Membicarakan
kekerasan sama halnya dengan membicarakan sejarah manusia, sejarah selalu
diwarnai dengan kekerasan, atau bahkan kekerasan itulah sejarah manusia yang
juga diawali dengan kekerasan, sebagaimana kisah Habil dan Qabil yang cukup
menggambarkan tindak kekerasan awal manusia terhadap sesamanya, berlanjut juga
dalam epose Mahabarata. Dan bahkan
kekerasan telah pula digambarkan sebelum manusia diciptakan.
Sesuai dengan Firman Allah dalam
surat Al Baqarah ayat 30.Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Gambaran
dimana malaikat mulai mempertanyakan penciptaan manusia yang mereka ketahui
hanya akan berbuat kerusakan, seakan terdapat prediksi dari akibat-akibat
perbuatan manusia yang memiliki catatan panjang tentang tindak kekerasan. Tapi,
toh malaikat harus tunduk dengan jawaban yang cukup memuaskan: bahwa hanya
Tuhanlah yang mengetahui rahasia maksud dari penciptaanNya.
Dari
tulisan ini, bukan bermaksud untuk memvonis bahwasannya kekerasan adalah sifat
dasarnya manusia. Bukan. Hal tersebut tidak manusiawi dan terlalu sederhana
untuk memandang manusia yang kompleks.
Pun dalam kajian ilmu sosial juga telah terdapat usaha untuk menganalisis
kekerasan dari beragam sudut hingga sempat melibatkan ilmu psikologi bahkan
biologi untuk mengkaji kekerasan.
Tulisan
kali ini coba membedah kekerasan yang muncul dari varian-varian budaya yang
memang cukup populer akhir-akhir ini, kemajuan teknologi tidak hanya
mempermudah manusia dalam mengakses informasi tapi juga membuka jalan yang
mudah bagi proses asimilasi dan akulturasi, yang juga tidak hanya
membuka peluang persaingan antar ragam budaya, tapi juga telah memunculkan
varian-varian budaya hasil refisi sekaligus adaptasi.
Ah,
terlalu rumit, belum lagi terjawab persoalan kekerasan malah dibingungkan
dengan pembahasan budaya, memang tidak cukup hanya dengan menyebut sub-cultur untuk budaya-budaya kecil,
sebab pada kenyataannya dari sub-cultur
tersebut telah pula memunculkan sempalan-sempalan yang dapatlah dikatakan
serupa tapi tak sama.
Ambil
contoh komunitas punk yang cukup
digemari pemuda-pemuda liberal di jalanan, dari sub-cultur yang satu ini telah muncul beberapa sub lagi yang
sejenis, seperti crusty punk, punk street,
dan sebutan-sebutan lain untuk para pengagum musik dan gaya hidup impor ini.
Lain waktu ada kemungkinan pemuda-pemudi kita menyumbang satu nama lagi,
mungkin ndeso punk atau apapun untuk
menyatakan anti kemapanan.
Kembali pada kekerasan, menurut perspektif sosiologis,
kekerasan muncul dari kefrustasian, terhambatnya saluran-saluran untuk
pemecahan suatu masalah. Tentu kita tidak harus selalu bersandar dengan
pandangan seperti ini sebab sebagaimana ‘kejahatan’, kekerasan bisa saja terjadi
karena adanya kesempatan.
Johan Galtung, seorang pakar kriminologi memiliki pendapat
kekerasan terjadi bila manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realisasi
jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi potensialnya. Dengan
kata lain bila yang potensial lebih tinggi dari yang aktual, maka ada
kekerasan. Realisasi potensial ialah apa yang mungkin untuk diwujudkan sesuai
dengan tingkat wawasan, pengetahuan, sumber daya dan kemajuan yang dicapai oleh
jamannya. Penyalahgunaan hal-hal tersebut untuk tujuan lain atau dimanipulasi
oleh sekelompok orang berarti ada kekerasan.
Dari sini muncul penggunaan istilah kekerasan untuk
menggambarkan suatu perilaku, baik terbuka, tertutup, menyerang maupun bertahan
yang disertai penggunaan kekuatan terhadap orang lain. Kekerasan terbuka adalah
kekerasan yang dapat dilihat, seperti perkelahian. Kekerasan tertutup adalah
kekerasan yang tidak secara langsung, seperti mengancam. Kekerasan agresif adalah kekerasan yang dilakukan
untuk mendapatkan sesuatu .Kekerasan defensive
adalah kekerasan yang dilakukan untuk perlindungan diri(http://nilaieka.blogspot.com/2009/05/teori-kekerasan.html).
Begitupun dengan kekerasan secara kolektif dan bentuk-bentuk terorisme. Jadi tidak
lagi semata penggunaan kekuatan fisik, tapi juga efektifitas upaya-upaya pemaksaan
gagasan dan nilai-nilai katakanlah upaya dominasi yang pada dasarnya hanyalah
bentuk isolasi diri.
Dari sini muncullah asumsi yang membatasi kesadaran seseorang
terhadap kemanusiaan, seakan hanya terbatas pada: ‘golongan kita’ dan ‘golongan
bukan kita’ lebih jauh lagi dengan sebutan ‘golongan musuh’. Ini merupakan
situasi yang sangat potensial bagi munculnya kekerasan, yang sekali lagi tidak
hanya dalam bentuk fisik, tapi dalam beragam bentuk, bukankah dengan
berkata-kata seseorang juga dapat melakukan kekerasan?.
Kecenderungan semacam ini tidak saja dimiliki oleh agen
budaya yang dominan, tapi juga oleh sub-cultur
yang muncul akibat ketidak sepakatannya dengan gagasan dan nilai-nilai yang ~
selalu saja dipaksakan oleh budaya yang dominan.
Untuk itu kiranya perlu mendiskusikan berulang-ulang tentang
nilai-nilai, tentang baik dan buruk dengan tidak saling mengisolasi diri
apalagi membebani dengan penggolongan-penggolongan yang pada dasarnya tidak
manusiawi. Toh essensi manusia sama, yang berbeda hanyalah dalam superfisialnya
saja tentang apa yang disenangi. Dan tak perlu untuk menciptakan permusuhan
jika sekedar masalah senang dan tidak senang, dan upaya pemaksaan gagasan
hanyalah tindakan ideologis yang mengingkari kemanusiaan.
Akhirnya adalah harapan untuk melaksanakan “bhineka tunggal
ika, tan hanna dharma mangrwa” dengan semangat pluralism tanpa ada upaya untuk
memanipulasi ke’bhinekaan’ itu sendiri. Salam punakawan berdaulat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar