 100 gramnya bisa didapat dengan ongkos dua ratus ribu, sedang untuk Dji Sam Soe 'reffil' dengan harga sekitaran tiga belas ribu perbungkus, hal semacam ini sudah terlanjur mewah buat orang seperti saya yang biasanya juga menikmati segalanya dengan 'ala kadarnya'. Toh saya pun harus selalu berusaha menjadi orang yang beriman, saya dapati dari buku "Ikhlas Tanpa Batas" terbitan Zaman bahwasannya iman itu terdiri dari "separonya itu sabar dan separo yang lain adalah syukur".
Beruntung atau mungkin kebetulan saya dapat menikmati keduanya secara bersamaan, jadi semacam obat rindu untuk menikmati kemewahan ditengah kesempatan yang semakin sempit ini. Bahagia juga rasanya, sembari berharap dalam hati semoga kelak dapat terulang kembali hal yang sedemikian.
Ceritanya begini, karena kadung pinginnya menikmati hidup saya beli saja rokok Dji Sam Soe premium dengan sedikit uang honor bulan ketiga ditahun 2012 ini, ya sepulang kerja saya langsung menuju kios rokok dengan harapan yang berlebih untuk segera menikmati, setelah itu saya langsung pulang, waktu itu lagi "nggak pingin yang lain" hanya ingin bersantai di rumah dengan menghisap 'reffil'.
Belum sempat membuka bungkusnya sudah ditawari satu sasetan kopi bubuk oleh adik saya, bungkusnya dari kertas karton bergambar biji kopi dan seekor "luwak!", terkejut juga hati ini mendapatinya, terbayang pula sedap aromanya.
Sambil nunggu air mendidih saya sulut sebatang sam soe reffil, khas sensasinya meruang dalam sanubari para penikmat kretek seperti saya. Berselang kemudian setelah saya racik kopi luwak, saya duduk menyendiri di kamar, sedikit mencicipi kopi luwak yang sebelumnya 'menggeber' aroma khas dari cangkir saya. Nikmat, serasa menghadirkan surga kedalam kamar saya, inilah raja sehari pikir saya.
Ada keinginan untuk coba menikmati secara bersamaan, tidak akan saya sia-siakan hak istimewa yang kali ini saya dapatkan, hisap sam soe reffilnya bersambung dengan 'nyruput' kopi luwak. Rusak, sensasi kretek sekaligus aroma kopi hilang, tidak ada yang istimewa jadinya. Lewat begitu saja.
Saya coba lagi, tetap saja tidak ada yang istimewa. Selanjutnya saya pikir lebih baik dilakukan dengan cara bergantian, sensasi kenikmatan juga belum kembali, tetap sama, tidak ada yang istimewa.
Sadar saya seketika, percobaan pesta demokrasi telah menemui kegagalan dalam diri saya, sensasi kenikmatan kretek yang diwakili sam soe reffil dengan sensasi kenikmatan kopi luwak saling bertabrakan, tidak ada kesepakatan, masing-masing pihak berusaha untuk mendominasi tanpa ada rasa gotong royong dan asas musyawarah mufakat. Pun saya pikir memang~jika kembali pada keseharusan, demokrasi itu dibangun dengan kegotong royongan, bukan dengan upaya saling mendominasi dan saling jegal, jika itu terjadi maka rusaklah bangunan demokrasi itu.
Demikian dari pengalaman menikmati sensasi rokok kretek dan kopi luwak saya temukan bahwasannya segala yang mewah itu belum tentu istimewa, bisa jadi malah merusak nikmat keistimewaan itu sendiri. Salam.
Selasa, 06 Maret 2012
Refleksi pendidikan dari film Jepang
Sekali waktu saya pernah nonton film Jepang berjudul Crow Zero, saya tidak begitu paham dan hafal betul dengan aktor-aktor nya, disamping tidak pernah mengikuti perkembangan dunia perfilman, juga lantaran bukan hobi saya untuk nonton film, jadi wajar saja jika saya kurang mengerti tentang artis-artisnya, toh artis dan selebritis tanah air pun saya juga kurang mengenal.
Yang menarik dalam film ini adalah gambaran fantasi dari pemilik ide cerita~yang entah siapa, kabarnya dari sebuah komik seri, digambarkan suatu lingkup pergaulan pelajar yang serba bebas. Absurd memang (namanya juga film), sekolah yang prestasi siswanya ditentukan oleh kuatnya pukulan untuk usahanya masing-masing dalam menguasai lingkungan pergaulannya. Maka sering terjadi perkelahian dalam lingkungan sekolah tersebut.
Cerita berawal dari kehadiran seorang pelajar bernama Takiya Genji di sekolah Suzuran, anak seorang yakuza yang tertantang untuk menggantikan posisi ayahnya dalam organisasi dengan menaklukkan Suzuran sebagai sekolah 'keras'. Untuk melakukan penaklukkan tersebut, pelajar inipun harus menghadapi tantangan yang cukup berat, yaitu mengalahkan satu persatu penguasa di Suzuran dan yang pertama harus ia kuasai adalah kelasnya yang baru.
Berhasil dengan penguasaan kelasnya dengan mengalahkan pemimpin kelas yang dalam film ini adalah bernama Chuta, pelajar Genji pun mulai melakukan intrik dan diplomasi terhadap kelas yang lain, termasuk mencoba merekrut adik-adik kelasnya baik yang kelas satu maupun kelas dua.
Diplomasi awal berhasil dengan memulai persahabatan dengan pemimpin kelas 'C' yaitu Makise, tapi dengan kelas berikutnya, kelas 'D' pelajar Genji menemui kesulitan yang cukup berarti, pelajar Genji harus mati-matian dikroyok anak kelas 'D' hingga babak belur dan pingsan. Oleh kejadian ini, Izaki sebagai pemimpin kelas 'D' mulai menaruh simpati terhadap kegigihan Genji yang pada akhirnya mereka berdamai dan membentuk suatu koalisi berandal sekolahan yang mereka sebut "GPS".
Kehadiran kelompok "GPS" yang dimotori tiga raja kecil: Izaki, Makise dan Chuta yang berada dibawah kepemimpinan Genji cukup menarik perhatian 'sang raja sekolah' Serizawa bersama rekan-rekannya, Serizawa sendiri diceritakan memimpin kelas 'A' bersama Tokio, Tokaji dan Tsutsumoto, semuanya jago kelahi. Sedang kelas 'B' yang dikuasai Mikami bersaudara berhasil takluk dengan satu pukulan oleh Serizawa diawal cerita.
Terjadilah persaingan antar kedua kelompok ini, saling serang, berintrik dan mendominasi lingkungan Suzuran. Ya, hegemoni untuk merekrut pengikut dari kelas lain juga merupakan medan tempur yang hebat. Dan akhir dari persaingan ini adalah sebuah pertarungan yang dimenangkan oleh kelompok Genji.
Pada bagian kedua film ini tantangan lebih berat lagi, meskipun pada akhirnya kelompok Genji dan Serizawa berdamai tapi mereka harus menghadapi kekuatan dari luar lingkungan mereka. Tersebutlah Housen, sekolah yang juga diisi oleh berandalan yang suka berkelahi, bedanya jika di Suzuran adalah perkelahian jalanan sedangkan di Housen berisi pelajar yang gemar olah raga beladiri yang juga identik dengan kepala 'plontos' semacam kelompok 'skin-head' di Inggris tahun 70-an. 'Skin head' inipun sering dikabarkan suka berkelahi meskipun tidak terdapat dalam film ini.
Sesaat saya berpikir "apa ada sekolah macam itu di Jepang sana?" dan langsung saja saya jawab sendiri "bagaimana mungkin ada yang seperti itu?!", meskipun Jepang yang terkenal kejamnya saat datang ke tanah air, toh mereka juga masih punya 'unggah-ungguh' dan sangat disiplin dalam membangun pendidikan. Tidak akan mungkin ada sekolah semacam itu, saya yakin pemerintahan disana akan cepat tanggap hingga tidak muncul gejala-gejala yang mengarah kesana.
Sedang di tanah air, saya pikir mungkin saja. "Bagaimana bisa?", tentunya dengan terus memisahkan pelajar dari kesadarannya sebagai manusia, mengasingkan pelajar dari dirinya sebagai seorang manusia. Maka terbentuklah mental individualis pelajar hingga kesadarannya jatuh pada titik terendah yang menyamakan dirinya dengan hewan, bersaing dengan kekuatan otot tanpa kreatifitas untuk membangun lingkungannya secara sehat.
Tentang keadaan sekolah yang digambarkan dalam film inipun bisa saja muncul di tanah air, ketika guru membatasi perannya hanya sebagai seorang pengajar tidak lagi sekaligus sebagai seorang pendidik, sedangkan pendidikan berkarakter yang sedang gencar didengungkan hingga sampai saat ini hanya menjadi semacam 'kandang singa'~garang di dalam tapi tidak bertaji di luar. Dalam keadaan seperti ini sangat memungkinkan pelajar-pelajar Genji terlahir di Indonesia.
Awalnya mereka takut karena ada ancaman peraturan-peraturan yang terbatas, selanjutnya mereka sudah tidak lagi peduli dengan peraturan tersebut sebab merasa tidak ada pengaruh sama sekali terhadap dirinya. Sama halnya dengan pengendara kendaraan bermotor (yang nakal) dijalanan yang hanya mau tertib jika ada yang mengawasi: polisi. Hal demikian memungkinkan juga untuk memunculkan mentalitas penjilat bukan?.
Tidak ada salahnya Indonesia bercermin dari film negeri seberang ini, meskipun kirannya tidak akan lulus sensor jika ingin ditayangkan. Dan mendidik untuk membentuk karakter adalah sepenuhnya dengan membangun kesadaran, bukan semata dengan ancaman~telah kita sepakati dengan 'diam' bahwa ancaman adalah salah satu bentuk kekerasan dan mendidik dengan 'kekerasan' tidak akan berbuah apa kecuali 'kekerasan' pula.
Sedang di tanah air, saya pikir mungkin saja. "Bagaimana bisa?", tentunya dengan terus memisahkan pelajar dari kesadarannya sebagai manusia, mengasingkan pelajar dari dirinya sebagai seorang manusia. Maka terbentuklah mental individualis pelajar hingga kesadarannya jatuh pada titik terendah yang menyamakan dirinya dengan hewan, bersaing dengan kekuatan otot tanpa kreatifitas untuk membangun lingkungannya secara sehat.
Tentang keadaan sekolah yang digambarkan dalam film inipun bisa saja muncul di tanah air, ketika guru membatasi perannya hanya sebagai seorang pengajar tidak lagi sekaligus sebagai seorang pendidik, sedangkan pendidikan berkarakter yang sedang gencar didengungkan hingga sampai saat ini hanya menjadi semacam 'kandang singa'~garang di dalam tapi tidak bertaji di luar. Dalam keadaan seperti ini sangat memungkinkan pelajar-pelajar Genji terlahir di Indonesia.
Awalnya mereka takut karena ada ancaman peraturan-peraturan yang terbatas, selanjutnya mereka sudah tidak lagi peduli dengan peraturan tersebut sebab merasa tidak ada pengaruh sama sekali terhadap dirinya. Sama halnya dengan pengendara kendaraan bermotor (yang nakal) dijalanan yang hanya mau tertib jika ada yang mengawasi: polisi. Hal demikian memungkinkan juga untuk memunculkan mentalitas penjilat bukan?.
Tidak ada salahnya Indonesia bercermin dari film negeri seberang ini, meskipun kirannya tidak akan lulus sensor jika ingin ditayangkan. Dan mendidik untuk membentuk karakter adalah sepenuhnya dengan membangun kesadaran, bukan semata dengan ancaman~telah kita sepakati dengan 'diam' bahwa ancaman adalah salah satu bentuk kekerasan dan mendidik dengan 'kekerasan' tidak akan berbuah apa kecuali 'kekerasan' pula.
Langganan:
Postingan (Atom)